Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memerankan kembali karakter dalam film yang pernah dimainkan orang lain bukan perkara gampang. Itulah yang dihadapi Tio Pakusadewo, 52 tahun, tatkala ia ditawari mengulang memainkan peran seorang lelaki perantauan Batak dalam film Bulan di Atas Kuburan karya lawas Asrul Sani pada 1973. Pada tahun itu yang memainkan peran tersebut adalah Aedy Moward. Akting Aedy saat itu cukup kuat sehingga ia pada 1973 menyabet Piala Citra sebagai aktor pendukung terbaik.
Tapi justru itu merupakan tantangan bagi Tio. "Saya tonton lagi film Bulan di Atas Kuburan karya Asrul Sani dan mendiskusikan dengan orang-orang yang pernah terlibat dalam film itu. Lalu cari sesuatu yang baru dan unik," ucap Tio kepada Tempo. Pemilik nama lengkap Irwan Susetyo Pakusadewo ini lalu tetap mempertahankan karakter dasar Aedy. Tapi, dari segi penampilan, ia mencoba sesuatu yang berbeda. Salah satunya kumis.
"Kumis Aedy kecil. Kalau saya sengaja membentuk tipis seperti punya Jusuf Kalla," kata Tio. Kumis tipis sengaja dipilih karena bisa membuat karakter yang ia mainkan terlihat culas sekaligus berwibawa. "Tergantung cara membawakannya. Kalau culas, dia jadi culas sekali. Kalau berbohong, dia jago banget ngebohongnya. Tapi, kalau berwibawa, dia bisa kelihatan sangat berwibawa."
Tapi tentu bukan lantaran kumis ia dipilih Tempo sebagai pemeran pembantu pria terbaik 2015. Akting Tio sebagai Sabar, lelaki Batak, sangat menonjol. Sebagai pemeran pendukung, Sabar malah dapat menghidupkan film Bulan di Atas Kuburan. Sabar adalah makelar yang hidup di kampung kumuh Jakarta kemudian mendadak kaya, lalu kembali jatuh miskin. Ketiga situasi itu bisa diekspresikan dengan rileks oleh Tio. Dia bisa menyajikan Sabar secara menarik dan tak membosankan dalam situasi yang berubah-ubah. Tatkala menjadi sosok miskin, ia cocok. Tapi menjadi sosok orang kaya pun pantas, meski semuanya tetap tak meninggalkan karakter Sabar yang meledak-ledak.
Tio mengaku melakukan riset kecil-kecilan tentang tokoh Batak yang bernama Jawa ini. "Dari sepuluh orang Batak perantau, lima memakai topi," ujar Tio. Maka, dalam film Bulan di Atas Kuburan, ia tak pernah lupa memakai topi. Topi yang dipilih adalah topi pet ala seniman. "Detail seperti itu yang enggak dilihat sutradara," katanya.
Yang tampak berhasil juga adalah bagaimana secara wajar Tio mampu berbicara dalam logat Batak dan konsisten menjaganya. Dia punya cara unik untuk menghayati logat Batak ini. Tio menulis di buku catatannya grafik emosi karakter yang ia mainkan. "Saya punya rumus sendiri untuk membuat dan membaca grafik itu. Misalnya hari ini scene berapa yang akan dimainkan, kejadiannya sudah berapa lama, dan emosinya seperti apa. Jadi semua itu tetap terjaga."
Bulan di Atas Kuburan, disutradarai oleh Edo W.F. Sitanggang, berkisah tentang dua pemuda dari Samosir, Sumatera Utara, Tigor (Donny Alamsyah) dan Sahat (Rio Dewanto), yang bermaksud mencari kehidupan baru dan memutuskan merantau ke Jakarta. Berbekal alamat rumah teman sekampung mereka, Sabar (Tio Pakusadewo), yang dikabarkan hidup sukses di Jakarta, keduanya pun berangkat ke Ibu Kota.
Tapi impian dan harapan mereka sirna setelah melihat Sabar tinggal di kampung kumuh. Mereka pun berusaha menaklukkan Jakarta dengan cara masing-masing. "Tokoh Sabar itu lebih tua daripada mereka semua yang baru datang dari kampung," ujar Dirmawan Hatta, yang menulis ulang skenario film ini. Tio sendiri melihat sosok Sabar seperti orang yang dianggap senior oleh anak-anak Medan perantauan. "Mereka berdua datang dari kampung dan saya ada untuk membimbing. Seperti boslah," kata Tio. Mungkin, karena penghayatannya atas peran lelaki yang dituakan itu, akting Tio walaupun hanya sebagai pemeran pendukung malah bisa "menyelamatkan" film.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo