Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sempit, semua menuntut perluasan

Sejumlah kota menuntut adanya perluasan kota karena kepadatan penduduk a.l: tanjung balai, bandung, yogyakarta dan pontianak. ada yang sudah mendapat izin pengembangan kota, ada yang belum. (kt)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEBING Tinggi beruntung. Kepadatan penduduk yang menjadi alasan diperluasnya kota ini seperti diresmikan Menteri Dalam Negeri pertengahan Juli lalu, juga dialami banyak kota lain. Malah, Tanjung Balai, satu di antara 5 kotamadya lain di Sumatera Utara di samping Tebing Tinggi, disebut-sebut mempunyai rekor kepadatan penduduk se Asia Tenggara. Paling tidak lebih padat dari Kota Bandung yang mempunyai penduduk sekitar 17.500 setiap kmÿFD dan selama ini dikenal sebagai kota terpadat se Indonesia. Di atas semua itu, Tanjung Balai, begitu juga beberapa kota lain, sudah sejak beberapa waktu mengharap adanya perluasan wilayah administratif pula. Dengan areal lebih sempit, jumlah penduduk Tanjung Balai lebih banyak ketimbang Tebing Tinggi yang menjelang dimekarkan mempunyai areal 345,56 hektar dan penduduk 33.585 jiwa. Adapun Tanjung Balai luasnya hanya 190,9 hektar dengan penduduk lebih 41 ribu jiwa pada bular~-bulan terakhir ini. Kehendak untuk memekarkan kota ini bukan saja sudah dicetuskan pemerintah setempat sejak beberapa tahun lalu, bahkan sudah sampai pada tarap persetujuan bersama dengan pemerintah Kabupaten Asahan. Yakni tetangga yang sebagian wilayahnya bakal dicaplok. Butuhnya Apa? Sebegitu jauh, sekalipun persetujuan bersama Pemda Kotamadya Tanjung Balai dengan Pemda Kabupaten Asahan sudah dicapai sejak Juni 1977, pemekaran kota ini kalah cepat dibanding Tebing Tinggi. Menurut juru bicara kotamadya Usman S, rencananya dianggap kurang memadai oleh Gubernur Sumatera Utara EWP Tambunan. Setidaknya untuk mencapai perkembangan sampai tahun 2000, katanya. Sebab rencana itu hanya untuk pemekaran dari 190,9 menjadi 237,6 hektar. Artinya kurang besar. "Gubernur Tambunan mengatakan perluasan suatu kotamadya jangan sampai berkali-kali," kata Usman S. Kotamadya Bandung lain lagi ceritanya. Rencana perluasan kota ini, apa pun ceritanya, sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat. Antara lain dengan sudah dibentuknya satu panitia peneliti yang terdiri dari sejumlah pejabat daerah dan pusat. Namun sementara panitia ini kini masih bekerja, Bupati Bandung Lily Sumantri mengajukan beberapa hal yang katanya perlu dipertimbangkan pemerintah pusat sebelum mengambil keputusan akhir. Antara lain adanya rencana pergembangan Bandung Raya. Yakni satu rencana pengembangan Kota Bandung dan daerah-daerah sekitarnya tanpa mempermasalahkan perlu tidaknya perluasan administratif sesuatu daerah tingkat dua. Seakan-akan tak begitu polos mendengar adanya rencana perluasan Kota Bandung, Bupati Lily mengungkapkan reaksinya itu antara lain pada sidang pleno DPRD Kabupaten Bandung Selasa pekan lalu. Tak beda dengan Bandung adalah cerita Yogyakarta. Penduduk ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta ini kini tercatat sekitar 11.500 jiwa per kmÿFD. "Pemekaran kota sudah merupakan satu kebutuhan," kata Walikota Ahmad. Yusantho SH, Kepala Sub Direktorat Pembangunan Kotamadya Yogyakarta mengatakan rencana pemekaran itu sudah dirintis lewat satu penelitian ~ang dilakukan bersama oleh Universitas Gajah Mada dan Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU awal 1971. Hasilnya, 9 kelurahan di wilayah Kabupaten Sleman dan 7 kelurahan di Kabupaten Bantul diharapkan masuk kota ini. Bagi Bappeda DIY, rencana itu pun kini sudah menjadi salah agendanya untuk digarap. Menurut drs Samirin, Kepala Bidang Pengendalian Bappeda DIY, kalau rencana pemekaran kota ini ~ bisa disetujui pusat, bakal terlaksana 2 tahun lagi. Tapi, "apa artinya pemekaran kota kalau hal itu dilakukan ke daerah yang sudah jadi, padat, dan tanahnya mahal?" tanya drs Suyoto Projosuyoto. Menurut Bupati Sleman ini, pemckaran kota yang baik haruslah ditujukan ke daerah yang masih kosong. Artinya jangan ke daerah-daerah seperti yang selama ini sudah disebut-sebut dalam rencana perluasan Kotamadya Yogyakarta. Sebab di daerah itu sudah terdapat antara lain komplek UGM, IKIP, IAIN, sejumlah perguruan tinggi swasta dan bermacam ragam kepadatan lain termasuk sejumlah hotel seperti Ambarukmo dan lain-lain. Suyoto tak mengaku keberatan denan rencana pemekaran kotamadya Yogyakarta ini. Ia katanya hanya "ingin memberi tangkisan." Namun, kalau misalnya pemekaran Kota Yogyakarta itu disesuaikan dengan kedudukan Yogyakarta sebagai ibukota propinsi, pemerintah propinsi sebenarnya bisa saja membangun di daerah lain. "Sekarang kota itu butuhnya apa, silakan membangun di daerah kami, tak perhJ hanIs memindahkan batas administratif, " tambahnya. Soedarisman Poerwokoesoemo. Walikotamadya Yogyakarta yang pertama (1947-1966), tak mau mempersoalkan perlu tidaknya pemekaran kota dan pernah dikelolanya selama 20 tahun itu. Namun ia menganggap memang repot kalau misalnya terjadi kasus kriminalitas di kampus seperti Universitas Gajah Mada. UGM tidak bisa melaporkan kejadian kepada polisi di Pos Gondolayu sebagai pos terdekat. Melainkan ke Pos Kalasan. Sebab pos pertama termasuk wilayah Kotamadya Yogyakarta, pos kedua di daerah lain. Sungguhpun begitu mendengar disebut-sebutnya rencana pemekaran kota seperti tersiar sekarang, yang antara lain mendekati komplek lapangan udara Adisutjipto, Soedarisman kaget. Menurut dia, waktu zaman Belanda dulu lapangan terbang di Yogyakarta dipindah dari Skip di bagian kota yang lain ke Maguwo sekarang supaya penduduk tercegah dari kemungkinan kejatuhan bom apabila timbul perang. Jadi, dengan adanya pemekaran kota mendekati lapangan terbang, "kalau ada perang pasti repot," katanya. Berbeda dengan Suyoto maupun Soedarisman, Bupati Bantul Sutomo Mangkusasmito SH tak banyak komentar. Baginya, karena soal pemindahan batas administratif sesuatu daerah itu wewenang pusat, maka dalam hubungan dengan pemekaran Kotamadya Yogyakarta pun ia menyerahkan segala sesuatunya kepada pusat. "Silakan, berapa maunya," kata Sutomo. Apa yang diucapkan Sutomo itu benar. Sebab bunyi pasal-pasal dalam UU No 5/1974 tent~ang Pokok-p~okok Pemerintahan di Daerah memang demikian adanya. Namun tak kurang menarik adalah cerita dari Pontianak. Rencana penambahan areal 303 kmÿFD bagi kotamadya ini menjadi luas keseluruhan 410 kmÿFD semula diharapkan terlaksana Januari 1975. Sebelum pusat menyetujui rencananya ternyata lebih dulu menawarkan apakah mana yang harus disetujui lebih dulu: rencana induk atau perluasan kota. Menurut Wakil Ketua DPRD Kotamadya Pontianak Dhar~ma Putra BA, ketika tawaran itu diterima, pemerintah kotamadya memilih yang pertama. Itu sebabnya perluasan Kotamadya Pontianak belum terlaksana sampai sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus