Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bhumisodana dan Tribute untuk Suprapto Suryodarmo

Empat koreografer dan seorang perupa mengenang almarhum Suprapto Suryodarmo dalam perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival dengan karya-karya yang mengeksplorasi alam. Beberapa menjadi dance film yang menarik.

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
injeng Tangis dalam Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2020. Youtube BWFC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekikan. Sahut-menyahut. Seseorang mengunyah semangka. Sepasang kaki menggesek daun dan kerikil yang bertaburan di lantai hutan jati Mojokerto, Kecamatan Panggang, Gunungkidul. Terdengar musik sumbang yang riuh. Para penari sontak bergerak menyelinap di antara barisan pohon yang ranggas. Maju, mundur, berputar, dan merengkuh pepohonan. Tatkala musik lesap, giliran tubuh-tubuh yang membuat bunyi. Kaki berderap, tangan mengibas, dan kuku menggarit batang kayu. Suara kur panjang dari getaran lidah bertemu gigi juga diderumkan tak henti.

Meski lima penari itu tampil bersama di tengah hutan jati itu, tak ada pola gerak yang terbaca. Tiap orang bergerak mandiri, dengan ekspresi bebas berinteraksi dengan tanah, pohon, angin, bunyi, dan apa pun di sekitar mereka. Tarian itu berjudul Kinjeng Tangis atau tonggeret. Lalu para penari yang berbalut kostum hitam dengan ornamen serupa sayap halus di bagian lengan memang terlihat seperti kawanan uir-uir yang berkeliaran bebas di hutan. “Saya bekerja untuk Kinjeng Tangis menggunakan tubuh alam, tubuh hutan, dan tubuh teman-teman,” kata koreografer Fitri Setyaningsih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Solah Bowo dalam Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2020. Youtube BWFC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kinjeng Tangis adalah salah satu pertunjukan yang ditayangkan pada hari keempat rangkaian Tribute to Suprapto Suryodarmo Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2020. Tarian ini direkam sebelumnya di hutan jati itu oleh sineas Indra Tirtana dan diunggah di saluran YouTube BWCF. Tahun ini, BWCF berlangsung virtual sepanjang 19-23 November, mengusung tema “Bhumisodana” atau tanah yang disucikan. Merespons pandemi Covid-19, festival kesembilan ini berfokus membicarakan bagaimana ekologi dan bencana direfleksikan oleh alam pikir kebudayaan Nusantara.

Tonggeret dalam tarian Fitri dapat dimaknai sebagai simbol dari harmoni ekosistem. Saat tangis tonggeret terdengar, pertanda musim hujan sudah sampai di ujung dan musim kemarau segera menggantikan. Namun lapisan lain dalam tarian itu adalah kemerdekaan bergerak dan menanggapi alam sekitar. Dua hal itu adalah bagian dari filosofi gerak yang diyakini dan diajarkan oleh seniman tari Suprapto Suryodarmo sepanjang hidupnya. BWCF kali ini menghadirkan rangkaian pertunjukan khusus sebagai penghormatan kepada pendiri padepokan Lemah Putih itu. Dia wafat pada 29 Desember tahun lalu dalam usia 74 tahun.

Filosofi gerak yang dikembangkan Suprapto itu ia namai Joget Amerta. Hampir semua rekan dan teman Suprapto yang mengenang dirinya menyebutkan istilah itu ketika bercerita tentang Prapto dalam rekaman video wawancara yang ditayangkan BWCF.

Joget Amerta adalah sebuah gerak bebas. Orang-orang datang dari berbagai negara untuk belajar gerakan ini kepada Prapto. Dalam gerak bebas itu yang menjadi kata kunci adalah breathing, sensing, listening, dan moving. “Suprapto tidak mengajarkan kita harus bergerak bagaimana,” kata Riwanto Tirtosudarmo, peneliti dan sahabat Suprapto yang pernah belajar Joget Amerta. “Kata dia, ikuti saja apa yang ada di dekat Anda, seperti merespons sesuatu.”

Putri Suprapto, Melati Suryodarmo, adalah salah satu orang yang turut menghidupkan kembali apa yang dikembangkan oleh ayahnya itu dalam BWCF kali ini lewat pertunjukan pertemuan gerak berjudul Solah Bowo. Suprapto mengenalkan Solah Bowo pada 1970-an ketika dia mengundang penari, pelaku gerak, atau siapa saja yang ingin menggerakkan tubuh untuk bergerak dan berinteraksi bersama secara bebas di waktu dan tempat yang sama. Pertengahan November lalu, Melati mengundang delapan belas penari dan pemusik untuk turut dalam pertunjukan. Mereka adalah orang-orang yang pernah mencicipi ritual Solah Bowo di bawah arahan langsung Suprapto.

Di pendapa Sasonomulyo Surakarta, sebuah tempat bersejarah dalam riwayat berkesenian Suprapto, Melati membuka pertemuan gerak itu. Mulanya, para penari dan pemusik duduk bersila dalam lingkaran dari taburan kelopak mawar. Ada denting, ada kidung, dan mantra dirapalkan. Kemudian, perlahan-lahan, para penari menggerakkan tubuh. Tak ada arahan ataupun urutan. Tiap tubuh bergerak sesuai dengan insting masing-masing. Gerakan itu juga tak menurut pada musik, melainkan pemusik yang menyesuaikan nada dengan aneka rupa gerakan yang muncul. Para penari itu pun tampak merasakan betul dengan penuh kesadaran apa yang sedang dilakukan oleh raga mereka.

Dalam pertunjukan lain, penari Benny Krisnawardi menampilkan Sang Waktu Lawan Aku. Ini adalah pertunjukan tunggal penuh ketakziman di tengah berbagai lanskap alam. Benny menari di ketinggian yang membuka pada sebuah lembah, di tengah hutan kering, berpindah ke hamparan pasir, lalu sungai yang dibendung. Alunan saluang modern yang dimainkan oleh komponis Epi Martison mengiringi geraknya. Benny menjelajahi beberapa lokasi di Yogyakarta, seperti Sungai Bedog Kradenan, Dlingo, dan gumuk pasir Parangtritis. Ritual gerak itu berakhir di Candi Boko. Kamera sineas Indra Tirtana sangat berperan menghasilkan lanskap panorama yang secara visual indah.

Di Maros, Sulawesi Selatan, antropolog Halilintar Lathief memimpin pertunjukan yang mereka ulang upacara mappalili, sebuah ritual tolak bala suku Bugis kuno yang dilakukan pada musim tanam atau saat wabah melanda. Arak-arakan dimulai dari sebuah situs bebatuan purba, menyusuri sungai, dan berujung di suatu tempat terbuka. Tiap tempat diibaratkan Halilintar sebagai terminal dalam periode peradaban orang Bugis. Pada terminal pengujung, hadir chaos di antara para penampil. Ini adalah masa sekarang tatkala, Halilintar menambahkan, “Masing-masing kelompok berupaya memperkuat diri dengan berbagai cara dan senjata.”

Pertunjukan ini berlangsung di kawasan situs purba di Sulawesi Selatan, tempat setidaknya 200 gua purba tersebar. Gua-gua itu menyimpan jejak peradaban yang dapat ditelusuri hingga 40 ribu tahun silam. Namun pabrik marmer dan semen yang berkembang pesat makin menggerus jejak peradaban itu.

Berjudul 3 Batu & Asap, pertunjukan Halilintar hendak mengingatkan kita akan harmoni yang telah diriwayatkan turun-temurun dan terlambangkan dalam tiga batu pada suatu tungku. Agar tungku dapat digunakan untuk memasak, tiga kakinya harus berdiri sama tinggi. Filosofi ini dimiliki berbagai suku di Indonesia. Orang Batak menyebutnya dalihan na tolu. Adapun suku Minang mengenal istilah tungku tigo sajarangan. Begitulah tiap adat mencatat keseimbangan alam. Akan halnya perupa Arahmaiani, yang tinggal lama di Tibet, mengajak belasan orang di Ubud, Bali, mengibarkan bendera warna-warni ala Tibet dengan tulisan “dharma” dan “ahimsa”. Belasan orang ini mengibarkan bendera dari sawah, perbukitan, sampai hutan.

Pertunjukan Benny, Halilintar, dan Arahmaiani mengingatkan akan tradisi Suprapto Suryodarmo yang intens melakukan olah gerak di candi-candi, gunung, dan berbagai situs arkeologi lainnya. Prapto juga mengajak murid-muridnya untuk menapaktilasi tempat-tempat bersejarah itu karena, menurut dia, setiap situs akan merangsang munculnya bentuk gerak yang berbeda. Misalnya, olah gerak yang dilakukan di Candi Borobudur dengan relief bernuansa naratif akan berbeda dengan gerak yang muncul ketika penari berada di Candi Cetho atau Sukuh yang menyimpan artefak yang lebih abstrak. Bagi Prapto, candi adalah monumen dengan vitalitas yang dapat merangsang gerak dan daya hidup.

Sang Waktu Lawan Aku dalam Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2020. Youtube BWFC

Landasan berkesenian Suprapto Suryodarmo ini terbentuk pada saat Solo sedang gegap-gempita dalam hal eksperimen seni. Sekitar 1968, dia menempuh pendidikan di Akademi Seni Karawitan Indonesia, satu generasi dengan komponis Rahayu Supanggah dan penari Sardono W. Kusumo. “Pada saat itu, tumbuh suasana yang penuh keterbukaan dalam dunia seni. Eksperimentasi banyak sekali muncul,” kata Sardono. “Rentang pengertian seni tak lagi yang klasikal dan adiluhung, tapi makin banyak eksperimen.”

Suprapto tak berasal dari disiplin tari murni. Namun, menurut Sardono, Suprapto melibatkan diri dalam banyak kegiatan, dari mengasah kebatinan hingga produksi film. Prapto juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya di Kampung Kemlayan yang merupakan sebuah kompleks tempat tinggal para guru tari dan maestro gamelan yang difasilitasi keraton. Kampung Kemlayan nyaris setua keraton itu sendiri. “Saya kira dari sini kekuatan sensibilitas kreativitas Prapto terbangun,” ujar Sardono.

Selain kepada Suprapto Suryodarmo, BWCF turut memberikan tribute khusus bertajuk “Jatiniskala” kepada sastrawan Ajip Rosidi yang berpulang pada pertengahan tahun lalu. Fragmen-fragmen tulisannya dibacakan oleh Jajang A. Rohmana, Aditia Gunawan, Dadan Sutrisna, dan Munawar Halil. Ada pula pemutaran film Indonesian Portrait episode Ajip Rosidi yang disutradarai oleh Jos Janssen.

MOYANG KASIH DEWI MERDEKA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus