Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pekikan. Sahut-menyahut. Seseorang mengunyah semangka. Sepasang kaki menggesek daun dan kerikil yang bertaburan di lantai hutan jati Mojokerto, Kecamatan Panggang, Gunungkidul. Terdengar musik sumbang yang riuh. Para penari sontak bergerak menyelinap di antara barisan pohon yang ranggas. Maju, mundur, berputar, dan merengkuh pepohonan. Tatkala musik lesap, giliran tubuh-tubuh yang membuat bunyi. Kaki berderap, tangan mengibas, dan kuku menggarit batang kayu. Suara kur panjang dari getaran lidah bertemu gigi juga diderumkan tak henti.
Meski lima penari itu tampil bersama di tengah hutan jati itu, tak ada pola gerak yang terbaca. Tiap orang bergerak mandiri, dengan ekspresi bebas berinteraksi dengan tanah, pohon, angin, bunyi, dan apa pun di sekitar mereka. Tarian itu berjudul Kinjeng Tangis atau tonggeret. Lalu para penari yang berbalut kostum hitam dengan ornamen serupa sayap halus di bagian lengan memang terlihat seperti kawanan uir-uir yang berkeliaran bebas di hutan. “Saya bekerja untuk Kinjeng Tangis menggunakan tubuh alam, tubuh hutan, dan tubuh teman-teman,” kata koreografer Fitri Setyaningsih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo