Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rumah-rumah Indonesia

Arsitektur Indonesia tak bisa lagi hanya diwakili oleh rumah tradisional dan kolonial. Karya arsitek belakangan menampilkan Indonesia dengan cara berbeda.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Houses by Indonesian Architects
Penulis: Imelda Akmal
Foto: Sonny Sandjaya
Penerbit: Imaji, 2013
Halaman: 216

Imelda Akmal memulai bukunya—Houses by Indonesian Architects—dengan pertanyaan: siapakah arsitek pertama Indonesia? Pertanyaan ini relevan saat kita ingin memperkirakan seperti apakah arsitektur Indonesia itu. Sebab, saat membahas arsitektur Indonesia, yang kerap diajukan adalah desain rumah tradisional atau kolonial. Desain rumah tradisional memang asli Indonesia, tapi itu hanya mewakili satu suku tertentu di masa lalu. Kini rumah-rumah itu menjadi minoritas, bahkan hampir punah.

Bangunan kolonial bisa jadi merupakan ikhtiar para arsitek modern untuk bangunan yang nyaman dan tepat dibangun di daerah seperti Indonesia. Hasilnya adalah rumah-rumah tropis dengan atap tinggi dan jendela besar. Tapi penciptanya bukan orang Indonesia, melainkan para arsitek Belanda yang kebetulan pernah di Indonesia saat masih Hindia Belanda. Keduanya—bangunan tradisional dan kolonial—tentu berkontribusi pada arsitektur khas Indonesia, jika desain-desain itu tampaknya sudah tak tepat lagi mewakili Indonesia kini.

Bisa dimengerti kenapa kita terperangkap pada masa lalu. Kita enggan menunjuk bangunan-bangunan baru memiliki ciri arsitektur Indonesia, karena menganggapnya sudah terlalu terpengaruh oleh gaya, bentuk, dan teknik yang mendunia. Wajah Indonesia tidak terlihat, kecuali secara artifisial ditonjolkan lewat pembuatan atap joglo, penempelan gebyok, atau mebel kuno yang dibeli dari Madiun.

Tentu saja, kita tak bisa menafikan keberadaan arsitektur Indonesia hanya karena kita tak melihat bangunan yang "Indonesia banget". Keindonesiaan tidak harus ditunjukkan lewat bentuk-bentuk yang mengadopsi desain arsitektur tradisional—apalagi mencomotnya secara serampangan. Keindonesiaan lebih tepatnya harus dilihat dari bagaimana para arsitek memakai ilmu arsitektur modern untuk membuat bangunan yang tumbuh dari tanah Indonesia, bukan yang dicangkokkan. Di sinilah pentingnya mempertanyakan siapa arsitek pertama Indonesia. Dari sana, kita bisa melihat akar arsitektur Indonesia.

Dalam bukunya ini, Imelda tidak berbicara tentang bangunan karya Liem Bwan Tjie, yang lahir di Semarang pada 1891; Aboekasan Atmodirono; atau Frederick Silaban. Mendiskusikan siapa arsitek pertama Indonesia hanya untuk memberi fondasi pada pemikiran bahwa arsitektur Indonesia tidak melulu tentang bangunan tradisional dan kolonial. Imelda justru membahas 19 rumah dari 19 arsitek yang dibangun dalam lima tahun terakhir.

Semuanya adalah rumah dengan penampilan yang amat modern. Rumah-rumah dengan beton yang terekspos, dinding panjang tak terputus, ruangan terbuka, jendela-jendela kaca lebar, dan tangga-tangga yang diilusikan menggantung di udara. Hanya rumah di Ubud, yang dikerjakan oleh Ketut Arthana (Arte Architect), yang bernuansa tradisional—terbuat dari bambu dan beratap jerami.

Bisa ditebak, siapa saja arsitek yang mengisi buku ini. Ada Han Awal dengan rumah 1.000 meter di Sanur; Andra Matin, yang membuat rumah seniman di Yogyakarta; Irianto Purnomo Hadi (Antara Design), yang merancang rumah yang terlihat doyong di dekat lapangan golf Serpong; Willis Kusuma dengan rumah kotak di Sunter; dan Tan Tik Lam di Bandung.

Pertanyaan pertama: kenapa buku ini memilih rumah? Karena rumah adalah lahan garapan arsitek Indonesia yang paling umum. Berbeda dengan gedung-gedung jangkung di Sudirman, Thamrin, atau Kuningan, yang kebanyakan dirancang arsitek luar negeri.

Kedua, apakah rumah-rumah dalam buku ini bisa mewakili bangunan berarsitek Indonesia? Bisa ya, bisa tidak. Ya, karena sebagian besar arsitek yang dipilih dikenal memiliki konsep yang kuat. Mereka membuat rumah yang mencerminkan pemiliknya. Ini bukan tentang dinding-dindingnya, melainkan tentang apa yang ada di antara dinding itu. Mereka—Han, Andra, Irianto, Willis, Tan Tik Lam, dan Ketut—punya idealisme itu. Tapi jawabannya bisa tidak jika kita mengharapkan rumah-rumah ini sebagai pola utama dari arsitektur Indonesia.

Seperti halnya kebanyakan buku arsitektur, karya Imelda ini menampilkan banyak foto dan sedikit teks. Pertimbangannya tentu karena foto lebih banyak menerangkan desain arsitektur dibanding kata-kata. Sayangnya, Imelda tidak tegas memilih bahasa untuk teks: Indonesia, Inggris, atau bilingual? Semua judul dan teks di halaman bumper memakai bahasa Inggris, tubuh cerita bahasa Indonesia, lalu ada terjemahan singkat dalam bahasa Inggris. Jika ingin bilingual, alangkah baiknya kalau dia membuat judul dalam dua bahasa. Lalu ditetapkan apa bahasa utamanya, Indonesia atau Inggris.

Selain itu, Imelda menampilkan rumah-rumah tersebut sebagai benda kosong. Tak ada cerita tentang manusia yang tinggal di dalamnya, tentang proses diskusi antara arsitek dan klien hingga rumah itu tercipta.

Di luar soal itu, pilihan Imelda akan arsitek dan karya-karya mereka sangat relevan. Rumah-rumah itu berhasil merekam Indonesia pada masa kini.

Qaris Tajudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus