Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari permukaan, dia terlihat seperti perempuan yang tidak ada masalah. Tapi, dari sorot mata, gestur tubuh, dan romannya, ia tampak gelisah. Tutie Kirana mampu mengekspresikan seorang perempuan tua yang berusaha tampak tenang, padahal dalam hati mengalami pergulatan batin. Di usianya yang 65 tahun, ia berusaha mengekang hasratnya. Tanpa banyak dialog, Tutie mampu menampilkan ekspresi perasaan cemburu dan keinginan untuk dicintai secara wajar.
Tutie memainkan sosok perempuan sepuh yang sejak suaminya meninggal tinggal berdua saja bersama pembantunya. Lalu pada suatu pagi pembantunya pamit. Dia terpaksa menjalani semua rutinitasnya sendiri. Tutie mampu secara wajar memainkan bagaimana sosok seorang ibu yang kesepian.
Ia mampu menyajikan akting bagaimana tatkala ibu itu sehari-hari berolahraga, minum teh, menjalankan salat, makan malam, menonton televisi, menyusun puzzle, lalu kembali tidur setelah minum obat—semuanya dijalani dengan suatu kesepian. Juga tatkala melakukan hal-hal yang biasa dilakukan pembantunya, dari menyalakan lampu; membuka tirai jendela; menyiapkan makanan, minuman, dan obat di meja makan; mencuci piring; sampai mengganti galon air minum yang kosong.
Ajakan putri tunggalnya, Laras (Anneke Jodi), dan menantunya, Bimo (Ringgo Agus Rahman), untuk tinggal bersama di rumah mereka tak pernah dia gubris. Merasa tidak tega melihat kesendirian ibunya, Laras dan Bimo mengirim Abi (Rendy Ahmad), keponakan Bimo yang baru lulus SMA, untuk bekerja sebagai pembantu, menggantikan Elly.
Dan di sinilah sebuah "magma" mulai "mendidih". Abi diam-diam sering mencuri pandang sang nyonya. Menyadari dirinya menjadi obyek tatapan, perempuan yang dipanggil oma oleh cucu-cucunya itu jadi sering memperhatikan penampilan dirinya. Ia jadi suka berdandan dan duduk berlama-lama di depan cermin sambil senyum-senyum. Dua insan berbeda generasi itu sama-sama ingin melampiaskan hasrat seksual yang selama ini terpendam. Sosok perempuan tua yang tak gampang percaya kepada orang lain itu mulai berubah.
Tutie, aktris kelahiran Surabaya, 28 Oktober 1952, mampu menampilkan gejolak-gejolak dalam hatinya dengan ekspresi kecil yang natural. Aktingnya tidak lahiriah. Saat sang ibu dengan tak sengaja memergoki Abi tengah melakukan masturbasi di ranjang, ekspresi wajah Tutie menampilkan seorang perempuan yang kaget tapi berusaha mengontrol diri dan buru-buru balik.
Ada adegan saat sang ibu dan Abi tengah berdua, tiba-tiba tangan Abi menjelajahi belahan dada dan memasukkan tangan ke balik rok sang ibu. Ini pun tak menjadi adegan yang berlebihan atau seronok. Raut muka Tutie tampak pasrah. Adegan itu memendarkan ekspresi kesepian batin sang ibu selama ini.
Tutie mengaku pengalamannya sebagai perempuan, istri, ibu, dan nenek di sepanjang perjalanan hidupnya membuat ia tak perlu mencari-cari sosok lain untuk pendalaman karakter. "Istilahnya kalau bumbu-bumbu itu bukan cuma asam dan garam, tapi udah dicampur lagi dengan cuka dan bawang. Sebagai aktris, saya harus siap berperan apa saja," kata mantan istri sutradara terkenal almarhum Sjumandjaja ini.
Tutie sempat galau ketika Teddy menyodorkan naskah film itu untuk pertama kali. Menurut Tutie, naskah pertama yang dibacanya itu jauh lebih "liar". Apalagi semula Teddy memberi judul filmnya itu Naked, telanjang. Telanjang dalam arti luas, termasuk menelanjangi sebuah keadaan dan kemunafikan. Tutie sebetulnya tertarik pada isu-isu seperti itu. Tapi sejumlah adegan kelewat intim dengan lawan mainnya membuatnya menyerah sebelum mencoba.
"Kalau enggak salah ya, di script pertama itu ada adegan kissing-nya. Saya bilang ke Teddy, 'Wah, ini sih udah absolutely cannot.' Pokoknya banyak adegan yang lebih beratlah," kata Tutie. Untungnya, Teddy mau berkompromi "memperhalus" adegan-adegan yang membuat Tutie jengah. "Menurut Teddy, film ini yang terhalus dibanding dua film sebelumnya karena yang main sudah tua dan yang main yang paling cerewet, gitu, ha-ha-ha...."
Dukungan dari keluarga, terutama suaminya, Hartono Parbudi, makin membuat Tutie mantap bermain dalam film ini. Sang suami juga setia menemani Tutie menjalani syuting di sebuah rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Menurut Tutie, pertimbangan utama di proyek film ini adalah keluarga. Terlebih karakter yang dia mainkan riskan mengundang gosip tak sedap.
"Kalau saya tidak punya keluarga harmonis seperti ini, saya enggak akan ambil. Kenapa? Image sudah pasti jatuh. Orang akan berpikir, 'Oh, elu begitu'," ujar Tutie.
Selama syuting, Tutie, yang bermukim di kawasan Bintaro, memilih menginap di Hotel Aryaduta agar lebih dekat dengan lokasi. Apalagi syuting selama lima hari, sejak pukul enam pagi hingga lewat tengah malam bahkan hampir pagi, benar-benar menguras energinya . "Mental dan fisik saya digojlok. Kaki saya sampai bengkak segede gajah tapi enggak ada yang tahu," katanya. Pada hari kedua syuting, Tutie bahkan nyaris pingsan kelelahan.
Film ini betul-betul bertumpu pada Tutie. Menurut Tutie, Teddy sebagai sutradara bisa membuatnya melakukan berbagai adegan secara nyaman. Akting Tutie halus. Lebih menampilkan "gejolak dalam". Dengan alasan ini pula kami memilih Tutie sebagai aktris terbaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo