Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Angka pengangguran gen Z cenderung tinggi di masa ekonomi serba teknologi.
Pemerintah menggelar program untuk menyiapkan gen Z di dunia kerja.
Anak muda membuat inisiatif untuk membantu pengangguran dari gen Z.
SEMPAT putus asa setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di sebuah perusahaan niaga elektronik (e-commerce), Lingga Wastu memilih bangkit. Sembari berupaya mencari pekerjaan baru, dia mendirikan Move On Game On (MOGO) Community. Lewat komunitas ini, Lingga mencari teman senasib tatkala musim PHK menimpa perusahaan rintisan teknologi dan banyak sektor industri lain beberapa waktu terakhir. Terutama mereka yang disebut generasi Z atau gen Z.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum genap tiga bulan berdiri, MOGO Community sudah memiliki lebih dari 700 anggota dari berbagai usia dan latar belakang. Para pekerja gen Z, anak muda dengan rentang usia 19-27 tahun, paling banyak menjadi anggotanya, yaitu hingga 30 persen. "Mayoritas mereka adalah bekas tenaga pemasaran atau pernah bekerja di industri kreatif dan e-commerce,” kata pria 38 tahun itu kepada Tempo, Rabu, 18 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski usia Lingga tak masuk kriteria gen Z, dia peduli kepada para juniornya itu. Dia mengatakan anak gen Z yang berusia paling muda di dunia kerja saat ini cenderung memiliki pandangan berbeda dengan generasi di atasnya, seperti milenial (generasi Y) dan baby boomers (generasi X). “Kebanyakan gen Z lebih santai, menikmati waktu tunggu ini dengan membuat jejaring sebanyak-banyaknya dan meningkatkan keahlian,” ujarnya.
Lingga Wastu, Founder Move On Game On (MOGO) Community berbicara dalam pertemuan pertama MOGO Community di Kantor AIA Indonesia, Jakarta, 19 September 2024. FOTO/Dok.MOGO
Komunitas MOGO, yang berdiri pada Oktober 2024, menjadi forum untuk bercerita, berjejaring, hingga berkolaborasi para pekerja muda demi menciptakan peluang baru. Program pertamanya adalah Move In, forum konseling untuk mereka yang membutuhkan sistem pendukung atau support system setelah kehilangan pekerjaan atau menganggur. Program kedua bernama Move On, yaitu pelatihan, pendampingan, dan konsultasi untuk pengembangan karier. Adapun program ketiganya adalah Game On berupa peluang kolaborasi dan pembukaan usaha serta menjadi jembatan antaranggota untuk mendapatkan penghasilan.
Vice Chairman MOGO Community Andre Satria Octavino mengatakan ada mentor yang memfasilitasi pelaksanaan program-program tersebut. Para mentor adalah sesama anggota komunitas yang merupakan tenaga profesional di bidang masing-masing. Siapa saja dapat bergabung menjadi anggota dan mengakses program MOGO secara gratis. “Program yang tersedia antara lain pelatihan wawancara kerja, pelatihan komunikasi, konsultasi pengembangan karier, sampai pelatihan bahasa Inggris,” ucap Andre.
Vice Chairman MOGO Community Andre Satria Octavino. FOTO/Dok MOGO
Khusus untuk warga gen Z yang cenderung memiliki pemikiran luas tentang pekerjaan, MOGO punya program tambahan, seperti pelatihan bisnis dan pembuatan konten digital. Tujuannya, Andre menjelaskan, adalah membuat pemuda gen Z tidak melulu menjadi pekerja kantoran. Dia juga mengatakan warga gen Z lebih bersikap terbuka dalam memilih bidang pekerjaan dan jenis industri untuk bekerja, tapi mereka melihat nilai gaji sebagai pertimbangan utama. "Berbeda dengan milenial yang biasanya ingin stabil dalam bekerja dan berkarier."
***
RENE Oktavia rela menganggur lebih dari setahun sejak lulus dari universitas negeri ternama di Jawa Barat. Hingga kini, perempuan 24 tahun itu merasa belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan harapannya. Nilai gaji dan sistem kerja menjadi pertimbangan utama ketika Rene hendak menerima tawaran yang datang. Faktor ini yang menyebabkan dia lama menganggur. "Kebanyakan, ketika sudah sampai tahap penawaran gaji, tawarannya kurang mengapresiasi skill dan ilmu yang saya punyai. Padahal beban kerjanya berat," kata penyandang gelar sarjana biologi itu.
Rene pun tak mau sembarang mencari pekerjaan di luar ilmu yang ia pelajari di kampus. Karena itu, dia enggan melamar pekerjaan seperti tenaga administrasi, pemasar, atau pegawai bank. “Memang bisa dari lulusan apa saja, tapi saya tidak mau. Buat apa kuliah biologi kalau akhirnya kerja seperti itu?” tuturnya.
Lain lagi dengan Adrian Putra, 25 tahun. Lulusan teknologi pangan sebuah universitas negeri di Sumatera Utara itu sempat bekerja di sebuah perusahaan makanan dan minuman kemasan. Setelah dua tahun di sana, Adrian mengundurkan diri karena status kepegawaiannya sebatas kontrak. "Tidak ada kepastian kapan diangkat menjadi pegawai tetap,” ucapnya.
Adrian mengincar pekerjaan dengan status pegawai tetap agar mendapat fasilitas seperti asuransi kesehatan, bonus, dan tunjangan tambahan. Alasannya, dia adalah warga gen Z yang masuk kelompok "sandwich generation". Maksudnya, dia dalam posisi terjepit karena harus menanggung generasi di atas dan bawahnya, yaitu orang tua dan adiknya, yang diibaratkan seperti sandwich atau roti lapis. "Saya punya tiga adik yang masih kecil,” ujarnya.
Sembari mencari pekerjaan, Adrian membantu ibunya berdagang pakaian di platform jual-beli daring. “Saya bantu jual dagangan ibu lewat live shopping TikTok supaya makin laris," katanya.
Rene dan Adrian adalah gambaran umum gen Z di Indonesia. Menurut riset Pew Research Center, proporsi gen Z di Indonesia saat ini mencapai 22 persen dari total populasi atau sekitar 56 juta jiwa. Mereka mulai menapaki dunia kerja serta menghadapi berbagai tantangan sosial dan ekonomi.
Tapi ada elegi di balik tingginya jumlah warga gen Z. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 2023, sebanyak 9,9 juta penduduk generasi muda usia 15-24 tahun tidak bekerja sekaligus tidak sedang bersekolah atau menjalani pelatihan. Dari jumlah tersebut, terdapat 5,73 juta perempuan muda dan 4,17 juta laki-laki muda yang menganggur.
Tim Jurnalisme Konstruktif Tempo, program liputan yang terselenggara berkat kerja sama Tempo dengan International Media Support, menggelar survei untuk memotret kondisi gen Z di dunia kerja. Dalam survei pada 1-7 November 2024 yang melibatkan 57 responden, tercatat 72 persen di antaranya menginginkan model pekerjaan fleksibel. Ada pula anggota gen Z yang memilih pekerjaan karena sesuai dengan keahlian mereka.
Sebanyak 22,5 persen responden menyatakan belum bekerja karena berbagai alasan. Yang paling banyak adalah terlibas persaingan ketat pada jenis pekerjaan yang menjadi incaran. Alasan lain adalah tak memiliki keterampilan yang memadai, sempitnya lapangan kerja yang tersedia, hingga tak mendapat tawaran gaji yang sesuai dengan keinginan.
Maraknya warga gen Z yang masih menganggur pun menjadi perhatian pemerintah. Kementerian Ketenagakerjaan menggelar berbagai penyuluhan dan program bimbingan ke sekolah, perguruan tinggi, dan balai pelatihan kerja. Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Siti Kustiati mengatakan program itu memprioritaskan penduduk gen Z agar mereka mengetahui dunia kerja dan memahami cara menggapai pekerjaan yang diinginkan.
Di sisi lain, Siti menambahkan, lembaganya sering mendapat keluhan dari perusahaan tentang karyawan gen Z yang mereka anggap kurang memiliki daya tahan dalam menghadapi tekanan kerja. Menurut Siti, banyak manajemen perusahaan menganggap karyawan gen Z mudah bosan dan kurang maksimal bekerja dalam tim. Kondisi ini bisa mengerek tingkat pengangguran terbuka. “Karena itu kami, berupaya membuat program yang memudahkan gen Z agar tidak minus seperti yang disampaikan para pemberi kerja,” ucapnya.
Persepsi terhadap gen Z memang beraneka ragam. Menurut Faisal Makruf, Ketua Umum Serikat Merdeka Sejahtera (Semesta)—serikat pekerja yang menaungi banyak karyawan gen Z—salah satu stigma yang menempel adalah sebutan “generasi stroberi”. Mereka dianggap lembek bak buah stroberi. Julukan ini menempel pada warga gen Z yang kerap mengeluh di media sosial mengenai persoalan dunia kerja yang mereka alami. “Padahal mengeluh bukan berarti lembek,” tuturnya. Faisal pun tak sepakat jika warga gen Z disebut "pilih-pilih" pekerjaan dan menjadikan gaji pertimbangan utama. “Saya rasa setiap generasi juga ingin gaji besar.”
Tak dimungkiri, penduduk gen Z memang menghadapi banyak tantangan dalam mencari pekerjaan. Salah satu keluhan yang banyak mengemuka dari anggota Semesta, Faisal menjelaskan, adalah sulitnya menemukan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu atau kemampuan. “Pelamar banyak, tapi kebutuhannya sedikit. Apalagi persaingan di daerah luar Jakarta ketat dan perusahaan di sana tidak banyak,” ujarnya.
Tak melulu dinilai negatif, pekerja gen Z juga memiliki keunggulan di mata pemberi kerja. Direktur Corporate Affairs PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk Nila Marita mengatakan hal positif itu antara lain sikap cepat dan adaptif, rasa ingin tahu yang tak terbatas, kesadaran sosial yang tinggi, hingga kepedulian terhadap keseimbangan hidup dengan pekerjaan atau work-life balance. “Tapi yang kerap didengar adalah stereotipe negatif seperti gen Z lebih suka hal instan, sulit mengikuti instruksi, terlalu idealistis, atau rentan terhadap tekanan,” ucapnya.
Berdasarkan laporan keberlanjutan GoTo pada 2023, hampir separuh karyawan perseroan adalah warga gen Z yang tersebar di berbagai divisi. Nila mengatakan GoTo berupaya mengoptimalkan potensi karyawan gen Z agar memberikan hasil maksimal. Upayanya antara lain menunjukkan jalur perkembangan karier, mendukung mereka dalam membangun koneksi profesional, meningkatkan transparansi berbagai informasi, memberikan ruang otonomi, serta memprioritaskan kesejahteraan dan kesehatan mental.
Upaya tersebut diwujudkan dengan pelbagai program, seperti pelatihan dan penyediaan lingkungan kerja yang positif, fasilitas konseling 24 jam, fleksibilitas kerja, serta aktivitas yang menyenangkan untuk karyawan. Menurut Nila, setiap generasi memiliki cara dan budaya kerja yang berbeda karena tantangan yang mereka hadapi pun tak sama. “Dengan saling memahami karakteristik ini, perusahaan dapat memaksimalkan potensi dan kolaborasi,” tuturnya.
Andi Taufan Garuda, pendiri perusahaan teknologi finansial (fintech) Amartha, mengatakan pekerja gen Z bisa menjawab tantangan bisnis di masa depan. Karena itu, dia menambahkan, dari 1.000 pekerja Amartha, sebanyak 75 persen adalah gen Z. Mereka memiliki latar belakang pendidikan beragam, dari sekolah menengah atas hingga sarjana. Mereka pun menduduki berbagai posisi, seperti kepala tim, staf divisi data, pegawai bagian teknologi, dan pemasar.
Amartha, Andi menambahkan, menyiapkan perlakuan khusus untuk pekerja gen Z. Selain membantu pengembangan kapasitas dan keahlian, Amartha memberi apresiasi berupa lingkungan kerja yang kondusif dan jenjang karier yang jelas. “Harus saya akui, mereka lebih cepat mempelajari hal baru. Misalnya teknologi kecerdasan buatan dan kemampuan menyelesaikan masalah.” ●
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Elegi Generasi Stroberi