Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seorang Napi Istimewa

Kemunculan singkat Maera Panigoro dalam film A Copy of My Mind sebagai seorang narapidana kasus suap mampu menjadi titik penting yang menentukan alur cerita.

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANGAN itu sebuah bilik penjara perempuan. Namun interiornya lebih mirip kamar hotel. Ada satu set home theater di dalamnya. Deretan kaset DVD memenuhi satu rak di samping televisi. Ada pula sofa dan tempat tidur ukuran besar. Di bilik itu, Bu Mirna berleha-leha menghabiskan masa hukumannya karena menjadi makelar suap dalam jual-beli lahan.

Akting Maera Panigoro sebagai Bu Mirna singkat, kurang-lebih 10 menit. Namun Maera mampu menampilkan diri sebagai orang berpengaruh yang mendapat fasilitas dan hak istimewa di penjara. Aktingnya meyakinkan kita bahwa dunia penjara kita bobrok. Napi yang berduit bisa menyogok pegawai penjara. Ia bahkan secara rutin mendatangkan orang dari salon untuk merawat wajahnya.

Bukan itu saja, permainan singkat Maera juga sangat menentukan terhadap dramaturgi film A Copy of My Mind. Maera baru muncul setelah film berjalan lebih dari setengah, saat pemeran utama, Sari (Tara Basro), ditugasi datang ke penjara untuk memberi perawatan wajah kepada Bu Mirna.

Saat itu Sari iseng mencuri DVD milik Bu Mirna. DVD itu ternyata berisi bukti rekaman perbincangan Mirna saat bertransaksi bawah meja dengan pejabat dan politikus yang salah satunya sedang mencalonkan diri sebagai presiden. Akibat "salah ambil" itu, Sari kemudian dikejar-kejar para pembunuh. Maera sukses memerankan adegan kecilnya sebagai saksi kunci korupsi kandidat presiden sehingga film selanjutnya memiliki landasan kuat mengapa Alek (Chicco Jerikho), pacar Sari, kemudian dibunuh. Tatkala Alek disiksa oleh para preman, terbayang-bayang bahwa penculikan itu atas perintah sang nyonya di penjara. Akting Maera mampu "membelokkan" alur cerita secara mulus dan logis ke bagian terinti film. Inilah yang membuat Tempo memilih Maera sebagai aktris pendukung terbaik dalam Film Pilihan Tempo 2015.

Dalam adegan di kamar sempit yang tak sampai 10 menit itu, Maera mampu menyuguhkan sosok Nyonya Mirna yang angkuh. Saat wajahnya dirawat Sari, ia dengan lancar berceloteh tentang berbagai topik, dari naik haji hingga tas Hermes. Maera sanggup menguarkan aura "ibu gedongan kalangan atas" yang terasa begitu mengintimidasi bagi Sari, yang hanya "orang biasa". Adegan Bu Mirna memeriksa tas milik Sari terasa mendebarkan.

Bu Mirna yang diperankan Maera segera mengingatkan kita pada sosok Artalyta Suryani. Makelar kasus suap Jaksa Agung dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia itu, tatkala ditahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu pada 2010, ternyata kamarnya dilengkapi penyejuk udara, kulkas, TV plasma, bahkan pembantu pribadi. Walau begitu, Maera menolak bila ia disebut meniru Ayin—panggilan akrab Artalyta—dalam berperan. "Aku malah enggak tahu dia siapa," kata Maera.

Maera bahkan sengaja menghindari menonton video-video Ayin di YouTube. Ia tak mau sosok Ayin mempengaruhi eksplorasi dirinya atas karakter Bu Mirna. Maera baru mencari tahu tentang Ayin setelah proses syuting selesai. "Untuk memastikan, mudah-mudahan enggak terlalu sama," ujarnya, lalu tertawa.

Maera mengaku karakter Mirna diciptakannya dalam waktu singkat saat workshop sebelum pengambilan gambar. Joko Anwar, sebagai sutradara, tak memberi banyak petunjuk tentang sosok Mirna. Ia juga tak memberikan dialog-dialog kepada Maera. Joko hanya memberi panduan bagaimana cerita berjalan secara umum. Teknik ini, kata Maera, justru membuatnya nyaman dan lebih bebas mengeksplorasi peran. "Justru akan lebih sulit kalau aku disuruh menghafal script," ucapnya.

Maera merencanakan sendiri karakter Mirna yang saat bertemu dengan pejabat berbicara dalam logat Jawa, sementara saat bertemu dengan orang tak penting seperti Sari kembali ke gaya bicaranya yang biasa. "Menurut saya, logat Jawa itu lebih luwes dan mengalun," tutur Maera. "Cocok digunakan saat membujuk-bujuk pejabat."

Saat syuting adegan di bilik penjara, Maera ingat ia diminta Joko berbicara tanpa henti selama 30 menit tentang topik apa pun yang terlintas di kepalanya. Tak ada cut. Joko hanya meneriakkan clue topik yang harus dibicarakan. "Joko teriak 'naik haji!', saya langsung blah-blah-blah soal naik haji sampai topik lain dilempar," kata Maera.

Satu-satunya kesulitan yang dihadapi Maera adalah saat beradegan melobi pejabat dan pengusaha (dalam film, adegan itu ada dalam rekaman DVD yang diambil Sari). Maera berujar ia tak pernah ada dalam situasi seperti itu. Untuk membantu imajinasinya, dia lantas menganalogikan lobi suap dengan lobi saat ia menjadi produser teater musikal. "Aku bayangkan saja ini seperti tawar-tawaran dengan vendor saat mau bikin musikal," ucap Maera, yang memang mengawali kariernya di pentas musik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus