Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seleksi Serampangan Punggawa Penyiaran

Pemilihan sembilan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia mengundang pertanyaan. Investigasi Tempo menemukan bukti bagaimana hasil uji kompetensi justru dikesampingkan. Menjelang pemilihan umum, pemilik stasiun televisi yang punya kepentingan politik diuntungkan.

20 Januari 2014 | 00.00 WIB

Seleksi Serampangan Punggawa Penyiaran
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PERTEMUAN itu digelar di gedung Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, pada awal pekan kedua Januari lalu. Wakil Ketua KPI Idy Muzayyad memimpin rapat, didampingi komisioner bidang pengawasan isi siaran, Agatha Lily. Di hadapan mereka, duduk rombongan anggota staf Media Nusantara Citra (MNC) Group yang dipimpin corporate secretary mereka, Arya Sinulingga.

Dalam pertemuan itu, KPI meminta klarifikasi atas penayangan acara berjudul Mewujudkan Mimpi Indonesia di RCTI pada 21 Desember lalu. Acara itu ditengarai bermuatan kampanye politik karena merupakan siaran langsung gegap-gempita perayaan ulang tahun Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) di Sentul International Convention Center, Bogor.

Bukan kebetulan kalau Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group—yang menguasai RCTI serta dua stasiun TV lain, MNC TV dan Global TV—adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura. Dia baru pindah ke partai yang didirikan mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Wiranto itu pada Februari tahun lalu. Sebelumnya, Hary aktif di Partai NasDem, yang dipimpin mantan politikus Golkar, Surya Paloh.

"Tayangan ini mendapat banyak kritik dari masyarakat luas," ujar Agatha Lily pada awal pertemuan. "Kami ingin mendapat penjelasan," dia menambahkan. Tapi, sampai rapat itu berakhir, penjelasan yang diminta Agatha tak sepenuhnya diperoleh. Perwakilan MNC berkeras semua program siaran di stasiun televisi mereka sudah dikemas sesuai dengan peraturan. Tak ada yang dilanggar.

Menyemprit acara ulang tahun partai politik seperti ini hanya satu dari seabrek pekerjaan rumah yang sedang menumpuk di meja KPI. Mendekati hari-H pemilihan umum pada 9 April mendatang, materi siaran sejumlah stasiun televisi memang terasa kian tak berimbang. Kepentingan pemilik media makin kencang berkibar.

Pada awal Desember lalu, KPI mencoba mengantisipasi perkembangan ini dengan mengirimkan surat peringatan kepada enam lembaga penyiaran yang dinilai menyiarkan berita politik secara tidak proporsional. Selain menyemprit RCTI, para punggawa penyiaran menegur dua stasiun TV lain milik MNC Group. Stasiun Metro TV milik bos Partai NasDem, Surya Paloh, serta dua media milik kelompok media Viva Group, ANTV dan TV One, tak ketinggalan dijewer. Pemilik Viva, Aburizal Bakrie, adalah Ketua Umum Partai Golkar.

"Ada ketimpangan informasi karena afiliasi politik. Soalnya, para pemilik stasiun televisi ini juga politikus," kata Ketua KPI Judhariksawan ketika mengumumkan keputusan itu. Jika keenam redaksi stasiun televisi itu tidak memperbaiki diri, Judha memastikan lembaganya akan menerbitkan surat teguran kedua, yang bisa berujung pada sanksi penghentian siaran.

Sayangnya, ancaman Judha sepertinya tak bikin jeri. Buktinya, tak sampai dua pekan setelah surat teguran itu, RCTI menayangkan acara ulang tahun Partai Hanura. Promosi partai berlambang anak panah itu malah menjadi-jadi dengan munculnya acara-acara berbau kampanye, seperti Kuis Kebangsaan dan Kuis Indonesia Cerdas di Global TV.

Ompongnya KPI membuat khalayak khawatir. "Apalagi, dalam beberapa kasus, mereka seperti bingung mengambil sikap," ujar Roy Thaniago, awal Januari lalu. Roy adalah Direktur Remotivi, lembaga yang memantau isi siaran stasiun televisi nasional.

Dia lalu menunjuk kasus siaran konvensi Partai Demokrat di TVRI pada September tahun lalu sebagai contoh. "Awalnya KPI bilang TVRI tidak salah, tapi belakangan berubah," kata Roy sambil menggelengkan kepala.

KPI yang limbung dan tak gesit bertindak bisa punya implikasi panjang, lebih-lebih pada tahun politik seperti sekarang. Berhasil-tidaknya lembaga negara ini mengawal kepentingan publik di ranah penyiaran bisa jadi faktor kunci yang menentukan hasil pemilihan umum.

Posisi strategis KPI ini yang tak banyak disadari orang ketika pemilihan komisioner lembaga itu mulai bergulir awal tahun lalu. Proses seleksi berlangsung adem-ayem, tanpa banyak riak. "Padahal proses seleksi KPI bermasalah sejak awal. Ada begitu banyak kejanggalan," ucap Roy.

1 1 1

AHMAD Riza Faisal masih ingat betul percakapannya dengan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Mochamad Riyanto pada pertengahan Juni lalu. Komisioner KPI daerah di Lampung itu dihubungi Riyanto lewat telepon dan mendapat kabar buruk: dia tak lulus seleksi menjadi Komisioner KPI pusat.

Ketika itu, proses pemilihan Komisioner KPI sudah memasuki babak terakhir. Dimulai sejak April, semula ada 120 orang yang melamar menjadi pejabat negara yang bertugas mengawal frekuensi publik itu. Riza lolos seleksi administrasi, tapi tersandung di tahap ujian tertulis.

Riyanto salah satu dari tiga anggota Tim Seleksi Komisioner KPI periode 2013-2016. Dia ikut menentukan 20 nama calon yang lolos ujian kompetensi dan berhak menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat. Selain mereka, tujuh komisioner inkumben yang mencalonkan diri lagi otomatis ikut seleksi final di Senayan. Jadi total ada 27 orang yang lolos ke DPR.

"Pak Riyanto bilang saya tidak lolos karena saya masih muda dan bagus," kata Riza kepada Tempo, akhir November lalu. "Dia ingin saya tetap di daerah, menjaga Lampung." Nada suaranya bingung.

"Kalau saya dianggap bagus, bukankah saya tetap bisa menjaga industri penyiaran di daerah dengan menjadi Komisioner KPI pusat?" ujar dosen ilmu komunikasi Universitas Lampung ini.

Sederet pertanyaan Riza itu tak segera mendapat jawaban. Proses seleksi menggelinding cepat. Pada pekan pertama Juli, Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan fit and proper test selama dua hari. Lewat voting, sembilan orang akhirnya terpilih menjadi Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia masa bakti 2013-2016.

Tiga wajah lama bertahan: Judhariksawan, Azimah Subagijo, dan Idy Muzayyad. Enam lainnya nama baru, yakni Bekti Nugroho, Agatha Lily, Amirudin, Sujarwanto Rahmat M. Arifin, Danang Sangga Buwana, dan Fajar Arifianto Isnugroho. Pada awal Agustus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani keputusan presiden yang mengukuhkan mereka menjadi komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia.

Dua bulan kemudian, pada awal Oktober, barulah pertanyaan Riza menemukan jawaban. Dono Prasetyo, salah satu calon Komisioner KPI yang tak lolos seleksi, menemukan bukti bahwa proses pemilihan tidak berjalan semestinya.

"Tim Seleksi KPI tidak transparan dan tidak akuntabel," kata Dono ketika dihubungi Tempo, akhir Desember lalu. Dia punya dua lembar dokumen yang berisi daftar skor calon komisioner yang ikut ujian tertulis. Mereka yang nilainya bagus justru gugur, termasuk Dono. Jika dokumen itu otentik, ada indikasi Tim Seleksi sengaja mengesampingkan hasil ujian kompetensi tersebut.

Apa motifnya? "Saya menduga ada kepentingan politik untuk mengamankan kepentingan industri televisi menjelang pemilihan umum," ujar Dono. Berbekal bukti itu, mantan Komisioner Komisi Informasi Pusat ini mengadukan amburadulnya proses seleksi KPI ke Komisi Ombudsman Indonesia dan Sekretariat Negara. Dia berharap proses seleksi diulang.

Kabar soal protes Dono menyebar cepat lewat media. Di Lampung, Riza, yang mendengar soal ini, bergegas pergi ke Jakarta. Diam-diam dia mendapat akses untuk melihat sendiri hasil ujian tertulis yang membuatnya gagal lolos ke Senayan. "Ternyata nama saya ada di urutan kedua terbaik," katanya pelan.

1 1 1

TIM Seleksi Pemilihan KPI terdiri atas tiga orang: Ketua KPI Mochamad Riyanto, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Muhammad Ichwan Syam, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) Semarang, Edi Lisdiono.

Mereka bekerja berdasarkan surat keputusan yang diterbitkan Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat. Mekanisme ini diatur dalam Peraturan KPI soal Pedoman Rekrutmen KPI, yang disahkan pada April 2011. Peraturan ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang Penyiaran yang mengatur tata cara umum seleksi Komisioner KPI.

Peraturan itu tegas-tegas menyebutkan bahwa anggota Tim Seleksi seharusnya lima orang. Kelima anggota ini mewakili pemerintah, tokoh masyarakat, dan akademikus.

Sumber Tempo di KPI menyebutkan semula memang ada lebih dari 20 nama yang diajukan ke DPR sebagai anggota Tim Seleksi. Mereka di antaranya Rektor Universitas Islam Negeri Komaruddin Hidayat; tokoh pers dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta, Ashadi Siregar; dan eks Direktur Antara Mohamad Sobary. Selain itu, praktisi penyiaran Inke Maris dan psikolog Elly Rusman Musa diusulkan.

Yang jadi masalah, nama-nama tersebut tidak dipilah-pilah dulu sebelum diajukan ke DPR. Nama Edi Lisdiono, misalnya, hampir tak pernah terdengar rekam jejaknya dalam dunia penyiaran. Edi dan Riyanto sama-sama tenaga pengajar di Untag Semarang.

Selain itu, nama-nama ini diajukan tanpa ditanya kesediaannya. Walhasil, setelah ditetapkan DPR, baru terungkap bahwa hampir semuanya berhalangan. "Sudah saya minta tambahan nama kepada DPR, tapi mereka bilang jalan saja terus," ucap Riyanto ketika dimintai konfirmasi, akhir November lalu.

Dengan proses yang karut-marut itu, pada Mei lalu, Tim Seleksi mulai bekerja.

1 1 1

JIKA mengacu pada Peraturan KPI tentang Pedoman Rekrutmen, seharusnya seleksi Komisioner KPI terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama adalah seleksi administrasi atas berkas pendaftaran calon. Tahap kedua adalah uji kompetensi, yang terdiri atas tes tertulis dan tes psikologis. Mereka yang tak lolos di setiap tahap langsung dicoret. Fit and proper test di parlemen adalah tahap ketiga dan final dari proses seleksi komisioner.

Kenyataannya, semua tahapan itu diabaikan. Dokumen-dokumen hasil pemilihan yang diperoleh Tempo menunjukkan bagaimana Tim Seleksi membuat aturan sendiri untuk menilai calon. Makalah mengenai visi dan misi calon komisioner—yang seharusnya dinilai di tahap seleksi administrasi—justru dinilai pada tahap uji kompetensi.

Nilai visi-misi itu lalu digabungkan dengan skor hasil ujian tertulis, untuk menentukan kelulusan uji kompetensi. Yang lebih parah, hasil tes psikologi, yang seharusnya jadi salah satu dasar kelulusan, malah sama sekali tidak dipakai.

Tim Seleksi bahkan berinisiatif membuat satu ujian lagi: seleksi integritas. Cara penilaiannya amat subyektif. "Kami menilai integritas berdasarkan pengamatan kami atas latar belakang calon," kata Riyanto.

Meski sudah dihubungi berkali-kali, dua anggota Tim Seleksi KPI, Ichwan Syam dan Edi Lisdiono, menolak diwawancarai. Hanya Riyanto yang bersedia bicara. Dia mengakui semua pelanggaran aturan rekrutmen KPI. Menurut dia, "Peraturan KPI soal pedoman rekrutmen itu kan cuma pedoman saja."

Akibat metode penilaian semacam itu, Ahmad Riza Faisal tersingkir meski skornya terbaik kedua dalam ujian tertulis. Selain dia, ada delapan peserta lain yang nilainya memenuhi syarat tapi tak diloloskan ke DPR.

Posisi mereka diisi oleh sembilan orang lain yang nilainya pas-pasan tapi terdongkrak oleh hasil ujian "visi-misi" dan "penilaian integritas". Ada calon yang nilai ujian kompetensinya amat buruk tapi tetap lolos karena mengantongi rekomendasi sebuah lembaga negara. Satu calon lain lolos karena "sudah senior".

Bukan hanya itu. Hasil tes psikologi yang menemukan ada 13 calon komisioner yang tidak disarankan menjadi pejabat publik juga diabaikan. Dua Komisioner KPI sekarang sebenarnya tak lolos psikotes.

Pada akhir Juni tahun lalu, daftar 20 nama yang dihasilkan dari proses seleksi nan semrawut itu kemudian disetorkan ke DPR, bersama nama tujuh komisioner inkumben yang kembali mencalonkan diri. Sekarang bola ada di Senayan.

1 1 1

TIDAK banyak yang tahu, sebelum terbentuknya Tim Seleksi, pada akhir Januari lalu, Komisi Informasi DPR membentuk sebuah tim khusus bernama Tim Sembilan. Anggotanya adalah perwakilan setiap fraksi di parlemen.

Dalam pertemuan konsultasi Tim Seleksi dengan Tim Sembilan pada 14 Mei tahun lalu, Wakil Ketua Komisi Informasi DPR Ramadhan Pohan menjelaskan tugas tim itu dengan gamblang. "Sesuai dengan UU Penyiaran, DPR yang berwenang memilih Komisioner KPI pusat. Untuk itu, kami memberi mandat penuh kepada Tim Sembilan untuk memilih Komisioner KPI," ucapnya.

Pernyataan politikus Partai Demokrat ini tercantum dalam notulensi rapat yang salinannya diperoleh Tempo. Maka sejak awal parlemen sebenarnya sudah mengambil alih proses pemilihan KPI. Tim Seleksi Riyanto hanya kepanjangan tangan dari fraksi-fraksi di Senayan.

Ditanya soal ini, Ramadhan membenarkan. "Yang menyeleksi nantinya kan DPR juga. Jadi sebelas-dua belaslah," katanya Desember lalu. Riyanto juga mengaku tahu soal ini. "Tugas Tim Seleksi hanya mempresentasikan hasil pemilihan kepada Tim Sembilan," ujarnya. "Semua kami laporkan kepada mereka."

Anggota Tim Sembilan adalah Hayono Isman (Demokrat), Tantowi Yahya/Meutia Hafidz (Golkar), Evita Nursanti (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Mardani (Partai Keadilan Sejahtera), Djazuli (Partai Kebangkitan Bangsa), Muhammad Najib (Partai Amanat Nasional), Husnan Bey (Partai Persatuan Pembangunan), Ahmad Muzani (Gerindra), dan Susaningtyas Kertopati (Hanura).

Sepanjang proses seleksi di KPI, Tim Sembilan beberapa kali meminta laporan dari Tim Seleksi. Dalam satu rapat, seorang anggota DPR secara terbuka meminta keterangan soal latar belakang para calon. "Kalau perlu CV-nya sekalian," kata seorang politikus, seperti tercantum dalam notulensi rapat KPI yang diperoleh Tempo.

Ketika ditanya soal ini, anggota Tim Sembilan, Tantowi Yahya, buru-buru meluruskan. "Kami tidak cawe-cawe soal siapa yang lulus ujian atau tidak," ujarnya, November lalu. Tim ini, kata dia, hanya ingin memastikan siapa saja yang ikut seleksi KPI. "Supaya kami tidak kecolongan," ucapnya. "Intervensi" DPR sejak awal proses seleksi semacam ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Pada pekan pertama Juli, uji kepatutan dan kelayakan atas 27 calon Komisioner KPI akhirnya digelar di Komisi Informasi DPR. Di sinilah pertarungan politik resmi dimulai. Setiap fraksi memiliki calon unggulan sendiri.

Salah satu fraksi yang jelas punya kepentingan untuk mengamankan industri televisi adalah Hanura. Bos MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, adalah calon wakil presiden dari partai itu. Politikus Hanura, Susaningtyas Kertopati, tak malu mengakuinya. "Yang menguntungkan MNC, saya suka. Yang tidak menguntungkan, ya, enggak suka," ujarnya terus terang.

Fraksi Golkar, yang terafiliasi dengan grup media Viva (ANTV dan TV One), juga tak menutupi kepentingannya. "Fraksi lain juga begitu, apa bedanya? Ini demokrasi," kata Agus Gumiwang Kartasasmita, politikus Golkar di Komisi Informasi.

Sumber Tempo yang mengikuti proses lobi antarfraksi pada malam penentuan hasil uji kelayakan mengakui panasnya negosiasi. Bahkan, kata dia, pola tawar-menawarnya pun berbeda dengan lobi pada penentuan pemimpin lembaga negara lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial.

"Biasanya setiap fraksi punya daftar nama yang didukung, kali ini ada fraksi yang terang-terangan minta ada nama yang tidak boleh lolos," ujar sumber ini. Dia mengaku tak pernah mengalami dinamika politik sekencang itu dalam proses pemilihan komisioner lembaga lain. "Ini non-negotiable," katanya menirukan tuntutan seorang politikus fraksi itu.

Menjelang tengah malam pada Rabu pertama Juli lalu, sembilan komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia akhirnya terpilih. Sekarang, lebih dari enam bulan kemudian, buah dari proses seleksi yang serampangan itu mulai dirasakan publik.


Tim Investigasi
Penanggung jawab: Wahyu Dhyatmika Pemimpin proyek: Agoeng Wijaya Penyunting: Wahyu Dhyatmika, Sukma N. Loppies Penulis: Agoeng Wijaya, Budi Riza, Sukma N. Loppies Penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Ananda Badudu, Budi Riza Periset Foto: Nita Dian Desain: Aji Yuliarto, Djunaedi Bahasa: Iyan Bastian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus