Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Warga ahli waris tanah adat Kampung Bojong-Bojong Malaka yang menamakan dirinya Koalisi Rakyat Anti Mafia Tanah (KRAMAT) mendatangi Gedung DPR pada Selasa lalu, 10 Oktober 2023. Mereka mengadukan sengketa tanah dalam Proyek Strategis Nasional Universitas Islam Internasional Indonesia atau UIII di Kota Depok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga mengeluhkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang dianggap tak mendukung penyelesaian sengketa. Hal itu meski Presiden Joko Widodo disebutkan pada pertengahan September lalu sudah berjanji untuk segera memanggil Menteri ATR/BPN dan mempertemukannya dengan warga. Pertemuan itu, menurut kuasa hukum ahli waris tanah adat kampung Bojong-Bojong Malaka, Yoyo Effendi, belum juga terwujud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di DPR RI, warga sejatinya menemui anggota Komisi II tapi gagal karena yang dituju sedang reses. Rencananya mereka ingin mendapatkan dukungan mendesak Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto, untuk segera menuntaskan permasalahan pelanggaran hukum terkait proses pengadaan dan penggunaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional UIII.
"Mereka (pelaksana proyek) belum memenuhi kewajiban untuk membayar uang ganti kerugian setelah menggunakan tanah kami selaku ahli waris pemilik sah atas tanah tersebut,” ujar Yoyo.
Mereka sudah menyampaikan pengaduan ke Kementerian ATR/BPN RI pada Juni 2022. Isinya, meminta kementerian mencabut atau membatalkan sertifikat hak pakai RRI dan Kementerian Agama yang dijadikan dasar dan alasan Proyek Strategis Nasional itu menguasai dan menggunakan 121 hektare tanah yang mereka sengketakan sekarang.
Yang terlibat dalam sengketa tanah ini adalah Kementerian Agama, Kementerian Kominfo (dahulu Departemen Penerangan RI), Kampus UIII dan Kantor Pertanahan Kota Depok. "Sengketa timbul ketika Kementerian Agama RI sampai saat ini belum mau mengakui keberadaan ahli waris adalah satu-satunya pemilik yang sah atas tanah tersebut," kata Yoyo.
Warga merasa telah memiliki bukti hak atas tanah tersebut berupa sertifikat hak pakai yang diperoleh dari proses alih fungsi penggunaan Barang Milik Negara (BMN) dari Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia.
Karenanya, Yoyo menyampaikan bahwa sertifikat hak pakai milik Kementerian Agama RI cacat administrasi atau cacat yuridis. Sertifikat itu tak layak menjadi dasar dan alasan hukum untuk menguasai, menduduki, serta menggunakan tanah lokasi pelaksanaan PSN dan Pembangunan Kampus UIII tersebut.
"Kami pun menemukan dugaan adanya modus mafia tanah terkait proses penerbitan sertifikat hak pakai Kementerian Agama RI," katanya lagi.
Setelah mereka meyakini bahwa bukti hak yang dimiliki Kementerian Agama cacat hukum dan wajib untuk dicabut atau dibatalkan, maka mereka menempuh upaya administrasi terlebih dahulu sebelum menempuh upaya hukum melalui lembaga peradilan. Yoyo merujuk upaya administrasi yang mengacu kepada Peraturan Menteri ATR/BPN RI No.21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
"Yaitu mengajukan Pengaduan/Laporan Kasus Pertanahan Laporan Dugaan Tindak Pidana Mafia Tanah kepada Kementerian ATR/BPN RI," kata mantan Ketua Pemilihan Umum tersebut.
Namun demikian, sampai sudah berjalan selama hampir 1,5 tahun, Kementerian ATR/BPN RI belum memberikan respons bermakna. Tidak adanya perkembangan penanganan kasus yang semestinya dikerjakan oleh Kementerian ATR/BPN RI, itu dinilai tidak sesuai dengan regulasi yang diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN RI No.21 tahun 2020.
"Lambatnya penanganan kasus tanah yang kami laporkan ini malah akan menghambat proses pelaksanaan PSN dan pembangunan Kampus UIII," kata Yoyo.
Pengadilan Memilih Tak Bersikap
Warga ahli waris sudah menggugat pembatalan Sertifikat Hak Pakai atas nama Departemen Penerangan RI dan Sertifikat Hak Pakai atas nama Kementerian Agama. Tapi, Pengadilan Negeri Kota Depok menyatakan putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO). Artinya gugatan tidak dapat diterima, jadi kembali ke posisi awal.
"Seperti belum ada perkara tuntutan, jadi gak ada menang dan gak ada kalah,” ujar juru bicara PN Depok, Andry Eswin.
Dalam sidang tersebut klaim ahli waris pemilik tanah Kampung Bojong-Bojong Malaka telah disampaikan secara terbuka. Mereka menyodorkan bukti dokumen/surat maupun saksi-saksi hidup yang memberikan keterangan mengenai sejarah penguasaan dan kepemilikan masyarakat Kampung Bojong-Bojong Malaka atas tanah seluas 121 hektare secara turun temurun.
“Kalau sertifikat yang dimiliki Kemenag benar-benar sah secara hukum, seharusnya Kemenag menang mutlak lah, tapi ini ahli waris mempunyai bukti Letter C tanah,” kata Yoyo.
LAYLA AISYAH