Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bu Menteri, rakyat Riau dua orang meninggal karena asap. Bilang ke Pak Gub segera tetapkan tanggap darurat asap. Ibu dan Presiden Jokowi berkantorlah di Riau, biar sama-sama kita merasakan asap."
KEGERAMAN Made Ali, Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Pekanbaru, mencapai puncaknya. Pesan pendek telepon seluler itu pun ia kirim kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada pukul 10.03, 14 September lalu. Tiga belas menit sebelumnya, ia mengunggah meme bergambar potret Siti yang tersenyum di akun Facebook miliknya.
"Ibu Menteri LHK Jangan Senyum-senyum aja, Desak Jokowi Presiden Republik Indonesia, Tetapkan Darurat Bencana Asap Nasional. Paksa Gubernur Riau Tetapkan Riau Keadaan Darurat dan Tanggap Darurat, soalnya Gubernur Riau Gengsinya Dibilang Tak Mampu Atasi Karhutla. Kami dah nak mati dua minggu hirup asap. Ayo SMS/Telpon Bu Siti Nurbaya, 081116xxx," begitu Made berpesan dalam meme tersebut.
Bukan cuma pesan pendek Made yang masuk ke ponsel Menteri Siti. Ada ratusan orang, setidaknya para pegiat lingkungan hidup, mengirimkan pesan serupa: meminta pemerintah pusat mengintervensi pemerintah daerah dalam penetapan status darurat asap di Riau.
Pesan itu pun dijawab Siti. Kepada Made, Siti menyahut: "…Pg td sy sdh bcr dengan gubernur dan pimpinan daerah/muspida. Hr ini Riau darurat kabut asap…."
Pesan bertubi-tubi ke telepon seluler Menteri Siti itu menunjukkan kebakaran hutan sudah sangat meresahkan. Bukan cuma Riau, Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan pun dihajar asap. Hasil pemantauan satelit NOAA-18 serta Terra dan Aqua milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menunjukkan wilayah di enam provinsi itu berwarna merah alias rawan terbakar.
Sejak Januari lalu, satelit sudah merekam lebih dari 1.700 titik panas di Riau. Di Kalimantan Barat, muncul lebih dari 2.100 titik panas. Pada periode yang sama, satelit Terra dan Aqua menunjukkan Kalimantan Tengah dipenuhi sekitar 2.250 titik panas. Sumatera Selatan punya 1.800 titik panas.
Data itu diperkuat dengan temuan jumlah titik api di lapangan saat tim gabungan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian, dan Manggala Agni—tim pemadam kebakaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—melakukan pemadaman. Di Sumatera Selatan saja, hingga pekan lalu, ada lebih dari 700 titik api. Di Jambi ada 234 titik api, sementara di Kalimantan Tengah 164 titik api berkobar.
Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan pemadaman berjalan lamban karena wilayah yang terbakar sangat luas, kebakaran ada di lahan gambut, dan kekeringan serta titik api sulit dijangkau. "Banyak yang harus dipadamkan lewat udara karena tak bisa dicapai melalui jalan darat," ujar Willem.
Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran lahan dan hutan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menyatakan kacaunya koordinasi dan pengawasan pemerintah dengan pengguna lahan ikut memperburuk keadaan. Padahal semua aturan main yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan sudah diketahui pengguna lahan.
Teknik membakar adalah cara termudah dan murah membuka lahan untuk ladang atau perkebunan. "Teknik membuka lahan tanpa bakar itu butuh sekitar Rp 50 juta per hektare. Kalau pakai cara membakar, cuma habis Rp 5-8 juta per hektare," kata Bambang, yang juga salah seorang investigator kebakaran hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Membuka lahan dengan cara dibakar memang diizinkan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup menyebutkan luas lahan yang boleh dibuka dengan cara dibakar maksimal dua hektare. Di Kalimantan Tengah, masyarakat bahkan diizinkan membakar lahan hingga lima hektare. Izinnya cukup didapat dari kepala rukun tetangga hingga camat. Kecamatan bahkan bisa memberi izin pembakaran lahan kumulatif di wilayah dan pada hari yang sama hingga 100 hektare. Dampaknya, siklus kebakaran jelas tak kunjung padam.
Juni lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sudah bersurat kepada semua gubernur agar mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan pada periode Juli-November. Hal ini didasari prediksi iklim kering yang dipengaruhi fenomena El Nino hingga November. Dia meminta pemerintah daerah mengintensifkan sosialisasi dampak kebakaran dan patroli.
Sejak Mei lalu, Menteri Siti juga meminta BNPB membantu pemerintah daerah melakukan pencegahan kebakaran. Pemerintah daerah diminta membuat kanal-kanal air untuk menjaga lahan gambut tetap basah. Ternyata, hingga Juli lalu, permintaan Siti tak dituruti dan kebakaran meluas. "Saya ngotot, tapi pemda enggak berani membuat karena takut kena sanksi," ujar Siti, Jumat pekan lalu.
Pemerintah daerah rupanya tidak meyakini ada hubungan antara pembuatan kanal dan kebakaran. Persepsi itu akhirnya menghambat gubernur mengambil keputusan, seperti yang terjadi Jambi. Siti bahkan menelepon tengah malam dengan nada sedikit mengancam. "Saya bilang, kalau enggak dikerjain, saya laporkan ke Presiden. Keesokan paginya akhirnya jalan."
Sengkarut siapa penanggung jawab penanganan kebakaran menambah pelik masalah. Berdasarkan aturan, kata Bambang, jika kebakaran lahan terdeteksi, kepala daerah yang bersangkutan harus bertanggung jawab. Pemerintah pusat bisa turun tangan ketika kebakaran meluas dan pemerintah daerah tak sanggup menanganinya. "Saat ada eskalasi bencana inilah baru tim BNPB yang turun," ujar Bambang. "Sekarang lihat sendiri di lapangan apa yang sudah dilakukan pemda sampai-sampai kebakaran begitu luas."
Pemerintah Provinsi Riau baru menetapkan status darurat Senin pekan lalu. Penetapan ini berselang cuma dua minggu setelah angka indeks standar pencemaran udara melesat hingga di atas 500. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, gubernur bisa menetapkan status darurat bila angka pencemaran udara melebihi 300.
Zuhdy Febrianto, warga Riau, menuding pemerintah tak serius menangani bencana asap yang berulang selama 18 tahun. "Selama ini, upayanya hanya sebatas pemadaman saat bencana datang, tidak ada upaya pencegahan."
Pelaksana tugas Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, membantah anggapan bahwa pemerintah daerah lamban menangani masalah asap. Pemerintah Riau, menurut Arsyadjuliandi, sudah siaga sejak April lalu. Riau pun telah menyusun rencana pencegahan kebakaran hutan di areanya. "Tidak ada lagi izin perusahaan di atas lahan gambut," ujarnya.
Lamanya penetapan status, kata Arsyadjuliandi, terjadi karena Riau saat itu belum masuk kriteria tanggap darurat. Titik api penyebab kebakaran pun bukan berasal dari Riau, melainkan dari Jambi dan Sumatera Selatan. "Riau terkena dampak asap kiriman," ujarnya. Syarat lain untuk memutuskan status darurat adalah adanya pernyataan serupa dari sepuluh kabupaten/kota di Riau. Namun tidak seluruh wilayah Riau terkena dampak asap pekat. Arsyadjuliandi menegaskan, status darurat Riau bukan untuk kebakaran lahan, melainkan pencemaran udara.
Di Kota Pekanbaru, pengukur indeks standar pencemaran udara di depan Kantor Wali Kota pun sebenarnya sudah menunjuk level berbahaya. Grafik tingkat partikel debu (PM10) melejit hingga di atas 500 mikrogram, yang mengindikasikan udara sangat beracun.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Pekanbaru Zulfikri mengatakan kadar PM10 dalam beberapa hari terakhir selalu berada di kategori berbahaya. Angka meteran bahkan pernah melebihi 900 mikrogram. Padahal batas aman jumlah partikel debu untuk manusia adalah 100 mikrogram. "Jauh di atas itu sudah tidak aman bagi manusia. Seharusnya seluruh masyarakat Kota Pekanbaru sudah mengungsi," ujarnya.
Menghentikan pembukaan lahan, terutama untuk perkebunan sawit, menurut Zulfikri, bisa mencegah kebakaran. "Sejak 1997 terus seperti ini, kayak keledai yang masuk ke lubang yang sama," katanya.
Di Palembang, ribuan orang terserang infeksi saluran pernapasan akut. Asap terus meruap di langit Sumatera Selatan karena kebakaran masih melanda lahan dan hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Ogan Ilir, dan Musi Rawas. Kabut asap bahkan melayang hingga Singapura dan Malaysia.
Gubernur Alex Noerdin meminta maaf telah gagal membuat Sumatera Selatan bebas dari asap. Dia mengatakan menggandeng perguruan tinggi untuk mencari formula buat menekan kebakaran lahan dan hutan. Kepolisian pun sudah diminta menangkap pelaku pembakaran. "Usaha sudah maksimal, tapi kenyataan masih seperti ini," ujar Alex.
Pemerintah daerah ternyata sangat minim mengawasi pengguna lahan, yang sebagian besar adalah korporasi. Banyak perusahaan mengabaikan kewajiban menyediakan sarana penanggulangan kebakaran. Saat menginvestigasi penyebab kebakaran, Bambang Hero Saharjo dan timnya pernah melihat lahan seluas 30 ribu hektare yang ternyata tidak dilengkapi menara pengawas. "Pengelolanya cuma punya satu motor roda tiga. Sistem peringatan dini mereka pun tidak bekerja," kata Bambang.
Ada pula perusahaan yang tergopoh-gopoh membangun menara setelah didatangi tim pemantau. Tim juga pernah memergoki pengelola membangun menara setinggi lima meter, cuma seperempat dari yang diwajibkan. "Pohon sawit itu tingginya lebih dari 15 meter. Kalau menaranya cuma segitu, mau ngawasi apa?" ujar Bambang. Minimnya pengawasan dan pengadaan sarana deteksi dini kebakaran itu memperbesar risiko bencana. "Orang-orang pemda tidak mau datang melihat lahan di pelosok, jadi yang melakukan pembiaran itu ada di pihak pemerintah dan korporasi."
Selain membangun menara, pengguna lahan wajib menyediakan sarana penanggulangan kebakaran sesuai dengan luas area yang diolahnya. Untuk lahan dengan luas kurang dari 500 hektare, harus ada 2-8 pemukul api, sekop, garu, gergaji, dan kapak. Pompa air, kendaraan pengangkut, serta personel patroli juga harus disediakan. Jumlah peralatan berlipat ganda jika lahannya semakin besar. "Perlengkapan itu jarang ada di lahan yang terbakar," kata Bambang.
Menurut Heru Prasetyo, bekas Kepala Badan Pengelola Pengurangan Emisi dari Deforestasi serta Degradasi Hutan dan Lahan (REDD+), pengelolaan lahan gambut di Sei Tohor, Kepulauan Meranti, Riau, sebenarnya bisa menjadi contoh pencegahan kebakaran. Wilayah itu dikelilingi sistem kanal yang semula dipakai buat mengalirkan air dari lahan gambut agar cepat kering dan bisa ditanami. Pada November tahun lalu, dipimpin Presiden Joko Widodo, sistem drainase itu ditutup agar gambut tetap basah sehingga risiko kebakaran bisa diminimalkan.
Pengembangan proyek Sei Tohor, kata Heru, justru terhambat masalah birokrasi. Aliran informasi dari sistem pengawasan kebakaran hutan dan lahan, Badan Meteorologi dan Geofisika, hingga masyarakat tak lagi berjalan. Anggaran pun mampet. "Kasus-kasus yang hampir siap diolah diistirahatkan. Perhatian yang seharusnya dijaga mulai terabaikan," ujar Heru.
Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mengatakan dalam 15 tahun terakhir lokasi titik panas hampir tak pernah berubah, muncul di provinsi dan lahan konsesi yang sama. Menurut dia, pemerintah perlu membuat peraturan baru untuk membekukan izin perusahaan yang lahannya terbakar. Namun perusahaan juga perlu diberi kesempatan menunjukkan bukti tidak membakar lahan. "Usaha pembuktian itu paling lama sebulan setelah izin dibekukan," kata Chalid. "Jika tak bisa membuktikan, izinnya dicabut permanen, kasusnya dilimpahkan ke penegak hukum, dan lahannya direstorasi."
Penanganan masalah kebakaran sudah terpantau dari hasil audit kepatuhan November tahun lalu. Tim gabungan Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Pengelola REDD+, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, serta para ahli memilih Riau sebagai obyek audit perdana mereka. Hasilnya, lima perusahaan perkebunan dianggap tidak patuh. Dari enam kabupaten/kota yang diperiksa, hanya satu yang dianggap patuh. "Kalau pemerintah berfokus pada pendekatan ini, seharusnya tidak terlalu sulit," ujar Heru. "Kuncinya kapasitas, integritas, saling percaya antara para penegak dan pengawal hukum."
Bambang mengatakan pemerintah daerah dan pengelola lahan seharusnya sudah tahu apa yang perlu dilakukan jika betul-betul berniat meredam kebakaran. Petunjuk pencegahan, pemadaman, hingga penanganan pasca-kebakaran pun sudah ada. Sayangnya, semua itu diabaikan, sehingga ketika api mengganas, pemerintah daerah kelabakan. "Itulah kenapa saat kebakaran sekarang yang sibuk malah polisi, TNI, dan Manggala Agni."
Gabriel Wahyu Titiyoga, Isma Savitri, Tika Primandari, Riyan Nofitra, Andri El Faruqi (Pekanbaru), Parliza Hendrawan (Palembang)
Sekat Kanal hingga Agroforestri
Ada tiga cara pencegahan kebakaran, yakni sekat kanal secara masif, penanaman hutan secara heterogen atau juga dikenal dengan agroforestri, dan penegakan hukum yang tegas. "Sayangnya, pemerintah baru bergerak saat penanganan. Saat pencegahannya malah keok," kata Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, ketika dihubungi, Rabu pekan lalu. "Kesalahan pemerintah adalah tidak melaksanakan tiga rencana aksi tersebut."
Kanal
Pada dasarnya, kanal berfungsi menjaga ketinggian permukaan air. Jadi air tak langsung mengalir ke permukaan yang lebih rendah. Tujuannya: membasahi tanah gambut.
Agroforestri
Selain menjaga keanekaragaman hayati, sistem ini dapat menjadikan tanah lebih subur. Supaya efektif, Tukirin Partomihardjo, peneliti ekosistem kehutanan dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyarankan menanam pohon pertanian lebih dulu, baru tanaman berakar dalam. "Cara ini cukup efektif mengembalikan unsur hara tanah."
Jenis yang cocok di lahan gambut:
- Rumbia (Metroxylon sagu)
- Mahang (Macaranga spp.)
- Anggrung (Vernonia arborea)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo