LEBIH baik mati daripada tidak makan cabai." Ini semboyan hidup
Salamun, 35 tahun, seorang pegawai sipil Kores 974 Kebumen, Jawa
Tengah. Sehari saja Salamun tidak makan cabai, mulutnya terasa
linu, mirip pecandu rokok yang dilarang merokok.
Makan cabai memang kegemaran Salamun sejak berumur 11 tahun.
"Mula-mula hanya sebagai campuran kalau saya makan bakwan atau
tahu," ceritanya pekan lalu. Kini rata-rata tiap hari ia makan
0,75 kg cabai rawit, yang 0,5 kg dilalapnya begitu saja sedang
sisanya disayur. Salamun kurang suka cabai merah atau hijau yang
besar karena rasanya "terlalu manis".
Melihat cara Salamun melalap cabai rawit bisa mempesonakan.
Sekali comot 5 biji cabai dikremus menyusuli sesuap nasi.
Sehabis makan ia juga mendesis kepedasan dan air matanya keluar.
"Kenikmatan cabai ya rasa pedasnya itu," ujar Salamun. Ia
mengaku sekali makan bisa menghabiskan cabai sampai 2 kg, asal
disayur.
Untung harga cabai di Kebumen murah hingga kegemarannya ini tak
menggerogoti anggaran rumahtangganya. Menurut Salamun, berkat
cabai kesehatannya tetap terjaga baik. "Khasiat cabai sangat
tinggi," katanya. "Antara lain mencegah masuk angin dan
influensa." Seumur hidupnya, begitu cerita Salamun, hanya sekali
ia sakit. Pada 1978 ia terserang gejala tipus dan dokter
melarangnya makan cabai. Nasihat itu cuma dipatuhi Salamun
selama 2 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini