SALAH satu topik yang tetap hangat dalam membicarakan hubungan Cina dengan negara-negara di Asia Tenggara adalah pertalian antara negara besar itu dan . partai-partai komunls pembangkang di kawasan ini. Sekarang pun, kendati Cina mencanangkan politik pintu "terbuka" dan sedang giat-giatnya melancarkan politik persahabatan dengan semua pihak, persoalan itu masih mengganjal bagi terciptanya hubungan normal antara Cina dan negara-negara di Asia Tenggara. Pangkalnya adalah ketidaksediaan Cina meninggalkan pertalian itu. Juga sikapnya terhadap masalah itu masih samar-samar. Misalnya saja ketika orang kuat Cina Deng Xiaoping berkunjung ke beberapa negara ASEAN, November 1978, ia memberikan keterangan samar-samar yang dapat didwiartikan. Ia mengatakan, persoalan tersebut merupakan masalah "historis" dan "internasional". Maka, soal itu tak dapat dipecahkan dalam waktu singkat. Cina percaya, kata Deng, hubungan antarpartai harus dipisahkan dan dibedakan dengan hubungan antarnegara. Karena itu, pertalian antarpartai tak boleh jadi penghalang terhadap hubungan antarnegara. Kemudian, Perdana Menteri Zhao Ziyang, yang melawat ke beberapa negara Asia Tenggara pada Agustus 1981, mengatakan pula bahwa RRC tak berniat campur tangan dalam masalah intem negara lain. Ia menambahkan bahwa pertalian antara RRC dan partai-partai komunis di Asia Tenggara lebih bersifat "politik dan moral" ketimbang organisatoris, karena itu merupakan sisa-sisa masa lalu. Di samping itu, ia berjanji akan berusaha sekuat tenaga agar masalah tersebut tidak menjadi halangan bagi terciptanya hubungan serasi antara RRC dan negara-negara Asia Tenggara. Penjelasan Deng dan Zhao bagi kita kurang meyakinkan. Soalnya, di semua negara komunis atau sosialis, penguasa tunggal adalah partai komunis. Berdasarkan hal-hal itu, saya akan melihat secara historis dan politis hubungan Cina dengan partai-partai komunis Asia Tenggara - yang akan saya bagi dalam dua bagian: periode Mao (19491976) dan periode pasca-Mao (sejak 1977). Mao adalah seorang revolusioner romantis yang selalu berpendapat bahwa ideologi adalah di atas segala-galanya. Begitu obsesifnya dia dengan keharusan itu, sering kali ia tak melihat pada faktor-faktor obyektif. Gerakan-gerakan massa, seperti Lompatan Jauh ke Muka, berbagai gerakan rektifikasi, dan Revolusi Kebudayaan, semuanya dikomandokan Mao demi terciptanya keseimbangan antara ideologi dan praktek. Kecendenungan semacam itu berpengaruh pula dalam memperlakukan hubungan antara Cina dan partai-partai komunis di luar Cina, terutama di Dunia Ketiga. Segera setelah RRC berdiri pada 1949, sebagai hasil "pembebasan Cina" dari dominasi imperialisme dan, apa yang mereka sebut, "kaum reaksioner Kuomintang", para pemimpin Cina berpendapat bahwa revolusi Cina masih belum selesai. Walau imperialisme Barat dan Kuomintang telah terusir dari Daratan Cina, negeri itu masih menghadapi tugas historis, yakni menyelesaikan perang saudara karena Taiwan belum dapat direbut. Di samping itu, ada lagi tugas besar lainnya, yakni melawan imperialisme di dunia internasional. Ketika RRC muncul sebagai kekuatan berdaulat, sudah sejak 1948 di Asia timbul pemberontakan komunis, seperti Peristiwa Madiun, pemberontakan di Burma, dan juga perlawanan di Malaya (kini: Malaysia). Sebagai negara komunis menjadi kewajiban sejarah bagi Cina mendukung gerakangerakan itu. Dalam situasi demikian itulah salah seorang pemimpin tertinggi RRC, Liu Shaoqi, ketika berbicara di muka Kongres Buruh Australia dan Asia, November 1949, menyatakan selamat atas ditempuhnya "jalan Mao" oleh partai-partai komunis tersebut. Yang disebut sebagai "jalan Mao" adalah strategi yang pernah dipraktekkan Partai Komunis Cina (PKC) dalam merebut kekuasaan dengan cara mengintegrasikan dua strategi dasar, yakni "front persatuan dari bawah" dan "front populer dari atas". Dalam praktek, strategi itu mengikuti apa yang disebut dengan "strategi tiga cara": pembentukan front persatuan anti-imperialis, yang terdiri dari berbagai kelas dan didasarkan atas aliansi antara buruh dan tani pimpinan front persatuan itu harus dipegang oleh seorang Marxis-Leninis, yang berdedikasi dan berdisiplin tinggi dan menggunakan taktik perjuangan bersenjata yang berlarut-larut (protracted armed struggle) dengan cara pembentukan tentara pembebasan rakyat. Resep menjalankan strategi itu dijelaskan Mao dalam tulisan Tentang Kediktatoran Demokrasi Rakyat. Menurut Mao, waktu kaum komunis bersekutu dengan elemen-elemen nonrevolusioner, mereka harus merebut pimpinan front dengan cara membentuk suatu kekuatan militer yang independen, dan mendirikan suatu otonomi politik di daerah-daerah basis yang telah dibebaskan dan dikuasai kaum komunis. Keadaan di tahun 1950-an ternyata tidak seperti yang diharapkan Cina. Pertama, ternyata bukan Cina yang menjadi pimpinan blok komunis, melainkan Uni Soviet. Kedua, di negara-negara yang baru merdeka ternyata bukan kaum komunis yang berkuasa, melainkan golongan nasionalis yang mereka golongkan ke dalam kelas borjuis dan rata-rata antikomunis. Hanya di Vietnam, kaum komunis berhasil berkuasa. Di negara-negara lain, seperti Indonesia, Burma, dan Malaya, kaum komunis terlempar dari kekuasaan. Dengan demikian, walaupun propaganda RRC masih tetap menyokong apa yang mereka namakan "perang pembebasan nasional", dukungan itu lebih bersifat selektif. Setelah 1955, dengan turut sertanya RRC dalam Konperensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, dukungan itu hanya disuarakan pada pemberontak-pemberontak komunis yang mengadakan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah-pemerintah yang pro-Amerika dan memusuhi Cina. Sejalan dengan tujuan itu, dukungan terhadap partai-partai komunis yang sedang memberontak merupakan bagian dari alat politik luar negeri Cina dalam melawan apa yang mereka sebut "imperialisme Amerika". Tak dapat disangkal lagi bahwa sejak 1949 RRC menghadapi politik pembendungan (containmentpolicy) yang dijalankan Amerika. Berdirinya basis-basis militer Amerika di sekeliling Cina, dan kemudian terbentuk berbagai pakta militer, seperti SEATO, CENTO, dan ANZUS, merupakan manifestasi politik pembendungan tersebut. Menurut Washington, Cina di Asia sama berbahayanya dengan Uni Soviet di Eropa. Karena itu, strategi yang digunakan untuk membendung Soviet di Eropa juga harus digunakan buat membendung Cina di Asia. Dalam menghadapi Amerika, Cina mengandalkan diri pada "senjata" yang dimiliki sendiri. Dengan demikian, mendukung apa yang mereka sebut "perang pembebasan nasional" di Dunia Ketiga melawan imperialisme merupakan kebijaksanaan dengan risiko kecil, tapi dengan daya besar. Cina berharap perang-perang lokal itu bisa memperlemah pengaruh dan kekuasaan imperialisme di Dunia Ketiga. Pendapat para pemimpin Cina seperti dilukiskan di atas sesuai dengan teori Mao sendiri mengenai "zone perantara" (zhongjian didal). Teori yang dikeluarkan Mao, tak lama sebelum Perang Dunia II selesai, mengetengahkan argumen bahwa dengan kalahnya kekuatan Axis, hanya ada dua kekuatan yang akan berhadapan di dunia, yakni kekuatan imperialisme yang dipimpin Amerika dan blok sosialis yang dipimpin Uni Soviet. Menurut Mao, perang antara kedua negara raksasa itu tak akan pecah, karena untuk menyerang Uni Soviet, Amerika mesti menaklukkan dulu serangkaian negara yang terletak di zone perantara, yang membatasi kedua kekuatan itu. Jadi, untuk mencegah perang, rakyat-rakyat di wilayah perantara mesti berjuang melawan usaha penaklukan yang akan dilakukan kaum imperialis itu. Di Asia Tenggara, dukungan Cina itu juga berfungsi sebagai "alat pemeras" (blackmail) agar berbagai pemerintah yang pro-Amerika dan memusuhi Cina, meninggalkan sikap yang merugikan Cina tersebut. Kalau negara itu sudah mengubah kebijaksanaannya dan tidak pro-Amerika lagi, atau setidak-tidaknya tak memihak dalam polarisasi Amerika-Cina di Asia, maka dukungan yang biasanya lebih bersifat propaganda tersebut akan mengendur atau hilang sama sekali. Ini ditunjang oleh kenyataan bahwa dalam menilai kawan atau lawan di negaranegara nonkomunis, hampir bisa dipastikan Beijing hanya melihat politik luar negeri negara-negara itu, dan bukan kepada sistem sosialnya, atau perlakuan pemerintah tersebut terhadap oposisi dalam negeri maupun bagaimana ia mendistribusikan kemakmuran kepada seluruh rakyatnya. Belakangan, konflik Cina-Soviet juga merupakan faktor yang mendorong dukungan Cina. Setelah Perang Dunia II berakhir dan blok sosialis di bawah pimpinan Uni Soviet terbentuk, hal itu berarti bahwa politik luar negeri semua anggota blok, termasuk Cina, harus mengikuti politik luar negeri Moskow. Dengan kata lain, politik luar negeri Cina mesti merupakan perluasan atau sebagian dari politik luar negeri Soviet. Pada pertengahan 1950-an mulai terjadi konflik ideologi Cina-Soviet. Dari masalah ideologi dan cara bagaimana menghadapi imperialisme Amerika, pertengkaran itu kemudian berkembang sampai pada rivalitas antara kedua raksasa komunis itu mempengaruhi partai-partai lain, terutama di Dunia Ketiga. Dengan demikian, dukungan Cina kepada partai-partai pembangkang lokal merupakan lambang independensi Cina dari pendiktean Uni Soviet. Jalan ini kelihatannya cukup efektif, terbukti dengan adanya serangkaian serangan dari Moskow pada pertengahan 1960-an yang menuduh bahwa dukungan RRC terhadap para pemberontak komunis itu lebih bersifat nasionalistis - artinya, hanya demi kepentingan nasional Cina sendiri - ketimbang tujuan komunis. Dukungan RRC kepada pemberontak komunis mencapai titik kulminasi pada periode 1966-1969. Itu terjadi karena di Cina sedang berlangsung Revolusi Kebudayaan. Pada pokoknya, baik politik domestik maupun internasional Cina pada periode itu sedang dalam suasana kekiri-kirian dan radikal. Dengan demikian, dukungan dan anjuran kepada partaipartai komunis di Asia Tenggara untuk memperhebat perlawanan terhadap pemerintah-pemerintah "reaksioner" dan menempuh "jalan Mao" telah menjadi topik paling dominan dalam propaganda Cina. Tendensi itu dimulai dengan terbitnya karya Marsekal Lin Biao, Hidup Perang Rakyat (Renmin Zhanzheng Wansui) pada September 1965. Pada dasarnya, karya itu merupakan khotbah Lin tentang bagaimana PKC berhasil mengalahkan penjajahan Jepang dan dominasi Kuomintang dengan menggunakan strategi "desa mengepung kota". Stategi itu, yang dilengkapi dengan prinsip berdikari (zili gengsheng), harus diikuti partai-partai komunis lain, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Diperkenalkannya Empat Modernisasi oleh Zhou Enlai pada 1975, dan kembalinya Deng Xiaoping ke dalam pimpinan partai serta kenegaraan, telah membawa suasana baru pada politik luar dan dalam negeri RRC. Dibabatnya elemen-elemen radikal, sesudah Mao meninggal pada 1976, telah memberi jalan kepada Deng buat memperkenalkan kebijaksanaan baru. Proses deradikalisasi itu mencapai titik tertinggi ketika Deng berhasil memperkuat diri dan berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya setelah tahun 1979. Itu disusul dengan diperkenalkannya dengan politik luar negeri yang "bebas dan terbuka". Dalam proses itu Cina mulai membuka diri dan "menormalisasikan" hubungan dengan beberapa negara Asia Tenggara. Saat ini, hanya Indonesia dan Singapura yang belum mengadakan hubungan diplomatik resmi dengan RRC. Walau hubungan antarpemerintah telah tercipta, propaganda dukungan Cina terhadap partai-partai lokal masih tetap ada, meski sudah jauh berkurang dibandingkan dengan masa Revolusi Kebudayaan. Hal inilah yang menjadi ganjalan bagi beberapa negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia. Jawaban para pemimpin Cina atas keluhan negara-negara Asia Tenggara tak jelas. Sekali lagi, pemimpin Cina masih bertitik tolak pada pemisahan hubungan antarpartai dan hubungan antarpemerintah. Jawaban itu tentu saja tak memuaskan para pemimpin Asia Tenggara, karena di negara-negara komunis dan sosialis, partai sinonim dengan pemerintah. Mereka menuduh Cina telah menjalankan politik bermuka dua atau bermoralitas ganda. Tuduhan demikian tentu saja mengena, dan telah membuat Cina berada dalam posisi defensif. Keadaan inilah yang membuat istilah "diplomasi jalan ganda" (dual track diplomacy) muncul, dan istilah itu sering diucapkan para pemimpin Cina dalam referensi mereka terhadap hubungan RRC dengan partai-partai komunis lokal. Ada apa di balik kebijaksanaan RRC itu? Patut diingat, secara historis, partai-partai komunis Asia Tenggara dalam masa-masa pertumbuhannya erat sekali hubungannya dengan perkembangan komunisme di Cina. Gerakan komunisme di Malaya dan Vietnam, misalnya, malah bisa dikatakan sebagai perluasan komunisme dan Partai Komunis Cina. Jadi, bisa dikatakan perkembangan komunisme di Asia Tenggara dan di Cina punya hubungan erat. Dengan demikian, sangat sukar bagi Cina untuk secara tiba-tiba memutuskan pertalian historis itu. Pada zaman Mao, dukungan itu tak menempatkan Cina dalam posisi sulit. Sebab, keadaan dunia internasional dewasa itu sedang menyudutkan Cina. Hampir semua negara tetangga memusuhi Cina, dan turut ambil bagian dalam politik pembendungan yang diprakarsai Amerika. Dengan demikian, jalan yang ditempuh Cina, sampai pertengahan 1 970-an, adalah "diplomasi jalan tunggal" (single track diplomacy). Sejak 1976, dengan terjadinya perubahan drastis dalam politik domestik dan internasional, para pemimpin RRC mulai menyadari pentingnya mengubah kebijaksanaan mereka. Maka, sekarang, ketika sedang menjalankan politik "bersahabat dengan semua orang", Cina menghadapi dilema. Pada pengamatan saya, sekarang ini, kelihatan adanya penurunan drastis propaganda dukungan Cina terhadap partai-partai komunis lokal. Kini, misalnya, sudah jarang Harian Rakyat menulis berita tentang kemenangan Tentara Pembebasan Malava (Anakatan Berseniata Partai Komunis Malaya) atau ucapan selamat dari PKC kepada partai "serumpun" maupun sebaliknya pada hari-hari penting tertentu kedua pihak. Semua itu hanya merupakan tendensi dan tidak menunjukkan bahwa RRC tidak lagi menyokong atau telah memutuskan pertalian dengan partai-partai lokal. Dari situ bisa disimpulkan bahwa RRC hanya mengambil sikap low profile. Padahal, yang dituntut Indonesia dan Malaysia adalah suatu pernyataan terbuka bahwa mereka tak lagi menyokong partai-partai itu. Penolakan itu membuat negara-negara Asia Tenggara tetap curiga adanya maksud-maksud tersembunyi Cina. Mengapa RRC masih memelihara hubungan antarpartai dengan kaum komunis Asia Tenggara? Padahal, prinsip itu kontradiktif dengan kebijaksanaan RRC sekarang ini, yang menempatkan prioritas utama pada pembangunan ekonomi dan ketertiban hukum di dalam negeri, hubungan antarnegara, serta perdagangan secara internasional. Negaranegara Asia Tenggara menganggap hal itu sebagai indikasi bahwa Cina tak bisa dipercaya. Bagaimanapun kerasnya RRC berusaha memperbaiki citra, selama tendensi itu masih berlangsung, kecurigaan pun masih akan terus berlangsung. Kita hanya bisa mengira-ngira ada apa di belakang kecenderungan itu. Pertama, faktor Uni Soviet. Walau hubungan antara kedua raksasa komunis itu akhir-akhir ini bertambah baik, pertalian antara mereka tak akan semesra tahun 1950-an dulu. Meski kedua negara itu diperintah berdasarkan asas yang sama, yakni komunisme, pada dasarnya nasionalisme dan kepentingan nasional yang berbeda, lebih kuat ketimbang basis ideologi. Jadi, perbaikan hubungan Beijing-Moskow takkan secara otomatis mengubur konflik yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Di samping itu, Cina khawatir bahwa pemutusan hubungan dengan partai-partai komunis Asia Tenggara akan memberi ruang gerak pada Uni Soviet buat mengambil alih kepemimpinan. Konflik Cina-Vietnam akhir-akhir ini makin mengkhawatirkan Cina, karena pada persepsi Cina, Vietnam tak lain dari agen Rusia di Asia. "Vietnam adalah Kuba-nya Asia," demikian Deng pernah mengatakan. Hilangnya pengaruh Cina atas partai-partai lokal berarti hilangnya pengaruh Cina di wilayah selatan, yang secara tradisional selalu di bawah pengaruh Cina. Keengganan Cina untuk melepaskan dukungan ke.pada partai-partai komunis Asia Tenggara bisa dilihat dari perkembangan politik di Daratan Cina sejak 1949. Perhatikan: politik Cina, baik domestik maupun internasional, selalu berayun dari satu ekstrem ke ekstrem lain. Tahun-tahun pertama berdiri, RRC menganggap Amerika dengan sekutu-sekutunya sebagai musuh utama, karena itu mereka mengadakan aliansi dengan Uni Soviet. Sejak awal 1960-an, musuh-musuh Cina adalah Amerika dan Uni Soviet. Hanya ada dua periode pendek (yakni 1955-1957 dan sejak 1982), suatu kebijaksanaan "tengah" dianut. Melihat masa lalu itu, bisa dikira-kira bahwa apa yang sedang terjadi sekarang merupakan gejala sementara. Walau untuk kembalinya suatu politik yang kekiri-kirian dewasa ini kelihatan jauh kemungkinannya, kalau tak bisa dikatakan tak mungkin, potensinya masih tetap hadir. Hubungan antarpartai biasanya lebih menonjol apabila suasana politik kiri-radikal sedang berlangsung . Keengganan Cina secara resmi memutuskan hubungan antarpartai bisa dihubungkan dengan silih bergantinya kecenderungan kebijaksanaan kiriradikal dengan moderat-institusional, yang merupakan ciri utama politik di Cina. Dipertahankannya dukungan Cina, yang berarti memelihara status quo, akan menguntungkan mereka memperbaiki hubungan bila nanti terjadi perubahan politik yang menjurus ke kiri atau radikal. Selain itu, kita juga mesti mempertimbangkan ideologi. Kebijaksanaan apa pun yang akan dianut penguasa di Beijing, ideologi komunis akan tetap menjadi sumber motivasi rezim. Paham internasionalisme yang menolak batas-batas kebangsaan, etnis, dan rasial merupakan tiang utama komunisme. Dengan meninggalkan dukungan terhadap kaum komunis lokal, Cina bisa berada di suatu posisi lemah untuk dituduh bahwa ia telah mencampakkan salah satu prinsip utama komunisme. Jadi, buat Cina, terus mendukung maupun meninggalkan partai-partai komunis lokal, posisinya akan selalu serba salah. Pernyataan Deng bahwa hubungan Cina dengan partai-partai komunis lokal tak bisa diputuskan begitu saja bukannya tak berdasar. Mereka punya hubungan historis dan internasional. Karena itu, tuntutan negara-negara Asia Tenggara agar Cina mencampakkan hubungan itu tak akan dipenuhi Beijing, baik sekarang maupun di masa depan. Akibatnya, soal itu akan terus menjadi sumber konflik dan kejengkelan dalam hubungan antara Cina dan negara-negara Asia Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini