TEBING Tinggi beruntung. Kepadatan penduduk yang menjadi alasan
diperluasnya kota ini seperti diresmikan Menteri Dalam Negeri
pertengahan Juli lalu, juga dialami banyak kota lain. Malah,
Tanjung Balai, satu di antara 5 kotamadya lain di Sumatera Utara
di samping Tebing Tinggi, disebut-sebut mempunyai rekor
kepadatan penduduk se Asia Tenggara.
Paling tidak lebih padat dari Kota Bandung yang mempunyai
penduduk sekitar 17.500 setiap kmÿFD dan selama ini dikenal sebagai
kota terpadat se Indonesia. Di atas semua itu, Tanjung Balai,
begitu juga beberapa kota lain, sudah sejak beberapa waktu
mengharap adanya perluasan wilayah administratif pula.
Dengan areal lebih sempit, jumlah penduduk Tanjung Balai lebih
banyak ketimbang Tebing Tinggi yang menjelang dimekarkan
mempunyai areal 345,56 hektar dan penduduk 33.585 jiwa. Adapun
Tanjung Balai luasnya hanya 190,9 hektar dengan penduduk lebih 41
ribu jiwa pada bular~-bulan terakhir ini. Kehendak untuk memekarkan
kota ini bukan saja sudah dicetuskan pemerintah setempat sejak
beberapa tahun lalu, bahkan sudah sampai pada tarap persetujuan
bersama dengan pemerintah Kabupaten Asahan. Yakni tetangga yang
sebagian wilayahnya bakal dicaplok.
Butuhnya Apa?
Sebegitu jauh, sekalipun persetujuan bersama Pemda Kotamadya
Tanjung Balai dengan Pemda Kabupaten Asahan sudah dicapai sejak
Juni 1977, pemekaran kota ini kalah cepat dibanding Tebing
Tinggi. Menurut juru bicara kotamadya Usman S, rencananya
dianggap kurang memadai oleh Gubernur Sumatera Utara EWP
Tambunan. Setidaknya untuk mencapai perkembangan sampai tahun
2000, katanya. Sebab rencana itu hanya untuk pemekaran dari
190,9 menjadi 237,6 hektar. Artinya kurang besar. "Gubernur
Tambunan mengatakan perluasan suatu kotamadya jangan sampai
berkali-kali," kata Usman S.
Kotamadya Bandung lain lagi ceritanya. Rencana perluasan kota
ini, apa pun ceritanya, sudah mendapat lampu hijau dari
pemerintah pusat. Antara lain dengan sudah dibentuknya satu
panitia peneliti yang terdiri dari sejumlah pejabat daerah dan
pusat. Namun sementara panitia ini kini masih bekerja, Bupati
Bandung Lily Sumantri mengajukan beberapa hal yang katanya perlu
dipertimbangkan pemerintah pusat sebelum mengambil keputusan
akhir. Antara lain adanya rencana pergembangan Bandung Raya.
Yakni satu rencana pengembangan Kota Bandung dan daerah-daerah
sekitarnya tanpa mempermasalahkan perlu tidaknya perluasan
administratif sesuatu daerah tingkat dua. Seakan-akan tak begitu
polos mendengar adanya rencana perluasan Kota Bandung, Bupati
Lily mengungkapkan reaksinya itu antara lain pada sidang pleno
DPRD Kabupaten Bandung Selasa pekan lalu.
Tak beda dengan Bandung adalah cerita Yogyakarta. Penduduk
ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta ini kini tercatat sekitar
11.500 jiwa per kmÿFD. "Pemekaran kota sudah merupakan satu
kebutuhan," kata Walikota Ahmad.
Yusantho SH, Kepala Sub Direktorat Pembangunan Kotamadya
Yogyakarta mengatakan rencana pemekaran itu sudah dirintis
lewat satu penelitian ~ang dilakukan bersama oleh Universitas
Gajah Mada dan Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU
awal 1971. Hasilnya, 9 kelurahan di wilayah Kabupaten Sleman
dan 7 kelurahan di Kabupaten Bantul diharapkan masuk kota ini.
Bagi Bappeda DIY, rencana itu pun kini sudah menjadi salah
agendanya untuk digarap. Menurut drs Samirin, Kepala Bidang
Pengendalian Bappeda DIY, kalau rencana pemekaran kota ini ~
bisa disetujui pusat, bakal terlaksana 2 tahun lagi.
Tapi, "apa artinya pemekaran kota kalau hal itu dilakukan ke
daerah yang sudah jadi, padat, dan tanahnya mahal?" tanya drs
Suyoto Projosuyoto.
Menurut Bupati Sleman ini, pemckaran kota yang baik haruslah
ditujukan ke daerah yang masih kosong. Artinya jangan ke
daerah-daerah seperti yang selama ini sudah disebut-sebut dalam
rencana perluasan Kotamadya Yogyakarta. Sebab di daerah itu
sudah terdapat antara lain komplek UGM, IKIP, IAIN, sejumlah
perguruan tinggi swasta dan bermacam ragam kepadatan lain
termasuk sejumlah hotel seperti Ambarukmo dan lain-lain.
Suyoto tak mengaku keberatan denan rencana pemekaran kotamadya
Yogyakarta ini. Ia katanya hanya "ingin memberi tangkisan."
Namun, kalau misalnya pemekaran Kota Yogyakarta itu disesuaikan
dengan kedudukan Yogyakarta sebagai ibukota propinsi, pemerintah
propinsi sebenarnya bisa saja membangun di daerah lain.
"Sekarang kota itu butuhnya apa, silakan membangun di daerah
kami, tak perhJ hanIs memindahkan batas administratif, "
tambahnya.
Soedarisman Poerwokoesoemo. Walikotamadya Yogyakarta yang
pertama (1947-1966), tak mau mempersoalkan perlu tidaknya
pemekaran kota dan pernah dikelolanya selama 20 tahun itu.
Namun ia menganggap memang repot kalau misalnya terjadi kasus
kriminalitas di kampus seperti Universitas Gajah Mada. UGM
tidak bisa melaporkan kejadian kepada polisi di Pos Gondolayu
sebagai pos terdekat. Melainkan ke Pos Kalasan. Sebab pos
pertama termasuk wilayah Kotamadya Yogyakarta, pos kedua di
daerah lain.
Sungguhpun begitu mendengar disebut-sebutnya rencana pemekaran
kota seperti tersiar sekarang, yang antara lain mendekati
komplek lapangan udara Adisutjipto, Soedarisman kaget. Menurut
dia, waktu zaman Belanda dulu lapangan terbang di Yogyakarta
dipindah dari Skip di bagian kota yang lain ke Maguwo sekarang
supaya penduduk tercegah dari kemungkinan kejatuhan bom apabila
timbul perang. Jadi, dengan adanya pemekaran kota mendekati
lapangan terbang, "kalau ada perang pasti repot," katanya.
Berbeda dengan Suyoto maupun Soedarisman, Bupati Bantul Sutomo
Mangkusasmito SH tak banyak komentar. Baginya, karena soal
pemindahan batas administratif sesuatu daerah itu wewenang
pusat, maka dalam hubungan dengan pemekaran Kotamadya Yogyakarta
pun ia menyerahkan segala sesuatunya kepada pusat. "Silakan,
berapa maunya," kata Sutomo.
Apa yang diucapkan Sutomo itu benar. Sebab bunyi pasal-pasal
dalam UU No 5/1974 tent~ang Pokok-p~okok Pemerintahan di Daerah
memang demikian adanya. Namun tak kurang menarik adalah cerita
dari Pontianak. Rencana penambahan areal 303 kmÿFD bagi kotamadya
ini menjadi luas keseluruhan 410 kmÿFD semula diharapkan
terlaksana Januari 1975. Sebelum pusat menyetujui rencananya
ternyata lebih dulu menawarkan apakah mana yang harus disetujui
lebih dulu: rencana induk atau perluasan kota. Menurut Wakil
Ketua DPRD Kotamadya Pontianak Dhar~ma Putra BA, ketika tawaran
itu diterima, pemerintah kotamadya memilih yang pertama. Itu
sebabnya perluasan Kotamadya Pontianak belum terlaksana sampai
sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini