Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lilya Wamirza senang bukan kepalang. Selama tiga tahun dia rutin mengikuti tantangan 30 Hari Bercerita, akhirnya ada satu tulisannya yang tembus di laman Instagram penyelenggara program menulis itu pada Ahad, 8 Januari 2023. Cerita Lilya tentang bandara diunggah ulang oleh admin @30haribercerita, berdampingan dengan beberapa tulisan peserta lain yang terpilih.
Dalam unggahan tersebut, Lilya menceritakan keakrabannya dengan tempat lepas landas pesawat. Ia berbagi kenangan tentang bandara di setiap fase usia. Perempuan berusia 32 tahun itu tak menyangka tulisannya dilirik admin 30 Hari Bercerita. Sebab, ide ceritanya muncul secara spontan ketika mengantarkan adiknya ke bandara. “Cuma tiba-tiba kepikiran, lagi di bandara gitu kan, terus ngetik di mobil. Tulisan lainnya yang butuh pemikiran panjang malah enggak kena (repost),” kata Lilya kepada Tempo, Selasa, 10 Januari 2023.
Lilya merupakan satu dari ribuan peserta program menulis 30 Hari Bercerita. Program ini hadir selama sebulan penuh di setiap awal tahun, yaitu pada 1-30 Januari. Kegiatan tersebut mengajak warganet berbagi cerita dalam unggahannya di feed Instagram. Aktivitas ngeblog rutin ini pertama kali diinisiasi pemuda bernama Rizki Ramadhan pada 2013. Saat itu, program 30 Hari Bercerita hanya diadakan di blog, lalu sejak 2015 hadir di Instagram hingga sekarang.
Menulis Jadi Sarana Healing
Menulis 30 Hari Bercerita di media sosial. Shutterstock
Bagi perempuan yang tinggal di Palembang itu, mengikuti tantangan menulis 30 Hari Bercerita menjadi sarana healing atau penyembuhan di sela kesibukannya sebagai pegawai bank. Kegiatan ini juga menjadi ajang seru-seruan bersama temannya yang sama-sama hobi menulis.
Jauh sebelum mengenal media sosial, Lilya sudah gemar menulis. Ia rutin mencurahkan perasaannya di lembaran diari. Alumnus Teknologi Informasi Universitas Sriwijaya ini juga mengikuti komunitas Fiksi Mini dan terlibat dalam sejumlah proyek buku antologi ketika berkuliah.
Sayangnya, kegiatan menulis itu mulai berkurang begitu Lilya bekerja. Baru beberapa tahun terakhir, ibu dua anak ini rutin menulis lagi di media sosial. Ia kerap berbagi cerita kehidupan di kantor, soal keuangan, hingga drama Korea di Instagram. Tak hanya tulisan, ia juga rajin membuat video. Dalam sepekan, setidaknya ada 2-3 konten yang dia unggah.
Di awal membiasakan diri menulis lagi, Lilya juga menceritakan kehidupan pribadinya karena masih terbawa perasaan seperti menulis diari. Namun ia menyadari bahwa tak semua hal bisa dibagikan kepada orang lain. “Kok, enggak enak gitu ya kalau terlalu banyak orang tahu tentang diri kita terlalu detail. Akhirnya mulai belajar memfilter," ujarnya.
Di sisi lain, ia konsisten menulis di media sosial karena menjadi sarana untuk memasarkan bisnis sampingannya. Lilya juga ingin mengasah kemampuan menulis yang sempat tumpul lantaran bertahun-tahun tak menulis secara rutin. “Ternyata saat aku off menulis lalu mulai lagi, aku nge-blank. Kata-kata aku pas di cerita kayak gimana gitu. Makanya aku putusin terus diasah.”
Jadi Plong Setelah Menulis
Novelis Elvo Yani yang mengikuti tantangan menulis 30 Hari Berbagi Rasa di Instagram. Dok Pribadi
Selain 30 Hari Bercerita, ada tantangan 30 Hari Berbagi Rasa yang digagas penerbit D’Best. Salah satu pesertanya ialah Elvo Yani. Di dinding Facebook, mantan terapis kesehatan ini menuliskan kisah tentang penyakit berat yang diderita pasiennya dulu. Ia merasa perlu menuangkan memori yang menumpuk tentang berbagai peristiwa yang dialaminya ketika bekerja. “Itu harus saya tuangkan dalam bentuk tulisan-tulisan bermanfaat yang saya bagikan untuk pembaca yang menikmati penulisan seperti diari ini,” kata Elvo.
Elvo mulai aktif menulis di media sosial sejak empat tahun terakhir. Wanita berusia 46 tahun ini memang sudah lama ingin melakukan kegiatan tulis-menulis. Tapi, karena kesibukannya sebagai terapis, impian terpendam itu baru tercapai pada 2019. Itu pun dia belajar menulis lebih dulu selama setahun karena ingin mendalami kaidah penulisan huruf dan tanda baca.
Elvo lalu mencari berbagai komunitas menulis di Facebook dan bergabung sebagai anggota. Di sana, ia banyak belajar tentang penulisan. Dia juga mengikuti berbagai tantangan menulis yang diadakan komunitas ataupun penerbit di media sosial. Program pertama yang diikuti ibu tiga anak ini adalah Nulis Aja Dulu. “Dulu saya sering membaca dan pengin menulis. Akhirnya terkabul di usia 40-an tahun,” ujarnya.
Kesungguhannya menekuni seni merangkai kata-kata ini pun dibuktikan lewat karya. Selama dua tahun, periode 2021-2022, Elvo telah mencetak 24 novel berbagai genre, yang idenya terinspirasi oleh pengalaman para pasien ataupun imajinasinya. Widuri Gendang, misalnya, adalah novel pertamanya dengan genre silat. Kemudian Bisikan Puisi Kematian yang bergenre horor; Impossible yang berkisah tentang polisi wanita mencari cinta; The Fire of Blue yang mengusung genre fantasi; lalu ada Delusi, novel yang diangkat dari kisah nyata temannya.
Meski pengalaman sebagai penulis baru seumur jagung, puan yang tinggal di kawasan Ciledug, Kota Tangerang, ini telah mencetak berbagai prestasi. Salah satunya juara 3 Parade Menulis Horor 20 Hari oleh D’Best Publishing, juara 3 I CAN Write, juara 3 Festival Cerita Anak, dan dua kali menjadi pemenang dalam tantangan menulis 30 Kisah Inspirasi Qur’ani.
Menurut Elvo, ada berbagai manfaat yang ia rasakan setelah menekuni dunia tulis-menulis. Ia mengaku hidupnya lebih plong karena sudah mengeluarkan ide di benaknya selama ini. “Perjalanan tamu, hidup, karier, semuanya tertulis di buku novel saya. Jadi, rasanya beban saya lebih enteng.”
Sarana Pemasaran bagi Penulis
Penulis A’yat Khalili. TEMPO/M Taufan Rengganis
Kisah A’yat Khalili lain lagi. Wadah pertama bagi lelaki kelahiran Sumenep, Madura, ini untuk menulis hanya buku dan pensil. Saat remaja, A’yat tinggal di pondok pesantren yang dihuni sekitar 8.000 santri. Perangkat komputer pun hanya ada enam unit. Dengan demikian, ia akrab dengan buku dan pensil dalam berkarya.
Berangkat dari kegelisahannya ketika duduk di bangku SMP, A’yat merangkai kata-kata puitis seperti lirik lagu. Ia banyak terinspirasi oleh lagu-lagu Melly Goeslaw di awal menulis hingga akhirnya bertemu dengan senior yang memiliki komunitas menulis. “Saya direkrut di situ dan mulai berkenalan dengan tulis-menulis,” kata A’yat.
Pria berusia 32 tahun itu kemudian mengikuti banyak kegiatan lokakarya untuk mengasah kemampuannya menulis. Salah satunya yang diadakan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan—kini bernama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Di antara 30 peserta yang lolos ikut lokakarya, A’yat menjadi lima peserta terbaik.
Karya-karya A’yat berupa puisi, cerita pendek, esai, hingga catatan perjalanan. Ia juga mendapat banyak penghargaan dan menjadi pemenang lomba sastra di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Di awal terjun menjadi penulis, ia sudah mengantongi sejumlah penghargaan, seperti Piala Citra Anugerah Wali Kota Surabaya sebagai pemenang pertama Lomba Menulis Tingkat Jawa Timur. Kemudian ia juga menerima penghargaan Anugerah Sastra Dunia Nusantara Melayu Rata dari Persatuan Numera Malaysia pada 2014. Pada 2019, A’yat diganjar Penghargaan Terbaik Piala H.B. Jassin dari Bengkel Deklamasi Jakarta.
Pada 2017, A’yat mulai beralih ke media sosial sebagai sarana untuk menulis. Ia mengaku awalnya hanya iseng dan tidak tahu bahwa ngeblog di media sosial akan menjadi tren. “Yang penting waktu itu saya nulis saja di medsos. Ternyata awal-awal itu peminatnya begitu tinggi,” kata dia. Tulisan-tulisan A’yat dinikmati para pembaca. Hal itu turut berdampak pada kenaikan jumlah pengikutnya di Instagram. Dalam satu bulan pertama bikin akun, pengikutnya naik drastis hingga 100 ribu akun. Kini, A’yat memiliki 200 ribu pengikut di laman Instagram pribadinya.
Menurut A’yat, kehadiran media sosial, seperti Instagram, bisa menjadi sarana pemasaran dirinya sebagai penulis. Ia bisa memperluas interaksi dengan teman-teman sesama penulis ataupun yang berminat dengan dunia tulis-menulis. Anggota komunitas menulis yang ia dirikan pun tersebar di berbagai daerah berkat adanya media sosial. “Bisa mengundang banyak penulis pemula untuk berkumpul di satu wadah. Walau belajarnya hanya di grup WA, interaksinya menjadi pertemuan nasional walaupun dalam dunia maya,” ujarnya.
Manfaat lainnya, sejak punya Instagram, A’yat belum pernah mengajukan tulisannya kepada penerbit. Sebaliknya, banyak penerbit dari dalam negeri hingga Malaysia yang meminta naskahnya. Salah satu karyanya pun telah diterbitkan di Malaysia dan terjual 5.000 eksemplar. “Dan rencana bulan empat (April 2023), naskah baru akan diterbitkan lagi di sana. Tulisan-tulisan ringan. Saya menyebutnya prosa mini.”
Walau begitu, menulis di media sosial hanyalah sampingan bagi A’yat agar tetap eksis. Ia mengungkapkan ada perbedaan ketika menulis di Instagram maupun lewat komputer atau buku. Mengetik di Instagram dirasanya lebih praktis dan cepat. Bahkan, sekali duduk, A’yat bisa menghasilkan 5-10 tulisan dalam waktu 10 menit. Umumnya, tulisan-tulisan di unggahan A’yat berupa prosa-prosa mini itu.
FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo