Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seorang pengacara dan teroris

Kisah seorang pengacara, jean paul mazurier, yang hampir diperalat oleh teroris georges ibrahim abdalah. abdallah berdiri di belakang teror di prancis sejak 1981 dan diduga pendiri farl.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU orang yang bernama Saadi Abdelkader, yang ditahan pada Oktober 1984 di Lyon, diketahui sebagai Georges Ibrahim Abdallah, penjagaan terhadap dia sangat diperketat. Orang milah yang diduga sebagai pendiri FARL, Kelompok Revolusioner Bersenjata Lebanon pada 1981. Meniru cara Brigade Merah menjalankan teror, FARL sejauh ini cuma diketahui beranggotakan belasan orang - dan klan Abdallah, dia bersaudara ditambah pacarnya bersaudara, konon sebagai anggota inti. Dan sejak November 1981 teror di Eropa, terutama di Prancis, pelaku utamanya FARL itulah. Tapi aksi yang menggoncangkan Prancis, justru, baru setelah Abdallah diborgol. Belum sebulan ia ditahan, Direktur Pusat Kebudayaan Prancis diculik. Penculik mau membebaskan Direktur kalau Abdallah dibebaskan juga. Terpaksa pemerintah Prancis menyetujui. Tapi, di saat pertukaran sandera itu, ditemukan sarang FARL dan bukti-bukti keterlibatannya dalam pembunuhan diplomat AS dan Israel. Abdallah urung dibebaskan, dan untunglah Direktur Kebudayaan itu sudah dilepaskan. Mungkin karena itu, pihak teroris naik pitam. Desember 1985, dua bom meledak di dua pertokoan mahal di Paris, 35 orang luka parah. Dua bulan kemudian Februari 1986, bom meledak di galeri seni di Champs Elysees, delapan luka-luka. Pada hari itu juga polisi menemukan sebuah bom di menara Eiffel, untung tak sampai meledak. Esoknya, sebuah toko buku di daerah mahasiswa menjadi sasaran, empat luka. Hari berikutnya, ganti sebuah toko olah raga. menjadi tempat musibah, dan sembilan orang terpaksa dirawat. Bulan berikutnya serentetan teror meletus lagi. Di kereta api supercepat Paris-Lyon bom meledak, 10 orang luka-luka. Beberapa hari kemudian bom meldak di sebuah galeri, 28 orang terluka, dan kali ini dua orang mati. Kemudian sepi. Baru empat bulan kemudian terdengar ledakan lagi, di markas polisi brigade antibandit, Paris, dan kepala polisi tewas. Sekitar sebulan tak ada aksi apa pun. Tiba-tiba awal September 1986, terdengar pernyataan pihak teroris. Bila Abdallah tak segera dibebaskan, bom akan meledak lebih dahsyat. Benar, 4 September, hampir saja Setasiun di Lyon, kota tempat Abdallah dutangkap, hancur, seandainya seorang penumpang tak bercuriga atas sebuah bungkusan tak bertuan. Aksi gagal. Empat hari kemudian, ledakan di sebuah hotel di Paris menewaskan seorang pesuruh dan melukai 18 orang. Pada 12 September, sasaran beralih ke sebuah setasiun metro, dan 40-an orang luka parah. Dua hari kemudian sebuah restoran di daerah elit di Paris meledak, seorang mati, dua luka berat. Puncaknya, 17 September, ledakan bom di Toserba Tati, Paris, sembilan orang mati seketika, sekitar 150 luka berat dan ringan. Dua bersaudara Abdallah, Robert dan Maurice, diwanted, dituduh jadi biang semua itu. Tujuannya tentu, membalaskan dendam abangnya. Jadi, siapakah Ibrahim Abdallah yang jadi sumber ini semua? DI suatu sore di bulan Mei 1982 Saya membuka pintu kantor saya, yang saya sewa bersama empat pengacara lain di daerah mahasiswa Quartier Latin, Paris. Jam, kira-kira pukul 18.00 karena saya lihat sekretaris kami sudah tidak berada di tempatnya. Di muka pintu, berdiri seorang laki-laki berjenggot. Saya ingat betul wajahnya, atau lebih tepat pandangan matanya yang tak berkedip. Sinar matanya mencerminkan seorang yang lembut dan berkemauan keras. Ia bertanya apakah Tuan Pengacara Jean-Paul Mazurier ada. Saya jawab, sayalah orangnya. Lalu laki-laki itu saya ajak masuk. Begitu duduk, ia kelihatan agak gelisah. "Dapatkah saya bicara dengan bebas?" Dengan sedikit kaget, saya perhatikan sekali lagi laki-laki itu. Jenggotnya itu, ah, hampir menutupi separuh wajahnya. Itu membuat saya lalai memperhatikan bentuk fisiknya yang lain secara detail. Bahkan saya tidak tahu warna matanya: hitam atau cokelat. Hidungnya mancung, bibirnya agak tipis, wajahnya oval. Saya taksir usianya 35 tahun. Lalu saya yakinkan, dia boleh bicara apa saja. "Saya bernama Alex. Saya seorang revolusioner militan Arab. Saya datang menemui Anda karena Anda adalah pengacara Frederic Oriach. Saya ingin mengadakan kontak dengannya. Saya juga hendak bertanya kepada Anda, apakah Anda bersedia membela seorang revolusioner militan lainnya, Mohand Hamami. Saya juga berharap bisa bertemu dengan kamerad Action Directe." Benar, saya bekas pembela Oriach, tapi saya tidak tahu banyak - kecuali bahwa ia seorang politikus militan, yang dipenjarakan setelah terjadi teror dalam gerakan NAPAP (Noyoux Armes Pour I'Autonomie Populaire). Tapi saya tidak bertanya mengapa ia ingin menemui Oriach. "Alex" akhirnya menjelaskannya sendiri, ia berkepentingan dengan Oriach karena "Si Revolusioner Militan" ini adalah pendukung Palestina dan FARL. Untuk sementara saya menjawab belum bisa menghubungi Oriach. Untuk permintaannya yang lain, menjadi pembela Mohand Hamami, secara prinsip, saya tidak berkeberatan. Asal, Hamami, yang tidak saya kenal itu, bersedia menceritakan semuanya secara detail. Ia ditangkap bersama teman wanitanya, Joelle Aubron, dalam suatu penggerebekan di Rue du Borrego. Media massa memperkenalkan kedua orang ini sebagai militan Action Directe. Tapi pengetahuan saya tentang orang-orang dan gerakan itu masih kabur. Beberapa bulan kemudian, dari dokumen pengadilan dan pers yang saya pelajari, Hamami-lah yang mengedarkan surat selebaran yang isinya tentang klaim dan alasan pembunuhan terhadap diplomat Israel Yacov Barismantov - pembunuhan yang diakui oleh FARL, Kelompok Revolusioner Bersenjata Lebanon, dilakukannya. Sementara itu, Oriach, menurut majalah gelap kiri, merupakan otak penyerangan bersenjata terhadap Kamar Dagang Israel di Boulevard Malesherves, Paris, sebelumnya - yang juga diakui oleh FARL. Sebenarnya, saya agak jengkel juga karena "Alex" terlalu cepat mengungkapkan segala keinginannya. Ia mula-mula bicara tentang pembelaan untuk Hamami. Menurut dia, saya harus mengontak Hamami di dalam tahanan, dan menyampaikan pesan dari "Georges". Jadi, rupanya, tamu saya ini punya dua nama kecil. Saya menerima, secara bersyarat, untuk membela Hamami. Namun, saya menolak menangani masalah Oriach - yang saya sendiri tidak mempunyai simpati khusus padanya. "Alex" datang kapan saja, baik pagi maupun sore. Bila saya tidak berada di tempat, ia pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan. Mungkin itu dilakukannya demi keamanan. Bila sayakembali, sekretaris saya bilang, "Si Jenggot barusan datang." Dua bulan kemudian "Alex" datang lagi, dan bercerita bahwa ia sedang membentuk gerakan revolusioner "internasional". Saya rasa, ia ingin Oriach, Hamami atau militan Action Directe lainnya membantu menyediakan pasukan - atau setidak-tidaknya sumbangan. Klien saya satu ini sungguh lain. Ia berpendidikan, cerdas, tipe seorang pemimpin: tenang, otoriter, dan tak mudah dipengaruhi. Ia tidak pernah bicara keras. Ia mengaku keturunan Lebanon. Tapi gaya bicara dan raut mukanya sama sekali tidak memperlihatkan kebencian terhadap Israel, yang "menduduki" negaranya. Memang, ia membicarakan masalah revolusi, Palestina, dan Arab. Tapi itu semua sangat teoretis. Ia, misalnya, tidak pernah mengemukakan peranan Syria, kaum militan Iran, ataupun pengaruh internasional Libya. Saya cuma mengangguk-anggukkan kepala - untuk menunjukkan, saya mengikuti jalan pikirannya. "Alex" datang secara tidak tetap. Kadang-kadang seminggu dua kali, kadang-kadang ia muncul setelah 10 hari. Lalu ia mulai mencoba menarik saya keluar dari peranan saya sebagai pengacara, dengan mengajak saya masuk ke dalam aktivitas militan. Pada akhir Juni 1982, ia meminta saya, "Alangkah baiknya bila kantorAnda menjadi tempat pertemuan kami." Tentu saja, saya segera menolak dan menghindar dari pembicaraan lebih lanjut, dengan mengatakan di kantor ini saya bekerja tidak sendirian. Rekan pengacara saya yang lain pasti akan kaget dan khawatir. "Alex" bisa memahami kekhawatiran saya. Bahkan ia mengucapkan selamat pada saya, yang dinilainya tidak ingin membahayakan keselamatan "saudara-saudara"-nya. Saya tidak tahu siapa "saudara-saudara"-nya yang dimaksud itu. Ia tidak pernah memperkenalkannya. Agaknya, sedikit demi sedikit, ia merasa saya bisa menjadi salah seorang kepercayaannya. Sejak saat itu, sebenarnya saya sudah tidak ingin berhubungan lagi dengannya. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara menolak secara halus. Beberapa hari kemudian, "Alex" datang lagi, dan ia seakan-akan menjebak saya. Ia memperlihatkan sepucuk surat yang ditulis dalam bahasa Arab. Ia menerjemahkannya setelah meminta saya menjaga rahasia. Itu adalah teks pengakuan FARL atas sebuah aksi teror yang akan dilakukan - yang tempat dan tanggalnya masih dibiarkan kosong. "Alex" meminta saya mengisi bagian yang kosong itu, bila saatnya sudah tiba, dan mengirimkannya ke media massa. Saya benar-benar bingung. Tapi saya tidak bisa menolak untuk menerima teks itu. Saya takut. Begitu "Alex" pergi, ingin sekali rasanya membakar kertas itu. Selama beberapa hari kemudian, saya rajin membacai koran satu per satu - dengan harapan tidak ada berita mengenai teror. Beberapa hari kemudian, "Alex" datang lagi. "Buang kertas yang sudah saya berikan itu. Bukan tugas Anda. Anda seorang pengacara." Saya merasa lega sekali, dan bebas dari impitan. Saya katakan padanya, kertas itu sudah saya bakar beberapa hari lalu . Pada suatu hari, di musim panas bulan Juli, saya bertemu dengan "Alex" di jalan. Ia berpakaian sport, dan membawa tas camping di punggungnya. Ia sedang menunggu bis. Saya mendekatinya untuk memberikan salam. Tapi dengan isyarat tangan, ia meminta saya menjauhinya. Tak lama kemudian, 22 Agustus 1982, terjadi teror di Avenue de la Bourdonnais. FARL mengaku yang melakukannya. Dua orang petugas penjinak bom tewas. Saya menyesal sekali karena saya sebenarnya bisa menghindarkan bencana itu bila saja saya tetap menjaga kontak dengan "Alex", dan terus memupuk kepercayaan dirinya pada saya. Musim panas 1984, berita-berita mengenai terorisme di koran sudah mulai jarang. Sampai kemudian terjadi usaha pembunuhan terhadap konsul Amerika di Strasbourg, 26 Maret 1984. Kembali ke Paris, kadang-kadang saya masih suka memikirkan "Alex". Pada suatu hari, ketika sedang membaca koran, telepon di kantor saya berdering. "Halo, Monsieur Mazurier, bisa kami memperhitungkan Anda lagi?" Dengan cepat, saya mengenali suara "Alex". Dalam dua tahun belakangan ini, saya sebenarnya bosan menghadapi masalah ini. Dan saya tidak pernah berhenti menyesali diri karena saya tidak tahu bagaimana memecahkannya dengan baik. Tapi kali ini, setelah seharian saya memikirkannya, saya putuskan untuk melaporkan kepada yang berwajib setiap usaha terorisme. Keesokan harinya, saya menelepon seorang hakim kriminal yang saya percayai di Palais de Justice.Tapi ia tidak berada di tempat. Beberapa jam kemudian, ia bel saya. "Saya punya firasat, ada suatu hal yang gawat yang akan terjadi, yang sebenarnya bisa kita atasi. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Barangkali, saya harus mengadakan kontak dengan pejabat yang berkepentingan," tutur saya. Sang hakim tidak membeikan komentar apa-apa. Ia cuma berkata akan memikirkan dulu masalah ini, dan menelepon saya lagi. Keesokan paginya, ia menelepon saya di rumah. "Saya sudah bikin janji untuk Anda, sehabis makan siang ini, di Kementerian Keamanan. Anda ditunggu langsung oleh Joseph Franceschi. Anda bisa mengungkapkan kekhawatiran dan informasi Anda padanya. Peran saya cukup sampai di sini." Pada pukul 14.00, saya sudah berada di Rue des Saussaies, di sayap kanan kantor kementerian. Kepada hakim yang belum saya kenal itu, saya tidak banyak menceritakan hal yang penting. Malah saya menghindar membicarakan "Alex". Dia bisa saja salah menafsirkan cerita. Bisa jadi, ia malah mengira saya berkomplot. Walau demikian, saya memperkenalkan diri padanya sebagai pengacara Oriach dan Hamami. Dan dengan kalimat yang tidak jelas, saya menyatakan keinginan saya untuk ikut membantu mencegah usaha terorisme. Bahkan saya juga menawarkan diri untuk meninggalkan pekerjaan saya sebagai pengacara - kendati kata "informan" masih menakutkan saya. Pembicaraan saya dengannya barangkali membingungkannya, karena saya tidak terbuka, dan tidak menceritakan banyak hal. Ia kelihatan skeptis, dan cepat sekali mengambil keputusan menampik usulan saya. Saya kembali ke kantor dengan perasaan dongkol. Saya memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Kementerian Dalam Negeri. Tak ada lagi kelanjutan pertemuan saya di Rue des Saussaies itu, kecuali kunjungan dua orang polisi berpakaian sipil ke tempat tinggal saya. Tapi mereka cuma bertemu dengan penjaga gedung. "Alex" tak pernah lagi muncul selama beberapa minggu, dan saya sibuk menggeluti pekerjaan. Pada Sabtu, pertengahan Agustus, telepon yang saya tunggu-tunggu itu akhirnya berdering juga. "Halo, pengacara Mazurier? Anda masih ingat saya? Saya ingin datang. Penting sekali. Setelah makan siang ini?" Mantap sudah saya, untuk tidak melepaskannya, untuk tidak membiarkannya berbuat sesuka hati. Saya belum tahu bagaimana caranya. Tapi, yang penting, saya harus menaruh kepercayaan dulu pada dirinya, sambil mencari tahu apa yang ada di benaknya. Secara fisik, "Alex" tidak berubah: ia tetap berpakaian rapi. Pandangan matanya terkadang beringas, terkadang lembut. "Anda baik-baik saja selama ini?" tanyanya. "Saya membutuhkan Anda. Seorang kamerad saya ditangkap di Italia, 10 hari lalu. Saya ingin Anda ke sana menengoknya. Bukan untuk membelanya. Saya hanya ingin Anda menyampaikan pesan. Ia tidak bicara baik Prancis maupun Inggris. Saya hanya ingin Anda membuatnya tenang. Itu saja." Lagi-lagi, saya dihadapkan pada masalah, yang saya sendiri tidak tahu ujung pangkalnya. Apa yang terjadi di Italia? "Alex" menjelaskannya lebih detail: Orang itu bernama el-Mansouri. Ia ditangkap di kereta api, dekat Trieste. Ia membawa sejumlah bahan peledak. "Alex" menjuluki orang ini lionceau (anak singa) suatu julukan yang umum di kalangan anak muda militan Palestina yang dagunya tidak berewokan. "Alex", untuk pertama kalinya dalam pertemuan ini, kelihatan lebih santai, dan banyak tertawa. Katanya, Mansouri ketika itu sedang dalam perjalanan dengan kereta api ekspres Ljubljana-Paris. Penumpang di hadapannya mengajaknya bicara. Tapi ia diam saja. Ini membuat mereka marah, ngomel-ngomel, dan kemudian menyerangnya. Mansouri yang baru berusia 15 tahun kemudian dipaksa pindah ke tempat duduk lain. Pada saat itu, datang petugas kontrol. Di balik celana Mansouri, petugas menemukan tujuh batang bahan peledak. Saya heran bagaimana "Alex" bisa tahu semua kejadian itu. Tapi seperti biasa, saya tidak menanyakannya. Saya biarkan saja ia bercerita terus. Yangtidak saya pahami saya cari dari dokumen pengadilan . Ternyata, Mansouri tidak bepergian seorang diri. Mula-mula ia menginap di sebuah hotel di Yugoslavia. Di sana, polisi menemukan identitasnya. Ia kemudian naik kereta api ditemani gadis Libanon, Daher Ferial, pacarnya, yang juga anggota FARL. Menurut dugaan polisi, Daher Ferial mungkin tidak satu gerbong dengan Mansouri - untuk alasan keamanan. Besar kemungkinan, ia melihat penangkapan terhadap diri Mansouri, sehingga kemudian balik lagi ke Roma untuk memberitahu "Alex". Tugas saya ke Trieste ialah "berusaha" - sebuah kata yang paling disukai "Alex" - mengadakan kontak dengan Mansouri. Ia memang cerdik memanfaatkan status saya - sebagai pengacara tentu saya mudah sekali minta izin menjenguk. Beberapa hari kemudian, "Alex" datang lagi pada saya untuk menyerahkan uang transpor, membicarakan berapa lama saya harus di Trieste, dan menyampaikan pesannya. Ia memberi saya US$ 700, dengan tanda terima khas "Alex": saya cukup menuliskan angka tujuh di ujung sehelai kertas putih - tanpa saya harus menandatanganinya. Saya minta tambahan 10.000 franc untuk tiket pesawat pulang pergi, ongkos tinggal selama seminggu di Trieste, ditambah dengan uang yang seharusnya saya peroleh selama tujuh hari absen sebagai pengacara. Tapi "Alex" meyakinkan saya, yang sudah diberikannya itu sudah diperhitungkan masak-masak oleh kameradnya. Sepotong kertas bertuliskan empat atau lima kata Arab diberi kan kepada saya. Kertas itu harus saya perlihatkan kepada Si Anak Singa Mansouri. Dan ia harus menandatanganinya untuk membuktikan bahwa saya sudah memenuhi misinya. Begitu "Alex" meninggalkan kantor, saya pergi ke Palais de Justice menemui hakim yang dulu. Kepadanya saya ceritakan semua - tanpa aa satu pun yang saya sembunyikan. Di Trieste, Italia, saya memilih nginap di sebuah hotel di tengah kota, di samping stasiun - tak jauh dari gedung pengadilan. Keesokan paginya, saya mengadakan kontak dengan pengacara setempat. Saya memperkenalkan diri, dengan bahasa Inggris yang patah-patah, sebagai pengacara Prancis yang diminta oleh orangtua Mansouri untuk mengurusi kepentingannya. Mereka, orangtua Mansouri, buta hukum dan tidak mengenal seorang pun di Italia. Hakim memberi izin berkunjung hanya untuk sekali. Tapi saya tidak bisa berkunjung pada hari itu juga karena penjaranya sudah tutup. Sambil menunggu hari esok, saya makan di sebuah pizzeria. Di situ, ada sejumlah mata yang memperhatikan saya dengan pandangan yang aneh. Keesokan harinya, selesai mengadakan pembicaraan singkat dengan Mansouri, begitu saya keluar dari perijara, samar-samar terdengar deru sepeda motor. Saya melihat, seorang yang duduk di belakang mengacung-acungkan revolver ke arah saya - sebelum akhirnya motor itu menghilang dalam kecepatan tinggi. Tentulah ini suatu intimidasi karena mereka sama sekali tidak melepaskan tembakan. Tapi saya merasa mereka sedang berusaha membunuh saya. Saya terkejut sekali, ternyata Mansouri masih sangat muda untuk terlibat aksi teror. Tapi pandangan matanya penuh curiga. Dengan sembunyi-sembunyi, saya memperlihatkan lambang huruf V dengan jari yang saya letakkan pada perut. Kemudian kami duduk. Saya tidak bicara apa-apa dengannya karena ia hanya bisa berbahasa Arab. Dari kantung celana, saya keluarkan lipatan kertas yang berisi pesan Georges. Ia membaca dan membaca pesan itu dengan serius. Kemudian ia menegakkan kepalanya sambil tersenyum berseri. Dengan isyarat tangan, saya memintanya menandatangani kertas itu. Ia menulis jelek sekali: Abdallah. Saya hampir tidak bisa membacanya, dan tidak mengerti makna nama ini, sampai pers menulis: Mansouri kemungkinan besar adik "Alex-Georges" Ibrahim Abdallah. Abdallah? Nama ini ketika itu belum berarti apa-apa bagi kebanyakan orang - juga saya - kecuali dinas rahasia, barangkali. Di Trieste, saya masih punya waktu tiga hari. Tanggal keberangkatan saya sudah tercantum di tiket pesawat. Saya tidak bisa mengubahnya - mengingat situasi keuangan saya juga tidak memungkinkan. Pada suatu sore, saya naik taksi menuju klub malam. Di tengah perjalanan, sopir memperingatkan, kami sedang dikuntit. Saya tidak memberikan komentar apa-apa. Ketika turun, saya memintanya menunggu. Saya menghabiskan waktu dua jam di klub malam, mencoba untuk tidak memikirkan apa-apa. Waktu saya keluar, taksi itu tak ada lagi. Saya menunggu beberapa menit. Tiba-tiba sebuah taksi nyelonong hampir menabrak saya. Saya rasa, intimidasi ini datangnya dari dinas rahasia Israel. "Alex" pernah memperingatkan saya akan bahaya yang bisa menimpa saya bila berada di luar negeri. Di Prancis, menurut dia, saya tidak akan menemui risiko yang terlalu besar karena saya terlindung oleh status saya sebagai pengacara. Minggu, saya kembali ke Paris. Saya dijemput oleh pacar saya. Ia mengaku sudah membuatkan janji pertemuan untuk saya dengan seseorang bernama David Besnard - yang katanya sangat mendesak ingin bertemu dengan saya. Saya sendiri sudah punya rencana lain, di samping menerima kedatangan "Alex", tentunya. Yaitu ke Palais de Justice untuk menceritakan kegiatan saya selama seminggu di Italia kepada hakim yang sudah menjadi orang kepercayaan saya. Hakim itu mendengarkan cerita saya tanpa komentar - juga masih tanpa mengambil catatan. Saya agak jengkel juga atas sikapnya itu. Ia tidak mengusulkan apa-apa. Ia juga tidak merencanakan pertemuan berikutnya. Pulang dari Palais de Justice, saya kembali bekerja di kantor, menunggu orang yang bernama Besnard, yang katanya akan datang pada pukul 18.00. Ia datang tepat pada waktunya. Saya mempersilakannya masuk. "Bapak Pengacara, bisa kita memulai pembicaraan ?" Saya tersenyum. Kata-katanya mirip seperti yang diucapkan "Alex" dua tahun silam. "Saya langsung saja ke pokok persoalan," katanya. "Saya mewakili Dinas Rahasia Prancis. Kami tahu, Anda baru kembali dari Trieste. Dan kami juga tahu, dengan siapa Anda bertemu di sana. Saya bisa merinci kegiatan Anda dari jam ke jam. Anda mau bekerja sama dengan kami?" Saya telanjur basah, lebih baik mandi sekalian. Kepadanya saya ceritakan segala-galanya. Ia mendengarkan dengan saksama, banyak mencatat, mengajukan pertanyaan, dan memberikan komentar. "Informasi Anda sangat eksklusif," katanya. Di tengah pembicaraan, tiba-tiba telepon saya berdering. Ini pasti "Alex". Benar saja. "Halo, Anda sudah kembali? Anda sudah masuk kerja? Bisa saya datang?" Tidak saya duga, ia bisa menelepon secepat ini. Waktu di Trieste, ia pernah mengontak saya di hotel. Dan ia sudah tahu keadaan si Anak Singa. "Tidak! Jangan datang hari ini. Saya ada tamu. Besok saja," kata saya agak gugup. Dengan gemetar, saya meletakkan gagang telepon. Dua kubu yang berlawanan kini berada di depan saya. Kantor saya kini seperti panggung sandiwara tertutup . Besnard berjanji akan datang lagi esok hari dengan catatan, tanpa menelepon terlebih dahulu. Saya berkeringat dingin kalau mengingat kejadian ini. Saya tidak tahu sama sekali identitas si agen rahasia itu - yang saya yakin menggunakan nama samaran. Ia mengaku nama kecilnya "Damien". Ini juga pasti bukan nama sebenarnya. Saya melewatkan malam dengan perasaan tak keruan. Keesokan harinya, saya menemui hakim bekas mentor saya. Ia menerima saya dengan dingin. "Kamu orang gila yang sembrono," katanya. "Siapa yang bilang orang itu bukan anggota FARL, teman "Alex"? Kamu bisa membuktikannya? Bagaimana kalau kamu dipanggang? Kamu sudah jatuh ke dalam jebakan. Bila orang itu besok datang lagi, tanyakan padanya bukti bahwa dia anggota Dinas Rahasia DGSF." Belum pernah saya mengalami kesedihan yang begini mendalam. Saya tenggak sebotol wiski. Kemudian saya mengeluh pada sekretaris saya, "Seseorang akan membunuh saya ... seseorang akan membunuh saya ...." "Alex" ternyata tidak muncul. Sore hari, Besnard menelepon saya, dan kami berjanji bertemu di sebuah kafe. Seperti anak kecil, saya menceritakan pertemuan saya kemarin dengan sang hakim. Kemudian saya diam. Ia berusaha menenangkan saya, dan membujuk saya. Namun, bagaimana saya bisa yakin kalau ia benar-benar dari Piscine (julukan yang biasa diberikan pada anggota DGSE)? Tak ada kartu identitas padanya. Juga tak ada badge. Kami berjanji bertemu lagi esok hari. Keesokan harinya "Alex" muncul. Dengan berkelakar, ia menyatakan kebanggaannya atas kegesitan "pengacara militan"-nya yang baru. Ia menyelidiki dengan saksama tanda tangan Mansouri. Ia tampak agak terkejut menemukan kata "Abdallah". Ia kemudian meminta saya menceritakan perjalanan saya di Italia. Saya menceritakan juga insiden motor dan taksi. Ia tertawa. "Kamu tahu, sekarang kamu harus bertemu dengan Oriach di penjara," katanya dengan wajah yang tiba-tiba serius. "Bersama para kamerad, kami sudah mempertimbangkan sebuah operasi terpencar yang tidak pernah dibayangkan orang - paling tidak oleh negara-negara Barat. Operasi ini pernah dilakukan sekali dengan sukses. Sekarang kami ingin membebaskan si Anak Singa dan Oriach serta sejumlah kamerad lain." "Alex" kemudian menyebutkan sejumlah nama Italia, Jerman, dan militan Jepang yang dipenjarakan karena melakukan pembunuhan di bandara Lod, Israel. "Negara-negara yang berkepentingan tidak akan menerima tuntutan kami, dan kami sudah tahu itu. Namun, kami juga akan menolak segala macam bentuk kompromi. Kamerad kami harus dibebaskan serentak. Bila negara-negara tersebut menolak, kami sudah mempersiapkan operasi kedua yang lebih menentukan." Penjelasan itu saya rasa sudah jelas, dan saya tidak mau mengambil risiko untuk menanyakan lagi ketepatannya. Saya tahu, Oriach dihukum 5 tahun penjara karena mengaku melakukan sejumlah teror atas nama Action Directe, yang sejak 1982 mendukung FARL. * * * Satu jam setelah "Alex" pergi, "Damien" datang ke kantor saya. Ia duduk di kursi yang barusan diduduki "Alex". Saya cemas. Soalnya, "Alex" pernah bilang, setiap kali ia berkunjung, para kameradnya selalu mengawasi daerah di sekitar kantor saya. Kali ini saya minta jaminan "Damien". Ia kemudian memberikan nomor telepon sentral Piscine, lengkap dengan nomor ekstensionnya, yang sesungguhnya sangat rahasia. Begitu ia pergi, saya mencoba menelepon. Dari seberang terdengar jawaban dari pita rekaman diiringi lagu Le Sud karya Nina Ferrer. Tentu saja, saya menelepon "Damien" bukan untuk mendengarkan musik itu. Saya ingin menceritakan ihwal operasi yang pernah dikemukakan "Alex". Menurut "Alex", operasi ini tidak akan dilakukan di Prancis - kendati itu hubungannya erat dengan Prancis, dan masalah pembebasan Oriach. Tapi kami menemui jalan buntu, sama sekali tidak tahu, bentuk operasi yang direncanakan "Alex". Dengan meledakkan pesawat terbang? Dengan mengirim prajurit kamikaze ke markas pasukan internasional di Libanon? Atau menyandera salah seorang diplomat negara-negara yang dimaksud? Hubungan saya dengan Dinas Rahasia DGSE tidak hanya dengan "Damien". Saya berhubungan dengan dia kira-kira cuma tiga minggu. Setelah itu, ia menyerahkan tugasnya kepada rekannya, "Antoine". Belakangan, ia kemudian juga digantikan oleh "Christian". Itu semua memang nama samaran. Nama samaran saya sendiri "Simon". Agen-agen ini meminta saya "berusaha" - sebuah kata yang sangat tidak saya sukai, yang juga sering digunakan oleh "Alex" - mendapatkan keterangan sedetail mungkin mengenai operasi tersebut. Ketika saya bertemu dengan "Alex", ia menyebutkan tanggal 15 Oktober. Tapi saya rasa, ia cuma asal sebut agar saya tidak banyak bertanya lagi. Namun, karena itu satu-satunya data yang saya peroleh, saya menganggapnya serius juga. Demikian pula Dinas Rahasia, mereka pun bersiap-siap menghadapi hari yang telah ditetapkan itu. Dalam operasi ini, "Alex" sama sekali tidak melibat saya. Malah ia bertambah hati-hati. Pertemuan kami tidak lagi dilakukan di kantor saya. Saya harus mendatanginya ke kabin telepon setelah lima menit ia mengontak saya. Kemudian, saya membuntutinya dalam jarak lima meter, sampai ke sebuah kafe, tak jauh dari kantor saya. "Alex" meyakinkan saya, kelompoknya sudah memiliki "peralatan strategis", yaitu senjata-senjata yang cukup canggih yang disimpannya di sebuah kopor di tempat tersembunyi. Tapi ia menandaskan, senjata itu tidak akan dipakainya dalam operasi 15 Oktober 1984, melainkan untuk aksi berikutnya yang dua kali lebih hebat. "Alex" tentu saja tidak semudah itu menceritakan perihal sen jata kepada saya. Sebelumnya, ia meminta saya menceritakan masa lalu saya. "Saya dan temanteman sadar, selama ini kami sama sekali tidak tahu siapa Anda yang sebenarnya. Memang, saya sudah sering berdiskusi dengan Anda. Tapi saya tidak tahu masa lalu Anda. Saya ingin Anda menceritakannya," pintanya. Saya merasakan permintaan ini sebagai suatu usaha membongkar kebohongan saya. Kali ini, saya memainkan peranan yang paling menentukan. Untuk meyakinkannya, mula-mula saya mengungkit masalah kesediaan saya untuk tutup mulut sejak 1982. Kemudian, saya bercerita tentang keluarga saya dengan cara agak nakal, saya ungkapkan kehidupan pribadi saya, dan pekerjaan saya. Setelah itu, saya menyebut-nyebut soal Oriach, Hamami, dan perjalanan ke Trieste, yang merupakan misinya yang saya jalankan dengan baik. Selama seminggu, saya gelisah. Untuk pertama kalinya, "Alex" ingkar janji. Ia tidak pernah datang lagi ke kantor saya. Dan pada minggu yang di janjikannya, yang di katakannya merupakan deadline operasi, segalanya berlalu begitu saja. Sementara itu, sehari sebelum 15 Oktober, dinas rahasia sudah bersiap-siap. "Antoine" sudah memobilisasikan anak buahnya. Hari itu, 15 Oktober, saya lewati di kantor dengan memandangi jam dinding. Saya hidupkan radio untuk mendengarkan berita. Tapi tak ada kejadian apa-apa. Apakah "Alex" berbohong? Di mana dia sekarang? Piscine pasti juga akan bilang saya tukang bohong ! "Alex" tidak juga muncul, sementara Oktober hampir berlalu. Kesalahan apa yang telah saya lakukan? Ketidakhati-hatian macam apa yang telah saya perbuat, sehingga ia kabur? Bagaimana saya menyambung kembali hubungan yang sudah putus ini? Sehabis makan siang, 28 Oktober 1984 saya menerima sepucuk surat tercatat dari Lyon. Seorang hakim kriminal memberi tahu bahwa seseorang bernama Saadi Abdelkader telah ditahannya. Dan orang ini menunjuk saya sebagai pembelanya. Saya benar-benar tidak habis mengerti. Saya langsung menelepon pengacara yang bertugas tetap di Palais de Justice de Lyon, yang untuk sementara mengurusi kepentingan "klien" saya itu. Saya memintanya mendeskripsikan Saadi Abdelkader." jadi dia berjenggot ...?" tanya saya akhirnya. Dia "Alex" - tak salah lagi. Apa yang dilakukannya di Lyon? Ia ditangkap karena memiliki paspor palsu Aljazair atas nama Saadi Abdelkader, di samping paspor palsu Malta, dan uang tunai US$ 20.000. Kabar ini segera saya beri tahukan kepada Dinas Rahasia. Mereka kaget bercampur gembira. Mereka juga meminta saya agar membelanya. Saya segera mengambil kereta api supercepat ke Lyon. Saya menemui "Alex" di ruang tamu penjara Saint-Paul. Ia menceritakan bagaimana sampai tertangkap dengan cara yang sangat memalukan. Pada suatu hari, ketika ia sedang pergi untuk membayar sewa apartemennya, yang dijadikan tempat persembunyiannya di Lyon, ia merasa dibuntuti Mossad lamasuk ke kantor polisi minta perlindungan. Sialnya, ia dilayani oleh polisi anggota SDT (Direction de la Securite du Territoire). "Alex" menyesali dirinya karena kurang hati-hati. Mungkin, DST tahu tentang "Alex", yaitu dari agen lain, yang mencoba mengintimidasi saya di Italia (melalui kasus sepeda motor, dan taksi itu). Pada 29 Oktober 1984, ketika saya ke penjara lagi, "Alex" meminta saya menghubungi teman-temannya. "Kamu harus telepon secepat mungkin ke nomor ini untuk memberitahukan kepada kamerad saya tentang penangkapan ini. Mereka tahu apa yang harus dilakukan." Keluar dari penjara, saya baru menyadari, itu nomor telepon Italia. Saya langsung menelepon "Antoine", yang kemudian menyuruh saya menunggu perintah dari atasan begitu saya kembali ke kantor. "Antoine" menjemput saya di Gare de Lyon, Paris. Ia memerintahkan saya, seperti biasa, menuruti saja kemauan "Alex". Selama ini pihak Dinas Rahasia tidak pernah memasang alat sadap di kantor saya, juga alat perekam di telepon. Ini semua untuk menghilangkan kecurigaan "Alex". Bahkan, mereka pun tidak pernah mencuri foto-foto kami berdua. Tapi kali ini, "Antoine' datang membawa dua teknikus, untuk merekam pembicaraan saya dngan kamerad "Alex" di Italia. "Pronto?" terdengar suara di seberang sana. "Selamat pagi. Anda bisa bicara dalam bahasa Prancis?" tanya saya. Dan wanita itu setuju. "Saya Mazurier, pengacara "Alex" di Paris. Ia meminta saya memberi tahu Anda tentang penangkapan yang terjadi atas dirinya di Lyon, lima hari lalu. Ia meminta Anda mengambil tindakan yang diperlukan." Saya diam sebentar, agar wanita tersebut bisa mencerna kata-kata saya. Tapi ia diam saja, dan cuma bilang, "Merci" dengan nada datar - seakan-akan ia sama sekali tidak terkejut dengan berita saya ini. Saya menoleh ke "Antoine". Apa yang harus saya lakukan? Ia kemudian menjelaskan, nomor telepon tersebut sudah dilacak yang ternyata nomor telepon sebuah apartemen di Ostie, yang terletak di pantai Roma. Tapi Dinas Rahasia tidak mau sembrono menyerbu ke sana untuk menghindari kelompok tersebut bersiaga penuh, sehingga bisa mengancam keselamatan saya. Strategi Dinas Rahasai tetap: "tempel" terus si "Alex" karena mereka yakin dialah kepala FARL. Dua hari kemudian, 31 Oktober 1984, telepon di kantor saya berdering. "Bonjour," sapa suara dari seberang, yang saya kenali sebagai "Nathalie" pacar "Alex", yang dua hari lalu menjawab telepon saya dengan "Merci" saja. "Anda besok harus ke Roma. Ambil pesawat yang tiba di sini tengah hari. Pertemuan diadakan di kantor pos bandara. Sandinya, Anda minta prangko dalam bahasa Prancis, dan minta maaf karena Anda tidak bisa berbahasa Italia. Saya ada di sana," kata "Nathalie". Perintah ini saya laporkan kepada Piscine. 1 November 1984, saya tiba di bandara Fiumicino tepat pada waktu yang dijanjikan. Saya langsung ke kantor pos. Saya masuk ke ruangan yang agak kecil dan sepi. Seorang wanita masuk tanpa melihat saya. Ia bertubuh kecil, agak gemuk dan mengenakan celana panjang. Ini merupakan misi saya yang pertama di luar Prancis. Saya agak gugup. Apa jadinya kalau kami berdua dimata-matai, kemudian ditangkap? Ketika saya minta prangko dalam bahasa Prancis, wanita itu mendekati saya. "Agaknya Anda tidak berbahasa Italia. Bisa saya bantu?" "Oh, terima kasih, Madame. Anda baik sekali. Saya ingin prangko untuk kartu pos," jawab saya dengan nada yang saya usahakan normal, sementara tenggorokan terasa terkancing. Tanpa menoleh kepada saya, "Nathalie" menerjemahkan permintaan saya itu ke dalam bahasa Italia, yang agaknya cukup sempurna. Pada saat yang sama, dengan hati-hati sekali, ia menyelipkan sepotong karcis bis ke tangan saya. "Saya tunggu Anda di dalam bi biru di depan bandara," katanya pelan dalam bahasa Prancis. Dengan cepat ia menghilang. Setelah mendapatkan prangko, saya segera keluar. Saya mencari bis biru yang dimaksud. Tapi yang mana? Di situ ada beberapa bis biru dengan jurusan berbeda. Saya agak panik. Saya mencoba mengamati orang di sekitar, juga yang berada di dalam bandara. Tiba-tiba dari kejauhan, saya melihat "Nathalie" berjalan menuju ke sebuah bis. Saya mengikutinya, naik ke bis yang menuju Stazione, Roma. Bis ini penuh sekali, tapi ia sudah mencadangkan sebuah tempat untuk saya. "Nathalie" berambut hitam, bermata kelabu. Rahangnya agak kukuh, mulutnya seperti pernah dioperasi. Beberapa hari kemudian, Dinas Rahasia memperlihatkan foto yang mirip dengannya: Jacqueline Esber. Ia seorang militan FARL yang paling dicari polisi. Ia dituduh membunuh seorang diplomat Israel, Yacov Barismantov, di kediamannya di Paris, 3 April 1982. Di dalam bis, "Nathalie" segera meminta pesan tertulis "Alex", yang sudah saya sampaikan per telepon. Ia membacanya hati-hati sekali. Kemudian, ia menyatakan keheranannya, mengapa "Alex" tidak menulis sendiri pesannya itu. Saya jawab tidak tahu. "Nathalie" kemudian mengeluarkan US$- 1.000 dari tasnya. Wah, cewek ini pelit sekali. Harga tiket saya saja sudah lebih dari separuhnya. Tapi, ya, sudahlah. Toh, Piscine juga membiayai perjalanan ini. Di dalam bis, "Nathalie" diam saja. Ia kelihatan gelisah. Berkali-kali matanya menyapu para penumpang. Begitu bis tiba di stasiun sentral, ia segera berdiri, dan berpaling kepada saya. "Saya akan mengontak Anda lagi," katanya. Ia larut di keramaian. Pulang dari Roma, saya menengok "Alex" untuk menceritakan pertemuan saya dengan "Nathalie". Ia, kemudian meminta saya mendeskripsikan tampang "Nathalie" karena ia takut saya terjebak. Setelah yakin saya tidak salah alamat, ia mendiktekan lagi pesan-pesan untuk "Nathalie". Pada pertengahan November 1984, "Nathalie" menelepon saya lagi. "Anda ambil kereta api supercepat Paris-Jenewa. Saya tunggu Anda di stasiun. Tiba di Jenewa langit sudah gelap. Saya tak melihat "Nathalie". Saya cari di bufet, di ruang tunggu. Seperempat jam saya menanti, kemudian saya keluar dari stasiun, dan masuk lagi. Ternyata, ia ada di sana. Agaknya, ia menyembunyikan diri sambil mengamati saya, siapa tahu ada yang menguntit. "Nathalie" kali ini menyambut saya lebih hangat. Ia mengajak saya masuk ke kafe. Ia membaca pesan-pesan "Alex". Kami kemudian minum anggur. Ia menanyakan kesehatan "Alex", dan memberikan US$ 500 kepada saya. Dua puluh menit kemudian, kami meninggalkan kafe. Saya langsung balik ke Paris. Pada Jumat pagi, 23 November 1984, "Nathalie" menelepon saya lagi. Ia menyuruh saya mengambil pesawat menuju Belgrado. Di bandara, ia akan menunggu saya. Tapi kali ini, Piscine tidak mengizinkan saya pergi. "Terlalu berbahaya," kata mereka. Di negara Timur, saya tidak bisa ditemani atau dilindungi bila terjadi apa-apa. Pada jam seharusnya saya mendarat di Belgrado, "Nathalie" menelepon saya lagi. Ia terkejut karena saya masih di Paris. "Saya tidak punya uang yang cukup untuk perjalanan ini," alasan saya. Tapi ia memaksa, "Datanglah. Saya membutuhkan Anda. Saya sedang sakit. Saya harus masuk rumah sakit untuk dioperasi." Berita sakitnya "Nathalie" sebenarnya sudah diketahui Piscine dari Jenewa. Akhirnya, mereka mengizinkan saya ke sana. Keesokan harinya, saya sudah menjejakkan kaki di Belgrado. "Nathalie" menunggu saya di ruang kedatangan. Kami kemudian menuju kafetaria di lantai pertama. Setelah membaca pesan "Alex", ia berkata, "Sekarang Anda ambil kamar di Hotel Moscou di tengah kota. Seorang kamerad kami akan mengontak Anda. Kami men julukinya Blond. Ia akan memberikan keterangan lebih lanjut. Pesan ini Anda berikan padanya. Kalau kamerad ini tidak datang, saya sudah mem-booking pesawat untuk Anda terbang kembali ke Paris, besok pagi. Di Paris, si Blond akan menunggu Anda di kafe kantor Anda, pukul 21 .00." Seperti biasa saya sama sekali tidak bereaksi, tidak juga mengajukan pertanyaan. Sementara "Nathalie", seperti yang sudah-sudah, tidak menyebut-nyebut nama kecil "Alex", atau "Georges" sama sekali. Nama itu selalu diucapkannya dengan "Dia", "Nathalie" kemudian memberikan amplop berisi uang US$ 1.000. Tapi setelah saya hitung, ternyata kurang US$ 100. Di banquette bandara-, kami duduk bersebelah-sebelahan. Kami tidak memesan kopi seperti lazimnya. Sebelum ia pergi, sesobek kertas teleks diberikannya ke tangan saya. Isi teleks, pemberitahuan bahwa tempat duduk di pesawat telah disediakan. Tapi nama yang tertulis di situ 'Mazurien", bukan "Mazurier". Dari bandara, saya naik taksi menuju hotel, yang ternyata cukup mewah. Jam kira-kira menunjukkan pukul 18.00. Tak ada pekerjaan lain yang saya lakukan, kecuali menunggu si "Blond". Saya tidak keluar kamar, tidak juga makan. Saya menunggu sambil melawan kantuk dan lapar. Pukul 01.00 tengah malam saya keluar kamar menuju bar. Saya benar-benar sudah senewen. Saya minum wiski sambil mendengarkan musik, selama kira-kira satu jam. Saya naik lagi ke kamar. "Si Blond" tidak juga datang. Keesokan paginya saya kembali ke Paris. Pesawat yang di-booking "Nathalie" ternyata mampir dulu di Zurich, kira-kira empat jam. Saya memanfaatkan waktu menelepon Piscine. Saya menceritakan pertemuan yang gagal ini, dan pesan-pesan "Nathalie". Di Paris, saya menunggu si "Blond" dengan perasaan dongkol. Ia tidak juga menampakkan batang hidungnya, padahal saya telah tiga jam menunggu. Saya memberi tahu Piscine, yang segera memerintahkan menghubungi "Alex". Belakangan, "Alex" memberi tahu saya, si "Blond" ditangkap di Paris, dalam perjalanan menuju ke kantor saya. Ia kemudian disiksa dan dihabisi oleh Mossad. Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi mengadakan pertemuan dengan "Nathalie". Namun, saya masih suka meneleponnya dalam rangka tugas Piscine. Ketika itu, nama "Alex" mulai sering muncul di media massa. Di mata "Alex" dan kamerad-kameradnya, saya bekerja "normal" laiknya seorang militan. Bahkan mereka cemas akan keselamatan saya. Pada awal Desember, saya mencoba menguji "Alex" dengan menceritakan bahwa ada seseorang yang mengikuti saya terus-menerus. Ia menyarankan agar saya minta visa ke Libanon. Ia meyakinkan saya, bahwa kamerad militannya di sana akan menjamin hidupnya. Bahkan kalau mau, saya juga bisa bekerja, misalnya di konsulat Prancis. Selama kerja saya bolak-balik Paris-Lyon di bulan November itu, "Alex" selalu mendiktekan pesanpesannya dengan kalimat yang imajinatif tapi cerdas. Misalnya, ia memakai kalimat "kunci harta karun" yang mungkin maksudnya sebagai "dana atau senjata". Ada lagi kalimat "mata burung merpati" yangtidak saya pahami maknanya. Selain itu, ada kalimat yang berbau politik, seperti "kita tidak bisa kompromi dengan binatang besar, atau yang lebih kecil yang menguasai Mekah". Saya menyimpulkan "binatang besar" itu sebagai Syria. Sementara "pemegang minyak Mekah" itulah Iran - dalam hal ini Arab Saudi tentunya tidak kena, karena negeri ini tak bersangku paut dengan terorisme. Dari Lyon saya selalu pulang sore, kemudian menunggu telepon "Nathalie", menyampaikan pes an "Alex" kepadanya, atau menerima pesan darinya. Piscine dengan cepat menerjemahkan pesan-pesan itu. Bila mereka sedang mencoba memecahkan sandi-sandi itu, orang-orang Dinas Rahasia itu seperti anak-anak sedang bermain kata-kata. Saya sendiri tidak mengerti apa-apa karena mereka tidak menceritakan isi pesan itu. Ini untuk mencegah agar tingkah laku saya, baik di hadapan "Alex" maupun "Nathalie", tetap wajar. Pada suatu hari, "Alex" menanyakan kepada saya apakah saya mengerti salah sebuah kalimat yang hendak disampaikannya itu. Saya mencoba menafsirkannya, dan ia tertawa puas. "Terjemahan Anda logis. Itu bagus. Kalau kantor Anda disadap, itu tidak apa-apa karena mereka akan mengambil analisa yang sama seperti Anda - dan mereka akan keliru." Pada suatu hari, sekretaris saya masuk ke dalam kamar kerja saya secara mendadak. Ia melirik ke meja tulis saya. Di situ ada pesan-pesan "Alex" yang harus saya sampaikan. Sambil tersenyum, ia memberikan komentar, "Wah... hebat, ya, kamu, sekarang sudah mulai menulis puisi." Saya kini tak lagi ingat pesan-pesan"Alex" dan " Nathalie". Saya tak menyimpan bukti-bukti tertulis. Semua itu untuk mencegah, siapa tahu suatu hari saya digerebek, saya dituduh berkomplot dengan teroris. Saya tidak pernah bisa melupakan, ternyata antara Dinas Rahasia DSGE dan pihak kepolisian DST itu, sikap mereka sangat berbeda. (Jean-Paui Mazurier akhirnya memang ditahan oleh DST, tak peduli ia telah membantu Dinas Rahasia, mencoba menjebak Abdallah dan komplotannya. S. Adi Guna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus