Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Serikat pekerja Semesta membantu warga gen Z mendapatkan pekerjaan.
Pengusaha gen Z menciptakan ekosistem kerja yang sesuai dengan karakter generasinya.
Hanya anggota gen Z yang mengerti dan bisa membantu sesama gen Z.
SUDAH lebih dari tiga tahun Serikat Merdeka Sejahtera atau Semesta berdiri. Selama itu pula mereka membantu para pekerja generasi Z atau gen Z yang terkena masalah di tempat kerja. Dalam rentang waktu itu, Semesta mengadvokasi 11 kasus perburuhan yang berdampak pada 6.613 pekerja. Serikat yang berdiri di Yogyakarta ini juga sudah menelurkan satu perjanjian kerja bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semesta menjadi warna baru di tengah banyaknya serikat pekerja di Tanah Air. Musababnya, serikat ini didirikan para pekerja gen Z, generasi muda yang lahir pada rentang waktu 1997-2012 atau berusia paling tua 27 tahun. Ketua Umum Semesta Faisal Makruf juga masih berusia 21 tahun saat mendirikan perkumpulan ini bersama teman-temannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faisal mengatakan pendirian Semesta adalah hasil refleksi bersama seusai unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di Yogyakarta pada 8 Oktober 2020. Mereka mencari tahu penyebab sering gagalnya gerakan buruh dalam perumusan regulasi ketenagakerjaan. “Salah satunya karena pergerakan buruh tidak berkembang mengikuti zaman, padahal zaman berkembang cepat sekali,” katanya pada Selasa, 17 Desember 2024.
Serikat pekerja yang telah eksis pun, Faisal menambahkan, tak sesuai dengan karakter gen Z. Dia memberi contoh, pekerja gen Z yang sering berpindah tempat kerja dalam rentang waktu pendek sulit mengikuti aturan serikat pada umumnya. Sebab, banyak serikat pekerja mengharuskan anggotanya keluar apabila dia pindah tempat kerja atau keluar dari pekerjaannya. Faisal sendiri dalam empat tahun pertama kariernya sudah berpindah tempat kerja sampai 11 kali.
Faisal, yang kini berusia 24 tahun, menjejaki dunia kerja mulai 2016 setelah lulus dari sekolah menengah kejuruan jurusan pemasaran. Ketika itu hampir dua bulan sekali dia pindah kerja karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga dipaksa keluar. Faisal, yang sejak dulu meminati urusan ketenagakerjaan, kerap mempertanyakan kebijakan perusahaan tentang hak pekerja yang acap tidak sesuai dengan peraturan. Dia pun bergabung dengan serikat pekerja untuk beroleh pengalaman berorganisasi dan belajar tentang urusan perburuhan.
Ketua Umum Serikat Merdeka Sejahtera (Semesta), Faisal Makruf. Dok.Pribadi
Berdasarkan pengalaman itu, Faisal melihat banyak serikat pekerja yang sulit merangkul anak muda karena metode perekrutannya tidak mengikuti perkembangan zaman. Karena itu, ketika mendirikan Semesta, dia menjaring anggota baru lewat media sosial. Semesta pun berusaha inklusif, terbuka bagi para pekerja dari sektor industri dan perusahaan apa pun. “Bahkan kami pernah menerima penganggur dan mahasiswa,” tutur Faisal.
Semesta yang beranggotakan 500 orang kini menjadi semacam ekosistem warga gen Z untuk saling membantu. “Tempat pusing bersama,” ucap Faisal. Selain mengadvokasi para pekerja yang mengalami sengketa perburuhan, Semesta rutin menggelar pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pekerja.
Lantaran lahir di masa pandemi dan sering menangani masalah anggota yang terkena PHK, Semesta pun menyiapkan strategi agar anggotanya yang menganggur tetap memiliki penghasilan hingga bisa kembali ke dunia kerja. Salah satu caranya adalah menyalurkan anggota tersebut ke koperasi milik serikat ataupun mitra serikat.
Dengan cara ini, Faisal menambahkan, gen Z bisa saling membantu untuk berkembang bersama. Semesta pun kian eksis dalam forum-forum perburuhan tingkat nasional dan internasional. “Kami sering menjadi yang termuda, bersama mereka yang sudah tua-tua. Bagi saya, itu kesuksesan.”
***
GENERASI Z makin menjadi perhatian masyarakat karena populasinya yang besar dan berperan penting dalam pasar kerja. Tak lama lagi mereka akan mengisi peran generasi milenial, yang lahir pada 1981-1996, di dunia kerja.
Hasil survei lembaga riset Deloitte memotret karakteristik dan persepsi terhadap gen Z. Salah satunya anggapan yang diuji dalam survei Deloitte adalah gen Z merupakan generasi yang pragmatis, menghindari risiko, dan tidak berjiwa wirausaha lantaran hanya termotivasi oleh keamanan kerja. Hipotesis ini muncul karena gen Z tumbuh setelah era resesi besar.
Namun hasil riset menunjukkan gambaran yang lebih luas. Misalnya, gen Z menganggap penting gaji, tapi ada pula prioritas lain, yaitu keseimbangan kehidupan dan kerja, jam kerja yang fleksibel, tunjangan, serta manfaat seperti asuransi. Survei juga menunjukkan tak semua anggota gen Z mementingkan gaji ketika memilih pekerjaan.
Sedangkan 77 persen responden mengatakan penting bagi mereka untuk bekerja pada organisasi dengan nilai yang sejalan dengan sikap mereka. “Gen Z tidak lagi membentuk opini tentang perusahaan hanya berdasarkan kualitas produk, tapi juga pada etika dan dampak sosial,” demikian petikan laporan Deloitte.
Survei Deloitte sejalan dengan riset yang digelar Universitas Paramadina bersama lembaga Continuum. Hasil riset tersebut menunjukkan 62 persen gen Z mementingkan pengakuan atas harga diri mereka ketika mencari pekerjaan. Para pekerja berusia muda ini pun cenderung akan keluar dari organisasi atau perusahaan yang nilai-nilainya tidak cocok dengan diri mereka. Ketidakcocokan dengan atasan, rekan kerja, dan budaya perusahaan juga menjadi faktor lain.
Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina Adrian Wijanarko mengatakan karakteristik gen Z itu terbentuk karena mereka mengalami tekanan, misalnya harus membiayai orang tua dan adik. Belum lagi tekanan sosial. Setelah pandemi Covid-19, kata Adrian, banyak warga gen Z yang merasa nasib mereka suram. “Ketidakpastian ekonomi global juga menambah kecemasan gen Z,” katanya.
Hipotesis Adrian tersebut dibenarkan oleh Aldino Sastra Wijaya, pengusaha produk fashion di Bandung. Pria 26 tahun asal Pagar Alam, Sumatera Selatan, ini mengatakan kondisi ekonomi keluarga menjadi pendorong baginya untuk belajar berusaha sejak kecil. Semasa sekolah, Aldino membantu orang tuanya berjualan es lilin. Dia juga merintis perusahaan bernama Superior T-Shirt ketika menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, pada 2021.
Aldino memutuskan berbisnis kaus setelah beberapa bulan bekerja di sebuah perusahaan mode di Kota Bandung. Dengan modal Rp 3 juta, dalam satu tahun dia bisa menjual 3.000 potong pakaian per bulan. Aldino pun mempekerjakan 13 penjahit dan 4 karyawan untuk mengoperasikan Superior T-Shirt. Pekerjanya pun kebanyakan gen Z hingga yang lebih senior. "Gen Z itu sebenarnya kreatif dan inovatif, tapi mereka banyak perhitungan ketika memilih pekerjaan,” ujarnya.
Tiga hal utama bagi gen Z, menurut Aldino, adalah gaji, lingkungan kerja, serta peluang pengembangan diri. Dari tiga kriteria itu, ia mencoba menyusun skema kerja yang cocok. Misalnya memperbolehkan pegawainya membuat toko sendiri. Aldino pun menerapkan jam kerja fleksibel sehingga pekerjanya bisa mengambil pekerjaan sampingan. “Memang hanya gen Z yang bisa mengerti gen Z,” ucapnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Bersekutu dan Saling Membantu