Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah politik atau kisah cinta

Sutradara: peter weir produksi: mgm pemain: mel gibson, linda hunt, sigourney weaver resensi oleh: zulaekha chudori. (fl)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY Sutradara: Peter Weir Produksi: MGM Pemain: Mel Gibson, Linda Hunt, Sigourney Weaver SEPTEMBER 1965, permulaan hari-hari terakhir rezim Soekarno, berdiri sebagai latar belakang. Film yang diarahkan oleh sutradara Australia ini diangkat dari novel berjudul sama, karangan C.J. Koch, dan dibiayai MGM dalam jumlah US$ 6 juta. Ini kisah pengalaman seorang wartawan Australian Broadcasting Service, Guy Hamilton -- (dimainkan Mel Gibson), yang baru untuk pertama kali ditugaskan ke luar negeri. Ketika ia tiba di Indonesia, pendahulunya ternyata telah meninggalkan Jakarta, sehingga ia mulai bekerja tanpa mendapat penerangan latar belakang keadaan di sini di tahun-tahun itu. Hamilton segera berkenalan dengan para wartawan asing lain, dan mereka suka menghabiskan waktu di Wayang Bar Hotel Indonesia. Di situ ia juga berkenalan dengan seorang wartawan film keturunan Australia-Cina, bernama Billy Kwan (Linda Hunt). Billy Kwan segera menjadi akrab dengan Hamilton. Bahkan si kerdil misterius ini membantu Hamilton mendapat berita-berita hangat yang paling hebat misalnya wawancaranya dengan ketua Partai Komunis setempat. Melalui Kwan pula Hamilton berkenalan, dan akhirnya jatuh cinta, dengan si ayu Jill Bryant (Sigourney Weaver), seorang diplomat Kerajaan Inggris. Padahal Kwan sendiri cinta pada Jill. Dari ketiga tokoh ini, hanya Kwan yang dapat mengidentifikasikan dirinya dengan keadaan kritis di Indonesia. Ia punya keluarga angkat di sini -- yang dibantunya dengan beras dan uang. Ketika baru berkenalan dengan Hamilton, Kwan mengajarkannya mengerti wayang, "kalau mau mengerti politik Indonesia." Bersamaan dengan makin tingginya suhu politik di Jakarta, hubungan Guy Hamilton dan Jill juga semakin mesra, sementara hubungan Guy dan Kwan agak memburuk. Malah dari segi lain Kwan, yang sudah kecewa terhadap Hamilton, akhirnya sama sekali disillusioned terhadap Bung Karno yang sebelumnya amat ia kagumi. Di mana-mana ia cuma melihat kelaparan dan penderitaan. Akhirnya ia mati di tangan para petugas keamanan, ketika mereka tahu bahwa Kwanlah yang bertanggung jawab memasang spanduk bertuliskan Sukarno -- feed your people di jendela kamar Hotel Indonesia. Bung Karno sendiri, yang tiba beberapa saat kemudian untuk menghadiri resepsi suatu kedutaan tidak sempat melihat pesan untuknya itu. Dalam kekacauan yang amat sangat setelah kudeta digagalkan, Hamilton akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Dan siapa yang menunggunya di pintu pesawat . . . kalau bukan sang kekasih Jill Bryant. Film ini dibuat di Filipina. Konon alasan Weir untuk tidak membuatnya di Indonesia ditimbulkan oleh beberapa kesulitan yang dialaminya dengan instansi pemerintah di sini ketika ia membuat film lain -- sebuah film iklan. Walaupun demikian nyata sekali ia berusaha keras menciptakan kembali keadaan fisik dan suasana Jakarta pada masa sulit itu. Memang Hotel Indonesianya bukan HI yang kita kenal. Tapi para figurannya secara fisik tak berbeda dengan orang Indonesia. Tukang becaknya, tukang singkongnya, tukang satenya, ibu-ibu sampai para pengemisnya pun kelihatan "autentik". Detil juga diperhatikan. Para figuran berkain batik, kebaya dan selendang. Adegan kampung-kampung di belakang HI dilatarbelakangi suara-suara pedagang dan penghuni gubuk-gubuk reot, berbicara bahasa Indonesia atau dialek daerah. Kegagalannya dalam menciptakan suasana September 1965 adalah dalam segi politis. Penonton yang tidak mengenal Indonesia atau yang tidak tahu pasal kisah berdarah itu, sukar mengikuti kemelut saat itu. Memang banyak adegan yang menunjukkan kemiskinan, penderitaan, kelaparan. Ada satu adegan yang saya anggap kasar sekali -- menggambarkan seorang gadis miskin umur kira-kira delapan tahun duduk di bawah truk beras yang baru saja diserbu rakyat yang kelaparan. Gadis itu disorot dari dekat sedang melahap beras . . . Toh, lapisan-lapisan yang lebih keras dan mendekati inti persoalan justru tidak ditengok Weir: masalah sistem pemerintahan yang nepotis, sistem perekonomian dan keuangan yang kacau, dan karisma Bung Karno yang amat memukau. SUKARNO dimainkan seorang aktor Filipina, tampil dua kali di layar. Masing-masing kurang dari sepuluh detik -- dan tidak bicara. Ini kelemahan yang mungkin disadari Weir sebab pidato-pidato BK yang selalu berapi-api, dan dihadiri ratusan ribu rakyatnya, sesungguhnya dapat menciptakan kembali suasana 1965 itu. Kelemahan lain: sikap santai, bahkan tak acuh, tentara baret merah -- ketika mereka dilukiskan melakukan hukuman tembak mati terhadap puluhan orang yang disangka terlibat dalam usaha kudeta malam sebelumnya. Tidak ada tanda kemarahan atau kebencian seperti layaknya kita harap dari orang-orang yang merasa dikhianati. Film ini berusaha terlalu banyak -- tanpa keberhasilan tuntas dalam hal-hal yang disajikan. Sebagai kisah cinta, percintaan Hamilton dan Bryant tidak lebih dari sajian novel-novel macam karya Ashadi Siregar. Sebagai film tentang dunia kewartawanan orang Barat, tidak ada hal baru dikemukakan. Jika bermaksud menceritakan Billy Kwan, perannya tenggelam dalam persoalan sampingan dan adegan-adegan ilustratif. Para pemain utama agaknya cuma para wisatawan di Indonesia yang berkunjung ke Jakarta untuk sementara saja. Ikatan mereka dengan Indonesia tidak lebih dari segi profesi. Walau demikian, permainan para tokoh utama umumnya baik. Lebih-lebih Linda Hunt, yang memainkan Billy Kwan dengan amat halus. Secara umum, film yang belum masuk ke Indonesia ini (majalah Newsweek bilang film yang baru selesai ini "kecil kemungkinannya bisa diputar di Jakarta," red.) sebetulnya bisa jauh lebih gemilang. Zulaekha Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus