Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kurusetra dengan Face Shield

Setelah hampir setahun mengalami paceklik pentas, Institut Seni Indonesia Denpasar menggelar sendratari Lembayung Kuruksetra. Penari dan penabuh menggunakan face shield. Pentas ditayangkan secara daring oleh Konsulat Jenderal Indonesia di Mumbai, India, untuk penonton India.

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas sendratari ISI Denpasar dan Konsulat Jenderal Indonesia di Mumbai berjudul Lembayung Kurusetra di Ardha Chandra, Art Center, Denpasar, Bali, 21 November lalu. TEMPO/Made Argawa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPAT duduk di area panggung terbuka Ardha Chandra, Art Center, Denpasar, hanya terisi di beberapa titik. Padahal biasanya kursi penonton terisi penuh saban ada hajatan di sana. Tapi tidak kali ini, saat sendratari Lembayung Kuruksetra dipentaskan Sabtu petang, 21 November lalu. Sedikit penonton itu adalah mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang akan menyaksikan rekan mereka tampil, dan tamu undangan dari Pemerintah Provinsi Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan lantaran peminatnya kurang, tapi karena panitia membatasi jumlah penonton demi protokol kesehatan normal baru Covid-19. Tamu undangan hanya 50 orang. Petang itu mereka duduk berjauhan di area seluas 7.200 meter persegi berkapasitas 7.000 orang. Pentas juga ditayangkan secara daring (online) oleh Konsulat Jenderal Indonesia di Mumbai, India, yang menghelat acara itu bersama ISI Denpasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pergelaran Lembayung Kuruksetra menjadi penting tak hanya bagi ISI Denpasar, tapi juga buat pariwisata Bali. Sebab, setelah pandemi dan pembatasan sosial, Pulau Dewata hingga kini masih sepi. Kegiatan turisme memang mulai berdenyut, tapi belum pulih seperti sediakala. “Lewat acara ini, kami ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa melakukan pentas seni di tengah pandemi, selain untuk promosi wisata,” kata direktur artistik sendratari Lembayung Kuruksetra, I Kadek Suartaya, saat ditemui di kampus ISI Denpasar, 16 November lalu.

Pentas sendratari ISI Denpasar dan Konsulat Jenderal Indonesia di Mumbai berjudul Lembayung Kurusetra di Ardha Chandra, Art Center, Denpasar, Bali, 21 November lalu. ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo

Selain ditampilkan ISI Denpasar, pentas serupa digelar ISI Yogyakarta pada pertengahan tahun lalu, tapi dengan lakon Ramayana. “Idenya sama-sama dari Konsulat Jenderal di Mumbai. Kami menyanggupi, dengan syarat menerapkan protokol kesehatan selama latihan dan pentas,” ujar Kadek Suartaya. Walau demikian, Kadek mengakui proses latihan yang berlangsung sebulan tidak menerapkan rapid test ataupun swab test untuk peserta.

Kadek menuturkan, tak ada perbedaan mendasar antara pentas saat sebelum dan selama pandemi. Yang berubah hanya soal kelengkapan alat pelindung diri. Kini penari menggunakan pelindung wajah transparan, walau secara estetika sebenarnya kurang elok. Adapun selama pentas, para penari tidak mengeluarkan suara, digantikan oleh dalang. Komposisi tari yang tersaji sepanjang acara juga memperhatikan protokol jaga jarak.

Agar tak berimpitan, jumlah penabuh alat musik tradisi juga dikurangi. Biasanya dalam satu pentas sendratari ada 45 penabuh, kini hanya 25 orang. Sama seperti penari, para penabuh memakai face shield sepanjang pertunjukan.

Kadek Suartaya mengatakan, saat ditampilkan secara daring, pihaknya juga menambahkan teks berjalan berbahasa Inggris di layar. Maka membuat penonton di India bisa menangkap cerita dari sendratari ini. “Ada kritik saat acara ISI Yogyakarta, katanya penonton di India tidak mengerti jalan ceritanya,” ujarnya.

Sendratari Lembayung Kuruksetra mengambil kisah dari Baratayudha dalam epos Mahabharata. Khususnya dari episode “Bhismaparwa”, bagian keenam “Astadasaparwa” yang menceritakan gugurnya Bhisma dalam perang Baratayudha. Lembayung berarti jingga kemerahan, sedangkan Kuruksetra adalah medan laga pertempuran.

Adapun secara filosofis, kata Kadek, lembayung berarti perubahan warna matahari dari kuning ke jingga saat senja, menyimbolkan perjalanan akhir kehidupan manusia. Bhisma sendiri di babad Mahabharata adalah tokoh sepuh yang menunjukkan keteladanan dan dikisahkan siap mempertaruhkan nyawa di medan peperangan. Alkisah, Bhisma akhirnya tewas dalam pertempurannya, ketika langit bak lembayung yang membentang di Kurusetra.

Secara filosofis, lembayung yang merupakan perubahan warna matahari dari kuning ke merah jingga pada senja hari melambangkan perjalanan akhir kehidupan manusia. Bhisma adalah tokoh sepuh yang telah menunjukkan keteladanannya, tapi telah siap pula mengakhiri perjalanan hidupnya di medan perang. Bhisma mengembuskan napas terakhir ketika lembayung membentang di Kurusetra.

Pentas sendratari ISI Denpasar dan Konsulat Jenderal Indonesia di Mumbai berjudul Lembayung Kurusetra di Ardha Chandra, Art Center, Denpasar, Bali, 21 November lalu. TEMPO/Made Argawa

Pentas sendratari diawali dengan panas peperangan; pasukan Kurawa melawan Pandawa. Namun nyali Arjuna sebagai salah satu andalan Pandawa justru ciut tak seperti biasanya. Dia segan karena mesti berhadapan dengan kakek yang ia hormati, Bhisma. Dilema Arjuna tersampaikan lewat syair suci Bhagawadgita, yang disenandungkan kusir Adipati Kresna. “Prinsip kebenaran dan kewajiban seorang kesatria yang dituturkan Kresna mengobarkan semangat Arjuna untuk bertempur sampai mati melawan kakeknya, Bhisma,” kata Kadek Suartaya.

Gempuran panah sakti Arjuna dan Srikandi akhirnya menumbangkan Bhisma. Tubuhnya penuh luka dihunjam panah. Proses kekalahan Bhisma ini ditampilkan secara kontemporer dengan model teater bayangan sehingga memperkuat dramatisasi.

Pentas Lembayung Kuruksetra, yang berlangsung selama sekitar satu jam, dibagi menjadi empat bagian. Prolog mengisahkan sosok Bhisma, putra Dewi Gangga dan Raja Sentanu. Berikutnya, babak pertama yang sekitar 15 menit, menampilkan perang Kurawa melawan Pandawa. Babak berikutnya masih berputar di area perang dan menyorot bagaimana Bima, adik Yudhistira, membinasakan prajurit lawan.

Sedangkan bagian terakhir memuat adegan tumbangnya Bhisma pada hari kesepuluh perang Baratayudha. Sebelumnya, para penari membangun kesenduan dengan kilas balik ke masa muda Bhisma. Saat itu, Bhisma menolak memperistri Dewi Amba, sebelum perempuan tersebut menjalani reinkarnasi sebagai Srikandi. Dewi Amba semasa hidupnya bersumpah akan melihat kematian Bhisma. Berkat bantuan Srikandi itu, akhirnya Arjuna berhasil mengalahkan Bhisma melalui pertempuran panah.

MADE ARGAWA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus