THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY
Sutradara: Peter Weir
Produksi: MGM
Pemain: Mel Gibson, Linda Hunt, Sigourney Weaver
SEPTEMBER 1965, permulaan hari-hari terakhir rezim Soekarno,
berdiri sebagai latar belakang. Film yang diarahkan oleh
sutradara Australia ini diangkat dari novel berjudul sama,
karangan C.J. Koch, dan dibiayai MGM dalam jumlah US$ 6 juta.
Ini kisah pengalaman seorang wartawan Australian Broadcasting
Service, Guy Hamilton -- (dimainkan Mel Gibson), yang baru untuk
pertama kali ditugaskan ke luar negeri. Ketika ia tiba di
Indonesia, pendahulunya ternyata telah meninggalkan Jakarta,
sehingga ia mulai bekerja tanpa mendapat penerangan latar
belakang keadaan di sini di tahun-tahun itu. Hamilton segera
berkenalan dengan para wartawan asing lain, dan mereka suka
menghabiskan waktu di Wayang Bar Hotel Indonesia. Di situ ia
juga berkenalan dengan seorang wartawan film keturunan
Australia-Cina, bernama Billy Kwan (Linda Hunt).
Billy Kwan segera menjadi akrab dengan Hamilton. Bahkan si
kerdil misterius ini membantu Hamilton mendapat berita-berita
hangat yang paling hebat misalnya wawancaranya dengan ketua
Partai Komunis setempat.
Melalui Kwan pula Hamilton berkenalan, dan akhirnya jatuh cinta,
dengan si ayu Jill Bryant (Sigourney Weaver), seorang diplomat
Kerajaan Inggris. Padahal Kwan sendiri cinta pada Jill.
Dari ketiga tokoh ini, hanya Kwan yang dapat mengidentifikasikan
dirinya dengan keadaan kritis di Indonesia. Ia punya keluarga
angkat di sini -- yang dibantunya dengan beras dan uang. Ketika
baru berkenalan dengan Hamilton, Kwan mengajarkannya mengerti
wayang, "kalau mau mengerti politik Indonesia."
Bersamaan dengan makin tingginya suhu politik di Jakarta,
hubungan Guy Hamilton dan Jill juga semakin mesra, sementara
hubungan Guy dan Kwan agak memburuk. Malah dari segi lain Kwan,
yang sudah kecewa terhadap Hamilton, akhirnya sama sekali
disillusioned terhadap Bung Karno yang sebelumnya amat ia
kagumi. Di mana-mana ia cuma melihat kelaparan dan penderitaan.
Akhirnya ia mati di tangan para petugas keamanan, ketika mereka
tahu bahwa Kwanlah yang bertanggung jawab memasang spanduk
bertuliskan Sukarno -- feed your people di jendela kamar Hotel
Indonesia. Bung Karno sendiri, yang tiba beberapa saat kemudian
untuk menghadiri resepsi suatu kedutaan tidak sempat melihat
pesan untuknya itu.
Dalam kekacauan yang amat sangat setelah kudeta digagalkan,
Hamilton akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Dan
siapa yang menunggunya di pintu pesawat . . . kalau bukan sang
kekasih Jill Bryant.
Film ini dibuat di Filipina. Konon alasan Weir untuk tidak
membuatnya di Indonesia ditimbulkan oleh beberapa kesulitan yang
dialaminya dengan instansi pemerintah di sini ketika ia membuat
film lain -- sebuah film iklan. Walaupun demikian nyata sekali
ia berusaha keras menciptakan kembali keadaan fisik dan suasana
Jakarta pada masa sulit itu. Memang Hotel Indonesianya bukan HI
yang kita kenal. Tapi para figurannya secara fisik tak berbeda
dengan orang Indonesia. Tukang becaknya, tukang singkongnya,
tukang satenya, ibu-ibu sampai para pengemisnya pun kelihatan
"autentik". Detil juga diperhatikan. Para figuran berkain batik,
kebaya dan selendang. Adegan kampung-kampung di belakang HI
dilatarbelakangi suara-suara pedagang dan penghuni gubuk-gubuk
reot, berbicara bahasa Indonesia atau dialek daerah.
Kegagalannya dalam menciptakan suasana September 1965 adalah
dalam segi politis. Penonton yang tidak mengenal Indonesia atau
yang tidak tahu pasal kisah berdarah itu, sukar mengikuti
kemelut saat itu. Memang banyak adegan yang menunjukkan
kemiskinan, penderitaan, kelaparan. Ada satu adegan yang saya
anggap kasar sekali -- menggambarkan seorang gadis miskin umur
kira-kira delapan tahun duduk di bawah truk beras yang baru saja
diserbu rakyat yang kelaparan. Gadis itu disorot dari dekat
sedang melahap beras . . . Toh, lapisan-lapisan yang lebih keras
dan mendekati inti persoalan justru tidak ditengok Weir: masalah
sistem pemerintahan yang nepotis, sistem perekonomian dan
keuangan yang kacau, dan karisma Bung Karno yang amat memukau.
SUKARNO dimainkan seorang aktor Filipina, tampil dua kali di
layar. Masing-masing kurang dari sepuluh detik -- dan tidak
bicara. Ini kelemahan yang mungkin disadari Weir sebab
pidato-pidato BK yang selalu berapi-api, dan dihadiri ratusan
ribu rakyatnya, sesungguhnya dapat menciptakan kembali suasana
1965 itu.
Kelemahan lain: sikap santai, bahkan tak acuh, tentara baret
merah -- ketika mereka dilukiskan melakukan hukuman tembak mati
terhadap puluhan orang yang disangka terlibat dalam usaha kudeta
malam sebelumnya. Tidak ada tanda kemarahan atau kebencian
seperti layaknya kita harap dari orang-orang yang merasa
dikhianati.
Film ini berusaha terlalu banyak -- tanpa keberhasilan tuntas
dalam hal-hal yang disajikan. Sebagai kisah cinta, percintaan
Hamilton dan Bryant tidak lebih dari sajian novel-novel macam
karya Ashadi Siregar. Sebagai film tentang dunia kewartawanan
orang Barat, tidak ada hal baru dikemukakan. Jika bermaksud
menceritakan Billy Kwan, perannya tenggelam dalam persoalan
sampingan dan adegan-adegan ilustratif. Para pemain utama
agaknya cuma para wisatawan di Indonesia yang berkunjung ke
Jakarta untuk sementara saja. Ikatan mereka dengan Indonesia
tidak lebih dari segi profesi. Walau demikian, permainan para
tokoh utama umumnya baik. Lebih-lebih Linda Hunt, yang memainkan
Billy Kwan dengan amat halus. Secara umum, film yang belum masuk
ke Indonesia ini (majalah Newsweek bilang film yang baru selesai
ini "kecil kemungkinannya bisa diputar di Jakarta," red.)
sebetulnya bisa jauh lebih gemilang.
Zulaekha Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini