Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menimbang 'Saras 008'

Serial ini begitu populer, hingga acara-acara off-air yang diselenggarakan selalu ramai dikunjungi penggemarnya. Sebuah kisah fantasi yang, sayangnya, tampil agak kedodoran.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI KALA damai, dia adalah Saraswati. Dia lahir sebagai putri sulung Bu Larasati dan Pak Kasimin, kakak dari Gagas— seorang anak lelaki yang gemar mengutak-atik program komputer—dan majikan seekor kucing bernama Ketty.

Syahdan, pada suatu hari yang nahas, sang kucing kesayangan tewas. Saraswati tersedu-sedu, tak bisa makan, tak bisa tidur akibat kehilangan sahabatnya. Entah bagaimana, tiba-tiba—bak Catwoman dalam film Batman—arwah sang kucing merasuk ke tubuh Saras, dan…, masya Allah, dia mendadak berubah menjadi Saras 008! Buset!

Percaya atau tidak, suka atau tidak, serial Saras 008 karya sutradara Gusur Adhikarya kini telah menjadi pahlawan baru bagi anak-anak. Dengan kostum hitam-putih, pahlawan anak SMU yang punya julukan ''pahlawan kebajikan" ini menjadi tontonan ''wajib" anak-anak balita dan remaja tanggung. Apa boleh buat, serial yang diputar di stasiun televisi Indosiar setiap Selasa dan Kamis itu pernah meraih rating sampai 15. Artinya, jika angka rating mencapai dua digit, penontonnya lumayan banyak. Tetapi, menurut Kepala Humas Indosiar, Gufroni Sakaril, rating penonton serial ini cukup fluktuatif. Saat ini, menurut Gufroni, ratingnya mencapai 10 sampai 11.

Angka 008 pada ekor nama Saras itu tentu bukan sembarang comot atau meniru James Bond 007, tapi itu adalah nama sponsor utama serial ini. ''Program itu memang sengaja dibuat untuk menunjang brand image kami," tutur Wibisono Hadiputro, Manajer Pemasaran PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo).

Serial yang sudah memasuki episode ke-98 ini memang terhitung berusia cukup panjang dibandingkan dengan, katakanlah, serial anak-anak lain seperti Keluarga Cemara. Kecuali Lenong Bocah (versi lama), serial anak-anak televisi memang punya napas pendek karena memang sulit untuk membetot perhatian anak-anak kecuali jika para kreator memiliki skenario bagus, visi jelas, dan pemain yang unggul.

Tetapi, apakah memang persyaratan itu yang dimiliki serial ini? Mari kita simak ceritanya dulu. Saraswati—dulu diperankan oleh Dewi Cindiyana, lalu Devi Permatasari, kemudian diganti Peggy Perdianti—adalah seorang anak kelas II SMU yang digambarkan agak kelaki-lakian, selalu mengenakan celana panjang, baret hitam, berkacamata, yang—berkat bantuan ''arwah sang kucing kesayangan"—bisa berubah menjadi ''Saras 008" yang berkostum senam hitam-putih, bertopeng, dan memiliki kemampuan mengalahkan lawan. Di bagian ini, penggemar serial kartun Sailormoon—yang mengetahui tokoh Usagi yang cengeng dengan kucingnya yang bisa berubah menjadi Sailormoon—pasti akan merasakan ''pengaruh" atau kebetulan persamaan antara kedua serial ini. Dan para penggemar Batman juga akan ingat bagaimana tokoh Selina (diperankan oleh Michelle Pfeiffer), yang kucing kesayangannya tewas itu, telah ''membantu" Selina berubah menjadi Catwoman, yang berkostum kulit ketat dan bertopeng. ''Saya pikir tidak ada orang yang murni tidak terpengaruh oleh apa yang dia baca dan dia lihat," tutur Gusur.

Lalu, mari kita simak tokoh-tokoh lainnya. Ada Mas Yudhis (Dorman Borisman), detektif amatiran yang selalu mengenakan jas panjang bak detektif Amerika, Dick Tracy; ada Mister Blek (Johan Saimima), penjahat berusia 200 tahun berasal dari planet Crysmon yang berpenampilan serba hitam; ada Ratu Sinisi (Ery Puspitasari), musuh Saras 008 yang cantik dan ahli biologi. Seperti musuh Batman, Poison Ivy (diperankan Uma Thurman), si ahli biologi yang jahat, Ratu Sinisi yang cantik itu juga seorang ahli biologi yang selalu mengenakan kostum serba hijau. Lalu ada Bul Gombalgambul (Prety Asmara) dan Bil Gombalgambil (Bagus Endro), pasangan gendut-ceking kaki tangan Mister Blek yang selalu dimarahi karena sering melakukan kecerobohan dan lainnya.

Sederetan kawan dan lawan Saras yang memiliki karakter dan sejarah ini mungkin salah satu kekuatan serial ini. Mereka tampil dengan konsisten—karena anak-anak membutuhkan kontinuitas—dengan karakter yang unik dan mungkin lucu.

Tetapi, selebihnya, serial ini adalah sederetan kekonyolan yang seharusnya tak perlu terjadi. Misalnya, penggarapan yang terlalu pas-pasan sehingga film yang keinginannya tampil canggih ini akhirnya tampil seadanya; akting pemain yang sangat payah, kecuali Dorman Borisman yang tampil agak lumayan; dan penyuntingan yang kasar sehingga trik kamera masih terlihat nyata.

Salah satu episodenya, misalnya, memperlihatkan Saraswati yang sudah mulai ''jatuh cinta" dengan memperhatikan salah seorang anak lelaki di sekolahnya. Sebagaimana kisah-kisah remaja tanggung, fase seperti ini tentu menarik dan memang perlu digarap untuk memperlihatkan kewajaran bahwa Saras juga seorang remaja biasa. Namun, adegan Saras yang bolak-balik membuntuti sang pria—yang juga jago berkelahi—dengan meminta bantuan Mas Yudhis itu tampak bertele-tele, berpanjang-panjang tanpa fokus, dengan sudut pengambilan kamera yang datar dan monoton. Baik pemeran Saras maupun sang pria pujaan sama-sama tampil buruk.

Ini sebuah ironi melihat serial komik Saras 008, yang dibuat setelah suksesnya serial ini, tampil lebih enarik—meski secara artistik tentu masih kalah jauh dengan komik impor AS dan Jepang—dan juga ludes dilalap pembaca. Komik Saras 008, yang sudah mencapai serial kedua dan dicetak sebanyak 13.500 eksemplar, seperti diutarakan kreatornya, Gusur, tentu saja lebih mudah mewujudkan fantasi dan adegan sedahsyat apa pun tanpa harus memikirkan pelaksanaan teknis shooting. Itu memang menjadi masalah bagi serial televisi yang membutuhkan properti teknologi tinggi. Karena teknologi masih terbatas, visualisasi menjadi, maaf, agak norak. Akibatnya, skenario hebat, tanpa penunjang yang memadai, membuat visualisasi jadi kedodoran.

Tetapi, jika tujuan para kreator dan stasiun televisi itu hanya soal popularitas, ya, sudah. Tujuan itu sudah tercapai.

Leila S. Chudori, Irfan Budiman, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus