Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR setahun berselang sejak alang-alang di Kaveling 93 di Jalan Gatot Subroto dibersihkan, tak ada tanda-tanda segera berdiri gedung T-Tower. Sampai pekan lalu, di lahan seluas 7.000 meter persegi itu belum tampak tiang pancang. Hanya ada kubangan besar dengan dua ekskavator dan tumpukan batang besi.
PT Comradindo Lintasnusa Perkasa berencana membangun gedung 27 lantai itu atas pesanan Bank Jabar dan Banten mulai April 2013. Sepekan sebelumnya, Tempo menulis kejanggalan pembelian gedung senilai Rp 554 miliar itu dengan judul laporan utama "Gedung Lancung Bank Jabar". Selain transaksinya tergesa-gesa, transfer 40 persen uang muka pada 12 November 2012 untuk proyek itu tak didasari dokumen memadai.
Kejanggalan itu terkonfirmasi oleh penyelidikan Kejaksaan Agung. Pada pertengahan tahun lalu, jaksa menetapkan Wawan Indrawan dan Tri Wiyasa sebagai tersangka dugaan korupsi. Wawan merupakan Kepala Divisi Umum Bank Jabar yang menjadi ketua tim pengadaan, sementara Tri adalah Direktur Comradindo. "Nilai kerugian proyek ini Rp 298 miliar," kata Direktur Penyidikan Pidana Khusus Syafruddin, dua pekan lalu.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan baru selesai menghitung ulang proyek itu dan menemukan pelbagai pelanggaran prosedur yang berujung pada kerugian negara. Menurut Syafruddin, jaksa bersiap melebarkan penyidikan ke direksi Bank Jabar dan Comradindo yang menyetujui proyek itu. "Pasti prosesnya tak berhenti di dua orang tersangka," ujarnya.
Selain berbekal audit, jaksa mengantongi hasil penyelidikan Bank Indonesia dan pemeriksaan internal Bank Jabar yang menelisik ulang proyek ini pada April-Juli 2013. Dalam dokumen-dokumen itu, peran direksi Bank Jabar sangat jelas karena menyetujui pembayaran uang muka tanpa menunggu selesainya kajian divisi hukum.
Hanya, penyelidikan internal berhenti pada Wawan. Bankir yang 23 tahun berkarier di bank pemerintah Jawa Barat ini disalahkan karena menetapkan harga lebih tinggi daripada penilaian tim independen yang ditunjuk Bank Jabar sendiri. Selain itu, negosiasi dilakukan superkilat, selesai pada hari yang sama dengan presentasi Comradindo. Wawan dan Tri bersepakat pada harga Rp 38 juta per meter persegi, sementara auditor independen menaksir harga termahal hanya Rp 35 juta.
Menurut Wawan, harga negosiasi tersebut ia laporkan kepada direksi, karena transfer sebesar itu di luar kewenangannya. Saat negosiasi, ia menawar hingga Rp 30 juta per meter untuk 13 ribu meter persegi di 14 lantai. Tri Wiyasa bertahan di angka Rp 40 juta. Keduanya bersepakat di harga Rp 38 juta dengan catatan disetujui direksi. "Direksi tanda tangan berarti mereka setuju," katanya.
Rapat direksi yang menyetujui harga plus perintah pembayaran uang muka digelar lima hari setelah negosiasi, pada 6 November 2012, dipimpin Direktur Utama Bien Subiantoro. Wawan kemudian mentransfer uang muka 40 persen, sementara sisanya dicicil 12 kali sebesar Rp 27,17 miliar per bulan. Dalam kesepakatan antara Wawan dan Tri kemudian, gedung akan diserahkan dua tahun setelah cicilan pertama atau November 2014.
Dalam audit internal, terkonfirmasi bahwa Comradindo tak siap dengan kelengkapan dokumen, seperti kepemilikan tanah, izin mendirikan bangunan, analisis mengenai dampak lingkungan, dan pengikatan jual-beli di depan notaris untuk menghindari wanprestasi. Dalam kesimpulannya, audit itu menyebutkan banyak kejanggalan dalam pembelian gedung, yang "berisiko merugikan Bank Jabar".
Kejanggalan sebetulnya sudah terlihat jauh sebelum uang muka ditransfer. Kaveling 93 itu sudah ditolak oleh direksi sebelumnya, dengan alasan kepemilikan tanah tak jelas. Sejak 2006, direksi Bank Jabar melakukan survei ke banyak tempat yang akan dijadikan kantor pusat.
Pada 2011, PT Sadini merupakan satu dari tiga perusahaan yang menawarkan lahan untuk kantor pusat di Ibu Kota. Tawaran di Kaveling 93 itu ditolak, tapi disetujui ketika yang menawarkannya Comradindo. Tak jelas benar hubungan keduanya. Penelusuran Tempo pada alamat Sadini sampai pada sebuah bengkel yang sudah menempatinya sepuluh tahun. "Kami sedang menelusuri hubungan itu," ujar jaksa Syafruddin.
Kejanggalan kian menjadi karena transaksi dan transfer uang muka begitu cepat. Para auditor menelisiknya hingga dugaan pembiayaan kampanye Gubernur Ahmad Heryawan yang maju lagi dalam pemilihan pada Februari 2013. Petunjuknya bukan tak ada. Pemilik Comradindo adalah Titus Sumadi, pengusaha yang dekat dengan politikus Partai Keadilan Sejahtera, partai asal Heryawan.
Jauh sebelum transaksi, para anggota direksi Bank Jabar kerap dikumpulkan orang-orang dekat Heryawan untuk dimintai proyek. Salah satunya Sutiana, bekas Bendahara Partai Keadilan Sejahtera Jakarta, yang menjadi anggota tim pemenangan Heryawan. Bien mengaku kerap dihubungi dan beberapa kali bertemu dengan Sutiana meski "tak pernah mau diajak berkompromi". Para auditor kesulitan melacak aliran uang karena, kata mereka, "Transaksi akhir ditarik secara tunai."
Sepekan setelah uang muka dikirim ke rekening Comradindo di Bank Jabar, ada banyak penarikan melalui cek, yang lalu ditransfer ke rekening penampungan di bank lain. Salah satu transfer, misalnya, ke rekening Andy Sujana, yang tak lain pemilik Sadini. Juga ke rekening Brocade, perusahaan asuransi milik Sutiana. Pencairan setelah rekening terakhir itulah yang diduga dilakukan secara tunai sehingga sulit dilacak melalui pemeriksaan bank.
Menurut Wawan, yang dilakukannya sesuai dengan prosedur kehati-hatian di Bank Jabar. Ia tahu sejak awal Sadini pemilik tanah itu—dan pemilik Sadini, tak lain, Comradindo. "Pak Titus Sumadi pemilik semua perusahaan ini," ujarnya. Wawan mengaku sekali bertemu dengan Titus ketika mengecek administrasi perusahaannya setelah pembelian gedung ramai diberitakan.
Bien Subiantoro menolak menanggapi penyelidikan dan temuan para auditor ini. Ditemui Jumat pekan lalu di kantornya, ia menggeleng ketika Ahmad Fikri dari Tempo bertanya tentang pembelian gedung itu. "Saya enggak mau menjawab," katanya.
Bagja Hidayat, Tri Artining Putri (Jakarta), Erick P. Hardi (Bandung)
Cukup Kepala Divisi
Audit internal hanya menyasar Kepala Divisi Umum Bank BJB, ketua tim pembelian gedung T-Tower. Padahal pembayaran uang muka Rp 297 miliar—dari total nilai proyek Rp 554 miliar— disetujui rapat direksi. Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, proyek ini merugikan negara Rp 298 miliar.
Penyimpangan Tim Pembelian
Wawan Indrawan
Penyimpangan Direksi
Bien Subiantoro, Dirut BJB
Kejanggalan Proyek
Lokasi gedung BJB yang ditawarkan Comradindo sudah ditolak direksi sebelumnya karena kepemilikan tanah bermasalah
Tersangka di Kejaksaan Agung
Wawan Indrawan, Kepala Divisi Umum/Ketua Tim Pengadaan
Tri Wiyasa, Direktur PT Comradindo Lintasnusa Perkasa
Uang Muka Mengalir Cepat
Bank BJB ke rekening PT Comradindo Lintasnusa Perkasa —12 November 2012
PT Comradindo Lintasnusa Perkasa
Rekening di BJB 009-720-30-8002
RTGS —19 November 2012
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo