JANGAN terkecoh oleh raut sederhana. Guntingan kertas mirip kupu-kupu, disusun dan direkat. Gambar begini akan mudah terlewati orang dalam pameran. Tetapi jika Anda berhenti sejenak, Anda akan mengamati pada setiap sayap kupu-kupu terdapat potongan gambar. Kedua kupu-kupu secara bersama-sama menampilkan sebuah potret. Jika Anda mahasiswa sastra Prancis, Anda akan tahu bahwa Anda berhadapan dengan penyair besar abad XIX, Charles Baudelaire. Itulah Kupu-Kupu Baudelaire, karya Jiri Kolar. Anda pun mengangguk-angguk dan menyenngal cara mahasiswa. "Itulah kupu-kupu yang telah mengisap madu dari kembang maksiat!" Sebab, Anda teringat akan Fleurs du Mal, Kembang Maksiat, kumpulan puisi yang dahsyat itu. Potret Baudelaire, yang tercetak pada sehelai kertas, dengan cara agak rumit telah menggugah gagasan atau rangkaian gagasan itu, berkat kolasi. Kita indonesiakan saja collage dengan "kolasi" (bukan "kolase") mengikuti teladan "garasi" dan "bagasi". Asalnya, kata Prancis coller, yang berarti merekat, menyampaikan sedikit sala dari gagasan yang hendak dikatakan oleh collage sebagai istilah kesenian. Sebuah karya kolasi tersusun dari kutipan atau petikan, yang berkat penggabungan menghasilkan makna baru. Dalam seni rupa, yang dipetik ialah kenyataan atau bendabenda nyata di sekeliling. Dan petikan berwujud carikan kertas atau sobekan foto kepingan papan atau karton, kaleng, dan lain-lain. Pendeknya, barang atau bagian barang - biasanya barang bekas. Dulu, menjelang pecah Perang Dunia Pertama, pelukis Pablo Picasso dan Georges Braque di Prancis merekatkan potongan kertas ke kanvas mereka. Itulah langkah ke kolasi. Lalu, selama masa Perang, banyak seniman Eropa menjajaki dan mengembangkan cara ini. Ada yang untuk membuat citra yang dinamis -- itu Kelompok Futuris yang keranjingan dinamisme itu. Ada yang untuk protes dan provokasi, seperti Kelompok Dada. Ada yang untuk menghasilkan citra yang tak terduga, aneh, dan mengagetkan. Contohnya, para Surealis. Ketiga kelompok ini tercatat sebagai periode penting dalam perkembangan seni rupa modern. Terutama Gerakan Dada. Gerakan seni rupa yang kemudian mampu mengguncangkan kebudayaan ini dikenal kaya dengan karya-karya kolasi. Tokohnya, Marcel Duchamp dalam pameran Dada yang pertama, menggelarkan patung- patung yang tak lebih dari gabungan bangku dan roda sepeda -- juga potret Monalisa berkumis. Karya lainnya dalam Gerakan Dada tak kalah aneh. Di bidang sastra, Dada melahirkan puisi spontan yang disebutkan berdasar "otomativisme". Puisi itu tak lain guntingan-guntingan huruf koran yang dikocok di sebuah kotak kemudian disebarkan. Potongan huruf yang tidak menentu itulah puisi mereka. Di kemudian hari, setelah ilmu huruf (tipografi) berkembang, prinsip puisi Dada ini melahirkan corak "puisi kongkret" - puisi rupa yang mengetengahkan permainan tipe-tipe huruf. Melalui ketiga kelompok seni rupa itu, kesenian mengenal kecenderungan mencari bahasa baru. Sejak itu kesenian, khususnya seni rupa, dikenal sebagai wahana yang mampu memperkaya pencerapan atau sensasi pancaindria. Maka, lahirlah sebuah "bahasa baru" dalam seni rupa. Macam-macam hal dikolasikan: tipografi (huruf-huruf dan katakata tercetak), fotografi (fotomontasi, fotomontage). Barang-barang bekas atau bagian-bagian barang rongsokan digabung menjadi semacam patung: asemblasi (assemblage, berkembang terutama dalam masa 1950-an dan 60-an). Kolasi trimatra bisa berukuran sangat besar, sehingga orang bisa masuk ke dalamnya, atau terliput olehnya: inilah lingkungan, environment (masa 60-an dan 70-an), yang bisa dilengkapi dengan bunyi dan baubauan. Tambahkan peristiwa atau kejadian dengan peran serta pengunung atau penonton. Jadllah happening (sejak menjelang 1960 hingga masa 70-an). Dan macam-macam lagi. Berbagai ulah kesenian itu dapat dipandang sebagai aneka ragam perwujudan asas kolasi. Begitu hebatnya! Kolasi bukan sekadar mengubah corak gambar atau rupa lukisan. Ia membongkar batasan seni, atau petikan kenyataan bisa masuk mentah-mentah ke dalam karya. Ia merombak batas-batas di antara seni yang satu dan seni lainnya pembicaraan tentang "seni lukis", "seni patung", "seni pertunjukan", menjadi tak ada artinya. Ia menjebol kerangka-kerangka berpikir tentang seni. Atau dapatkah kerangka gaya diterapkan untuk meninjau kolasi? Itulah simpulan yang kita dapat dari pameran "Prinzip Collage", 2--12 Mei, di Museum Nasional Jakarta. Bingkisan dari Institut Hubungan Kebudayaan Asing Stuttgart (Republik Federal Jerman) ini digelarkan oleh Goethe Institut Jakarta dan Museum Nasional. Pameran terdiri dari dua bagian. Bagian dokumentasi, terdiri dari gambar dan teks, memberi informasi tentang perkembangan kolasi sejak awal hingga masa kini. Bagian kedua terdiri dari sekitar 50 karya asli oleh sekitar 20 seniman. Di antaranya seniman yang punya reputasi internasional. Misalnya Joseph Beuys, yang tersohor berkat happening dan performance-nya yang politis, dan Wolf Vostell, berkat happeningnya. Sudah barang tentu, apa pun yang dipetik dari kenyataan, ia selalu sudah punya rupa. Picasso menempelkan potongan kertas ke kanvasnya, ketika ia sedang sibuk dengan barik (tekstur). Mengapa tidak memasang kertas yang bergambar barik, misalnya, bergambar permukaan kayu ? Segera, barang nyata itu - sobekan kertas - "masuk" ke dalam ruang lukisan yang maya, menjadi bagian dari dunia citra di sana. Tetapi dalam pada itu, ia juga tetap dapat dikenali sebagai sobekan kertas - dan cenderung kelihatan sebagai bahan yang menempel pada bidang gambar atau permukaan kanvas. Permainan ruang yang bertalian dengan kerancuan cerapan ini punya keasyikan sendiri. Perhatikan, misalnya, permainan ruang yang lebih rumit, yangterjadi oleh percampuran ruang trimatra nyata, dan gambar dwimatra, dalam karya Wolfgang Ehehalt Selamat Makan. Tetapi makna, yang dibawa oleh petikanpetikan itu dari konteksnya semula, tentu bisa memainkan peran penting. Karena itu, perhatikan, misalnya, gagasan dan rasa yang timbul dari gabungan antara lalat, mulut, dan daging, dalam karya Ehehalt itu. Gambar pada potongan-potongan foto sudah bermakna. Tetapi berkat kolasi, Ulf Rungenhagen dapat menggabungkan demikian banyak gambar tangan. Tangan sedang memegang, menunjuk, menghitung, memutar tombol, mencedok air, dan lain-lain. Pada bagian atas, latar belakang memperlihatkan langit dengan planet dan bintang-bintang. Di sudut kanan atas, tertempel prangko peringatan Leonardo da Vinci - jenius peneliti dan pencipta itu, yang, sebagai pelukis banyak mempelajari tangan. Bukankah karya Rungenhagen ini kiranya sebuah puji-pujian bagi tangan? Karya Miriam Munsky, WarsaqLa, punya makna, karena benda-benda yang ia tempelkan masing-masing telah membawa maknanya dari konteksnya semula. Mata uang, surat, peta, foto, dan lain-lain menggugah, antara lain, gagasan tentang perjalanan. Penggabungan (konteks baru) tentu 2 berperan juga. Tube-tube bekas dalam karya Jurgen Brodwolf segera kelihatan sebagai sosok-sosok manusia, karena di dekatkan dengan reproduksi lukisan dansketsa yang menampilkan sosok manusia (Pengadilan Terakhir). Karena kehidupan kita berbeda dari satu tempat ke tempat lain, serta berubah dari waktu ke waktu, maka apa pun yang kita petik dan pungut dari sekeliling tidak saja dapat menunjukkan tempat, tetapi juga waktu. Kalau kita amati Pesta Rakyat Lama dan Baru karya Heinz Hirscher, kita dapat melihat bahwa yang tergubah seperti buket bunga itu adalah barang-barang kecil dari kehidupan sehari-hari, sebagian barang lama atau tradisional, sebagian barang modern. Fritz Kothe merupakan ihwal yang menarik. Karyanya itu, kolasi atau lukisan ? Ia bekerja dengan cat tembok dan cat minyak pada kanvas. Tetapi kita melihat tiga lapis kertas. Paling atas, bergambar jari laki-laki memegang sigaret, tercabik, memperlihatkan kertas berikutnya, tempat tercetak tulisan, dan yang terbaca: GEN. Lapis ini pun tercabik, dan memperlihatkan lapis ketiga: bergambar jari-jari perempuan. Robekan, demikian pula kerutan kertas, dilukis cermat sekali, sehingga menipu kita. Jadi, apa dalam karya ini, yang harus kita pahami sebagai nyata? Kertas, jari, kolasi, lukisan? Kolasi, tampaknya, menyodorkan kemungkinan yang amat kaya bagi ungkapan. Jelas, ia memerlukan pencerapan yang tajam terhadap lingkungan sehari-hari. Bukan semata untuk mencerap warna-warna, barik, raut - tetapi untuk mencerap makna-makna, konteks dalam kehidupan. Dan karena kolasi berarti memetik atau mengutip dari lingkungan, kini dan di sini, bukankah ia "kontekstual"? Sekadar catatan untuk para seniman kita, khususnya yang menganggap bahwa perjalanan seni itu perjalanan seorang diri. Bahwa pameran tunggal adalah penampilan pribadi dan "cap jari", yang merupakan jiwa pameran. Sejumlah seniman yang karyanya dipamerkan itu, adalah anggota perkumpulan. Ada Fluxus (Vostell, Beuys), Aspekte (Sorge, Munsky), Quadriga (Schultze), dan Flying Leonardos (Schench), untuk menyebutkan beberapa. Kolasi melihat kemunculannya di berbagai periode sejarah seni rupa mempunyai sifat memberontak. Corak kerja ini terutama melawan fanatisme "cap jari" yang biasanya terlihat pada goresan kuas, jejak pahatan, dan tarikan garis. Kolasi jadinya juga suatu wahana untuk bicara lantang. Gerakan - umumnya berawal dari sebuah perkumpulan - suka menggunakan kolasi. Suara keras gerakan terekspresikan lewat penjungkirbalikan citra. Maka, kolasi dalam konteks pemberontakan seni rupa juga menandakan pencarian bahasa seni, citra baru, dan mungkin pemikiran baru. Dalam arti umum: permainan kreatif. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini