TANGGAL 11 Februari 1987, Bank Dunia memberikan kepada pemerintah Indonesia pinjaman US$ 300 juta, yang dinamakan trade policy adjvstment loan. Sesuai dengan namanya, pinjaman ini dimaksudkan untuk membantu pemerintah melaksanakan penyesuaian, yaitu melalui perombakan (reform) di bidang perdagangan. Dalam kaitan ini Bank Dunia akan memonitor tidak hanya kemajuan di dunia perdagangan, tetapi juga pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan. Di waktu lalu, pinjaman serupa - tetapi yang sifatnya lebih umum - telah diberikan Bank Dunia kepada Filipina, misalnya, dan dinamakan SAL atau structural adjustment loan. Pinjaman itu sangat tidak populer - terutama di kalangan para sarjana berhaluan kiri, dan ditentang khususnya atas alasan ideologis. Sebabnya: SAL dilihat sebagai cara pihak luar campur tangan dan memaksa Filipina melakukan liberalisasi ekonomi. Di dalam negeri Filipina usaha liberalisasi itu juga ditentang kalangan industrialisnya, yang selama itu dapat memupuk keuntungan di belakang tembok perlindungan yang tinggi. Dengan catatan itu, bagaimana kita di Indonesia seharusnya menanggapi trade policy adjustment loan ini? Sebaiknya memang tidak secara ideologis. Sebab, memang ada alasan obyektif yang sangat kuat bagi pemerintah untuk melaksanakan penyesuaian ekonomi di berbagai bidang, bukan hanya di bidang perdagangan. Tampaknya, masalah pokok yang dihadapi ekonomi kita dewasa ini adalah masalah penyesuaian itu. Yang perlu dipikirkan tak lain cara kita dapat melalui proses penyesuaian ekonomi ini secara baik. Penyesuaian terhadap penerimaan dari migas yang lebih rendah bukan semata-mata soal penghematan penggunaan devisa, tetapi merupakan masalah yang jauh lebih fundamental. Sektor negara yang telah telanjur meningkatkan perannya di bidang ekonomi - selain di bidangbidang kehidupan lain - berkat melonjaknya penerimaan dari minyak di waktu lalu memang tidak mudah melakukan penyesuaian terhadap kenyataan baru yang dihadapinya. Ini mungkin bisa dinamakan "penyakit Nigeria". Selain karena ketegaran-ketegaran struktural, yang antara lain disebabkan pemerintah hampir tidak mungkin mengurangi jumlah pegawainya, masyarakat sendiri umumnya menganggap peranan besar pemerintah itu sejalan dengan dan mendapatkan pembenaran dalam UUD 1945. Tambahan lain: setiap tindakan yang menjurus pada mengurangnya peranan pemerintah - walaupun tidak jelas, mengapa pemerintah sebenarnya telah terlibat atau perlu melakukan campur tangan dalam suatu bidang - selalu ditafsirkan sebagai tindakan ke arah liberalisasi. Tidak pernah terpikir bahwa tindakan itu mungkin lebih bersifat normalisasi dari keadaan yang etatis. De-etatisme tidak dikenal. Celakanya lagi, liberalisasi - yang selalu dianggap dijiwai liberalisme - telanjur dianggap kata jorok dan tindakan tidak terpuji. Mungkin di sinilah kita akan menjumpai sumber utama kesulitan, bahkan kegagalan, untuk melakukan penyesuaian ekonomi. Tentu saja di Indonesia - seperti di mana-mana - ada kelompok "vested interesf" yang akan menentang setiap kebijaksanaan penyesuaian yang merugikan kedudukan mereka. Di Filipina kala itu juga terjadi hal yang aneh atau lucu: "liberalisasi" - atau apa pun namanya secara serempak ditentang oleh dua kutub dalam masyarakatnya, yaitu kelompok ideologis kiri/ kuasinasionalis dan kelompok kapitalis-monopolis/oligarki yang berkuasa. Padahal, kelompok teknokrat Filipina, yang mengelola ekonomi, melihat liberalisasi sebagai cara terbaik untuk melemahkan dan mungkin malah menghancurkan oligarki, yang juga merupakan sasaran kelompok pertama di atas. DALAM masyarakat Indonesia tidak ter dapat penentangan setajam di Filipina. Tetapi penolakan terhadap usasha-usaha penyesuaian ekonomi itu juga -- datang dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan pemerintah sendiri. Bidang perdagangan telah menjadi sasaran utama tindakan-tindakan penyesuaian. Mungkin karena di bidang ini alasan sangat kuat dan gamblang: merosotnya penerimaan dari ekspor migas mengharuskan kita mengembangkan ekspor nonmigas, dan karenanya daya saing produk-produk kita harus ditingkatkan. Dimulai dengan kebijaksanaan 6 Mei, disusul oleh paket 25 Oktober dan kemudian kebijaksanaan 15 Januari 1987, sebenarnya kita telah memulai satu proses penyesuaian yang bukan tidak berarti. Adakalanya, suatu kebijaksanaan pemerintah harus dilihat terutama dari jiwanya dan bukan sekadar dari isinya. Kita dapat merasakan, misalnya, bahwa Paket 6 Mei merupakan hasil kompromi di kalangan pemerintah sendiri, dan karenanya kabur dalam pelaksanaan. Walaupun ada pendapat bahwa rangkaian kebijaksanaan itu lebih banyak bersifat kosmetik daripada substansial, mereka telah membuka jalan untuk dimulainya suatu proses penyesuaian yang masih akan sangat panjang dan mendalam. Penyesuaian di bidang perdagangan (luar negeri) saja tidak akan pernah memadai: sektor eksternal suatu ekonomi pada dasarnya cuma pencerminan (atau akibat) dari apa-apa yang terjadi dalam otonomi itu. Karenanya, trade policy adjustment loan itu sebenarnya tidak lain dari structural adjustment loan. Dan tidaklah aneh jika Bank Dunia akan memonitor pengelolaan makroekonomi kita dan bukan hanya pelaksanaan reform di bidang perdagangan. Saat ini mungkin masih terlalu dini untuk memberikan pernilaian terhadap hasil reform di bidangperdagangan. Devaluasi 12 September 1986, jika dilihat sebagai bagian dari reform itu, mungkin mempunyai pengaruh yang lebih segera terhadap peningkatan ekspor beberapa jenis produk seperti kayu lapis dan tekstil. Ada diperkirakan, nilai ekspor kedua jenis produk ini saja akan dapat meningkat dengan US$ 1 milyar sampai US$ 1,5 milyar. Jika memang demikian, maka tekanan terhadap neraca pembayaran akan mengurang. Terutama sejak merosotnya penerimaan dari ekspor minyak, neraca pembayaran memang merupakan pembatas (constraint) utama bagi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pengaruh ini sangat terasa sejak tahun anggaran 1983/84, saat transaksi yang berjalan dalam neraca pembayaran - yang mencatat arus masuk-keluar barang dan jasa - memburuk dan mencatat defisit US$ 4,2 milyar atau mendekati 6% dari PDB (produk domestik bruto). Keadaan itu ?un dicapai setelah pemerintah melakukan devaluasi pada bulan Maret 1983, menyusul anjloknya harga minyak dengan US$ 5 per barel. Waktu itu diperkirakan bahwa tanpa devaluasi, defisit neraca tra.,caksi berjalan itu akan mencapai US$ 8 milyar sampai US$ 10 milyar, melampaui 10% PDB. Tidak mengherankan mengapa pemerintah menerapkan kebijaksanaan deflasioner dengan memperketat suplai uang. Buku teks memang mengajarkan demikian tetapi yang kurang enak adalah akibatnya bagi perekonomian. Jumlah uang beredar selama Pelita III (dan sebelumnya) biasanya meningkat dengan 30%-40% rata-rata setahun. Tahun 1983 itu untuk pertama kalinya uang beredar hanya meningkat dengan 6%. Dengan memperhitungkan inflasi sekitar 11,5%, tahun itu, secara riil uang beredar - yang merupakan darahnya ekonomi mengalami kontraksi (penyusutan) 5,5%. Walaupun pertambahan jumlah uang beredar meningkat kembali, menjadi 13% pada 1984 dan 17% pada 1985, kebijaksanaan moneter yang ketat itu sebenarnya tetap dijalankan. Defisit transaksi berjalan dalam neraca pembayaran bisa ditekan sampai di bawah US$ 2 milyar untuk tahun anggaran 1984/85 dan 1985/86. Ini bukan prestasi kecil, dilihat dari suatu pengelolaan moneter. Ketidakpastian dalam pasar minyak internasional merupakan alasan utama mengapa otoritas moneter (Bank Indonesia) mempertahankan pola pengelolaan yang konservatif itu. Dilema pertama yang dihadapi ekonomi Indonesia adalah: setiap rangsangan terhadap ekonomi melalui kran kredit dikhawatirkan segera meningkatkan permintaan akan impor, atau bahkan akan menggalakkan spekulasi. Semua itu membawa pengaruh negatif yang langsung terhadap neraca pembayaran. Dilema kedua: justru di saat kondisi neraca pembayaran cenderung melemah - walaupun ditunjang cadangan devisa sampai enam bulan impor - pemerintah harus membatasi pinjaman luar negeri, karena profil kewajiban membayar cicilan dan bunga utang sedang membengkak kira-kira pada periode 1985-1988 ini. Ini berakibat, ekonomi Indonesia tidak mudah dirangsang tumbuh tanpa memperbunuk posisi eksternalnya, yaitu neraca pembayarannya. Tahun 1985, tingkat pertumbuhan PDB merosot menjadi 1,9% dan merosot lagi menjadi hanya 1,6% di tahun 1986. Bagi pemerintah keadaan ini merupakan ongkos yang harus dibayar untuk mempertahankan posisi eksternal yang terkendali atau manageable. Namun, kebijaksanaan tersebut ternyata juga tidak cukup untuk membendung pengaruh hancurnya harga minyak sekitar pertengahan 1986. Saat itu diperkirakan neraca transaksi berjalan kembali bisa mengalami defisit US$ 8- 10 milyar. Pemerintah rupanya tidak melihat jalan lain, kecuali mendevaluasi mata uang rupiah sebesar 31 % pada 12 September 1986 itu. Untuk tahun anggaran 1986/87 ini diperkirakan defisit transaksi berjalan bisa ditekan menjadi US$ 4,1 milyar. Adapun untuk tahun anggaran 1987/1988, pemerintah memperkirakan defisit transaksi berjalan dapat dipertahankan pada sekitar US$ 2,6 milyar. Pasar minyak internasional memang masih kurang menentu, tetapi tampaknya OPEC sesedikitnya telah dapat menciptakan mekanisme yang lebih sigap untuk segera dapat bereaksi terhadap guncangan harga. Guncangan harga tetap akan terjadi yang perlu diusahakan adalah agar tidak ada pihak yang melakukan reaksi yang berlebihan (over-reaction). Jika demikian, sangat mungkin pemerintah dapat mengelola neraca pembayaran dengan baik. Sayangnya, pengelolaan neraca pembayaran secara baik saja mungkin tidak cukup: dengan kebijaksanaan moneter yang ketat itu, pertumbuhan ekonomi akan tetap rendah di tahun 1987. Pada pembukaan tahun ini Prof. Sumitro Djojohadikusumo memberikan perkiraan pertumbuhan hanya 1,5%. Tapidinyatakannya, ekonomi Indonesia masih dapat mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi, sekitar 3%, bila pemerintah melanjutkan tindakan-tindakan penyesuaian - deregulasi dan upaya lain - untuk melonggarkan suasana yang sejauh ini sangat mencekik kegiatan dunia usaha. Prof. Sumitro memperkirakan, dengan jerih payah itu sektor industri nonmigas dapat mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi - 7%, bukan hanya 4% sektor bangunan dari hanya 1 % menjadi 3% sektor perdagangan dari 0,5% menjadi 3% begitu pula sektor jasa umumnya - 4%-6%, dibanding hanya 2%-3%. Pengaruh peningkatan pertumbuhan ini terhadap penyerapan tenaga kerja pasti akan sangat terasa. Bagaimanaprospek kesemuanya itu? Seperti terlihat dari APBN 1987/1988, sektor negara (pemerintah) masih mengalami kelumpuhan dan sukar diharapkan berperan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Skenario Prof. Sumitro secara implisit mengandung arti bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dilipatgandakan bila sektor swasta diberi peluang untuk lebih banyak berperan. Dapatkah sektor swasta memenuhi harapan itu? Gambaran saat ini mengenai perekonomian Indonesia memang masih penuh tanya. Namun, terlihat tanda-tanda, dalam dua bulan terakhir, sektor swasta mulai mengalami kebangkitan. Dapat diduga, memang, cepat atau lambat hal ini akan terjadi: bagaimanapun, sektor swasta harus melakukan penyesuaian untuk survive dan giat kembali. Perusahaan-perusahaan yang memang tidak sehat dan tidak bisa menyesuaikan diri mungkin sudah mati, dan memang harus begitu. Yang tersisa sekarang sebagian besarnya perusahaan yang tahan uji - atau yang bertahan dengan bantuan pemerintah. Umumnya dapat dikatakan, sektor swasta sebagai satu keseluruhan telah melakukan penyesuaian - kiranya lebih tanggap, memang, daripada sektor negara -- dengan membenahi diri, membuat orientasi baru (termasuk ke arah ekspor) dan mencari peluang baru di dalam pasar dalam negeri sendiri. Skala usaha menengah tampaknya berada dalam posisi terdepan - ia lebih luwes daripada perusahaan besar yang mempunyai overhead tinggi. Kemampuan sektor swasta untuk berperan sebagai penggerak ekonomi akan sangat bergantung pada ruang dan kesempatan yang diberikan. Dalam kaitan ini beberapa hal perlu ditinjau secara lebih mendalam. Pertama, perlu ada kesepakatan bahwa peranan yang lebih besar, yang diharapkan dari sektor swasta, bukanlah sesuatu yang temporer. Kedua, dalam jangka pendek dan menengah ini dalam kondisi moneter yang masih ketat - akan terjadi persaingan tajam antara sektor swasta dan sektor negara dalam memperoleh dana yang makin terbatas. Gejala crowding outsudah mulai tampak dari meningkatnya suku bunga perbankan saat ini. Sebab itu, perlu diputuskan berapa besar bagian yang akan "diberikan" kepada swasta dan berapa yang tetap akan "ditangani" pemerintah. Jika tidak, sangat mungkin sektor swasta yang sedang bangkit akan kembali terpukul, sedangkan sektor negara sendiri tidak akan banyak terbantu dengan penguasaan sumber-sumber ekonomi yang lebih besar. Dengan kondisi ekonomi dan prospek perkembangannya seperti yang tampak dewasa ini, sulit diharapkan pemerintah kembali dapat memainkan peranan dominan dalam menggerakkan ekonomi. Sejak tahun pertama Pelita IV (1984/1985), anggaran pembangunan mulai mengalami stagnasi dan meningkat dengan hanya 0,5%. Ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian secara keseluruhan seperti terlihat dari merosotnya pertumbuhan ekonomi sejak 1985. Pengaruh itu dapat dipahami bila diingat keseluruhan anggaran pemerintah yang meliputi sekitar 17% PDB, dan betapa besar peningkatan anggaran itu di waktu-waktu yang lalu. DI tahun pertama Pelita II (1974/1975), misalnya, anggaran pembangunan meningkat sebesar 212% di tahun pertama Pelita III (1979/1980) meningkat 157%. Sebaliknya, dalam tahun anggaran 1986/1987, anggaran pembangunan sesuai dengan angka APBN - mengalami penurunan 24%. Penurunan ini yang pertama terjadi sejak Pelita I dimulai. Demikian pula dalam APBN 1987/1988 pengeluaran pembangunan kembali menurun, dengan 6,5%. Secara riil penurunan ini mungkin berkisar pada 15%, atau bila dinyatakan dalam ekuivalen nilai dolarnya - hal yang tidak sepenuhnya beralasan untuk digunakan sebagai ukuran mencapai sekitar 36%. Jadi, walaupun tingkat pengeluaran total APBN 1987/1988 masih dapat naik dari Rp 21,4 trilyun menjadi Rp 22,8 trilyun, hal yang telah dimungkinkan oleh devaluasi, anggaran pemerintah sebenarnya sangat ketat. Di satu pihak dapat dianggap bahwa dengan penurunan nilai riil anggaran itu, pemerintah juga telah melakukan penyesuaian. Namun, di pihak lain dapat dikatakan, penyesuaian itu bersifat artifisial: memanfaatkan apa yang dikenal sebagai money illusion - peningkatan dalam kesan, bukan di dalam nilai yang riil. Dalam jangka menengah, walau neraca pembayaran akan menguat kembali - jika peningkatan ekspor nonmigas dapat digalakkan terus dan dapat mengompensasikan merosotnya ekspor migas secara struktural anggaran pemerintah tetap akan mengalami masalah. Satu dolar yang sama dalam penerimaan ekspor migas atau ekspor nonmigas tidak menghasilkan penerimaan yang sama bagi pemerintah sebab jenis ekspor pertama melibat royalty, sedangkan jenis kedua tidak. Tabungan pemerintah, yang merupakan kunci peranan pemerintah dalam pembangunan, telah menurun sebagai akibat menurunnya penerimaan pemerintah dari migas. Malah penurunan tabungan itu telah terjadi lebih cepat daripada penurunan penerimaan migas. Secara rata-rata, selama Pelita II tabungan pemerintah merupakan 73% penerimaan migas. Selama Pelita III persentase itu menjadi 63%, dan semakin menurun - sehingga dalam empat tahun Pelita IV ini menjadi rata-rata hanya 52%. Bahkan untuk APBN 1987/1988, tabungan pemerintah hanya merupakan 32% dari penerimaan migas - yang juga sudah makin menurun. Penerimaan migas untuk APBN 1987/1988 diperkirakan hanya mencapai 62% dari dua tahun sebelumnya. Perkembangan di atas tentu sangat tidak menyenangkan. Tetapi mungkin masih akan berlanjut, atau sedikitnya bertahan pada keadaan yang berlaku sekarang - bahwa tabungan pemerintah hanya sepertiga penerimaan migas. Berarti, dua pertiga penerimaan migas digunakan untuk pembiayaan pengeluaran rutin pemerintah. Secara struktural, itu merupakan akibat perkembangan di waktu lalu. Pelonjakan penerimaan uang minyak selama Pelita II dan Pelita III telah memungkinkan peningkatan luar biasa dalam operasi pemerintah. Selama Pelita I, rata-rata 83% pengeluaran rutin pemerintah masih dibiayai penerimaan nonmigas, yang bisa dianggap sebagai penerimaan yang normal. Dalam Pelita II persentase itu sudah menurun menjadi 75%, dan secara lebih tajam semakin menurun dalam Pelita III - menjadi hanya 57%. Dalam empat tahun Pelita IV ini, persentase itu meningkat kembali menjadi 64% - tetapi ini hanya dimungkinkan dengan mengorbankan anggaran pembangunan. Akibatnya, sekitar 72% pengeluaran pembangunan dalam APBN 1987/1988 ini harus dibiayai bantuan luar negeri. Keadaan ini membawa kita ke persoalan viability dari struktur anggaran pemerintah: dapatkah anggaran serupa itu beitahan atau dipertahankan. Tetapi viability itu juga mencakup peranan ekonomi pemerintah. Dalam perspektif yang lebih panjang timbul persoalan, karena - sebenarnya - tanpa uang minyak, pemerintah tidak mampu membiayai operasinya sendiri (anggaran rutin). Di pihak lain, keseluruhan uang minyak itu juga tidak cukup untuk membiayai anggaran pembangunan yang juga sudah semakin menciut (lihat Tabel 1). ============================================================ Tabel 1 RAPBN 1987/88 ============================================================ A.1. Anggaran rutin Rp 15.026,5 milyar A.2. Penerimaan nonmigasRp 10.297,5 milyar A.3. Penerimaan nonmigas Anggaran rutin migas 68,5 persen ============================================================ B.1. Anggaran pembangunanRp 7.756,6 milyar B.2. Penerimaan migas Rp 6.938,6 milyar B.3. Penerimaan migas Anggaran pembangunan 89,5 persen ============================================================= Tabel itu juga menunjukkan: untuk setiap Rp 1 anggaran pembangunan, biaya operasi pemerintah mencapai hampir Rp 2. Sementara itu, kita tahu, pos gaji pegawai dalam anggaran rutin itu sebenarnya terlampau kecil untuk membiayai jumlah pegawai negeri yang ada - sehingga kekurangannya harus dikompensasikan oleh uang proyek yang tercatat sebagai anggaran pembangunan, atau oleh uang pelicin yang dapat ditingkatkan dengan tambahan peraturan pemerintah. Bilagaji pegawai menjadi tiga kali lipat dari yang sekarang, maka penerimaan nonmigas hanya dapat membiayai 48% - kurang dari separuh - pengeluaran rutin pemerintah. Dari segi public finance, perekonomian Indonesia tampaknya tidak lagi bisa mengandalkan diri pada peranan pemerintah seperti sediakala. Sebaliknya, kita juga sukar membiarkan ekonomi Indonesia tumbuh hanya di bawah 2% per tahun - jadi lebih rendah daripada tingkat pertambahan penduduk untuk beberapa tahun berturut-turut. Perkembangan ini tidak hanya berakibat menurunnya pendapatan riil per kepala rata-rata penduduk - yang mungkin cuma angka statistik - tetapi juga berakibat terhadap penyediaan lapangan kerja. Sebagian besar tenaga kerja, dari perkiraan peningkatan sebanyak 1,6 juta orang per tahun, mungkin tetap akan bisa diserap sektor informal yang kini sudah diakui eksistensinya itu. Tetapi produktivitas di sektor ini sangat rendah, dan pasti akan semakin menurun dengan peningkatan jumlah orang yang diserap. Jika demikian, angka statistik itu benar-benar menggambarkan perkembangan yang terjadi. Bahkan mungkin penurunan pendapatan per kepala itu secara persentual lebih besar dirasakan oleh lapisan penduduk berpendapatan terendah. Dengan latar belakang seperti itu, patutkah kita mengelabui diri sendiri dengan berpegang pada semboyan-semboyan ideologis, dan tetap menolak mengambil sikap pragmatis yang jelas-jelas berorientasi pada kebutuhan riil rakyat banyak? Dalam kaitan ini mau tidak mau kita harus mengkonfrontasikan dengan tegas dikotomi masalah swasta-pemerintah yang terus-menerus menghantui kita. Masalah swastanisasi BUMN, misalnya, cuma persoalan kulit. Soal sebenarnya adalah bagaimana pemerintah dan swasta bisa bekerja sama era ketika pemerintah mendudukkan diri di sebelah lain, menghadapi swasta, seharusnya sudah berlalu. Perdebatan mengenai masalah BUMN itu sendiri mungkin juga luput dari intinya yang sebenarnya. Masalahnya bukan sekadar menjual sejumlah BUMN tertentu kepada swasta, apalagi yang merugi. Sebab, BUMN yang merugi pun mungkin harus tetap dipertahankan bila ia menjalankan suatu fungsi sosial atau fungsi publik. Soalnya, bagi pemerinth, adalah penetapan prioritas dan alokasi dana - dan secara nasional, pembagian kerja antara pemerintah dan swasta, sehingga sumber-sumber ekonomi nasional dapat dimanfaatkan secara optimal. Keterbatasan dana anggaran pemerintah juga tidak boleh mendorong pemerintah secara otomatis menggunakan dana yang ada di bank-bank pemerintah. Dana-dana yang diperoleh dengan harga relatif tinggi, melalui mobilisasi oleh sektor perbankan, sudah tentu tidak sesuai untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah yang berjangka panjang atau yang bersifat overhead sosial. Penggunaan demikian hanya akan memperlemah dunia perbankan, dengan dampak sangat luas bagi perkembangan perekonomian secara keseluruhan. Dalam jangka dekat ini, perkembangan begitu akan menciptakan situasi crowding ou atas danadana di masyarakat oleh pemerintah. Sektor swasta pasti tidak akan menang melawan pemerintah dalam usaha mendapatkan dana-dana tersebut. Jika, sebagai akibatnya, sektor swasta menjadi umpuh total, sukar dibayangkan bagaimana ekonomi Indonesia dapat dipulihkan dalam jangka menengah ini. Penyesuaian yang harus dilakukan pun akan menjadi semakin sulit - dan semakin mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini