WARGA Kampung Manyaran Sabrangan, Surabaya, suatu pagi di awal bulan ini hiruk-pikuk - tak seperti biasanya. Mereka berhamburan keluar rumah karena bau asap menyesakkan dada. Tapi lebih baik begitu, memang, daripada terancam meninggal dunia gara-gara digigit nyamuk Aedes Aegipty, pembawa petaka demam berdarah. Asap, yang sebenarnya adalah malathione, sengaja disemprotkan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Kota Madya Surabaya. Ini dilakukan dalam upaya menumpas nyamuk loreng itu, yang rupanya secara musiman menyebarkan bibit demam berdarah. Soalnya, dalam caturwulan pertama tahun ini, jumlah penderita demam berdarah yang meninggal di Surabaya ternyata sudah melebihi jumlah tahun 1986 tercatat 16 orang meninggal dari 629 kasus. Dari laporan RSU dr. Soetomo, Januari lalu baru tercatat 41 kasus dengan tiga orang korbannya. Februari cuma 32 kasus, seorang di antaranya mati. Tapi, bulan berikutnya, jumlah penderita demam berdarah tersebut melonjak luar biasa, menjadi 11 kasus dengan korban lima orang. Bulan April lebih mengagetkan penderita demam berdarah yang tercatat 217 kasus, 12 orang di antaranya sudah wafat. "Karena naik dua kali lipat dalam satu bulan itulah, peristiwa ini tergolong luar biasa," tutur Koentjoro dari DKK Kota Madya Surabaya. Penderita penyakit yang bisa menyebabkan maut ini, ternyata, sudah menjangkiti semua kecamatan wilayah Kota Surabaya. Kata Koentjoro, jumlah penderita di tiap kecamatan hampir sama. Populasi nyamuk Aedes Aegipty di Surabaya - kota pertama kali ditemukan kasus demam berdarah di Indonesia, 1968 tampaknya meningkat. Mungkin karena hujan masih sering turun dalam musim kemarau ini. Maklum, Acdes Aegipty jenis satu ini, larvanya, menyukai air yang jernih --berbeda dengan jenis lainnya yang suka di air keruh. Pertumbuhannya pun pesat, haa sepuluh hari diperlukan Acdes Acgipty unk tumbuh menjadi dewasa. Nyamuk Aedes Aegipty yang sudah mencicipi darah tuan-tuan atau puan-puan yang sudah mengandung penyakit demam berdarah inilah, sebenarnya, yang siap menyebarkan demam berdarah. Selain itu, nyamuk itu juga dapat mengakibatkan penyakit "kaki gajah". Sebab, Aedes itu sudah mcmbawa virus "denque", yang akan turut masuk bila kemudian menggigit orang sehat lain - sehingga menderita demam berdarah. Sedangkan Aedes Aegipty yang belum menggigit penderita, bila kemudian minum darah orang sehat, tak bakal menyebarkan demam yang bisa berakibat maut ini. Gejala demam berdarah pada mulanya hanya suhu badan menaik, seperti panas biasa. Bagi orang dewasa, dengan minum obat penurun panas memang akan tampak segera normal rasanya. Padahal, virus "denque" tetap hidup dan aktif menyerang pembuluh darah, sehingga rapuh serta mudah ditembus cairan tubuh. Cairan yang menembus pembuluh darah inilah yang akan keluar lebih dulu ke rongga perut dan berkumpul di sini. "Ini yang membedakannya dengan muntah berak, karena cairan tubuh langsung dikeluarkan dari tubuh," ujar Koentjoro. Bila cairan itu tak teratasi, ia akan keluar dari tubuh. Tetapi dengan itu darah pun ikut-ikutan keluar. Kalau sudah begini, di permukaan kulit akan muncul bercak-bercak merah, pertanda pembuluh darah pecah. Lebih parah lagi kalau sampai keluar darah dari hidung (mimisan) dan dari mulut. Semakin lama, penderita demam berdarah semacam ini bisa mengalami shock - karena kekurangan cairan - dan jika tak teratasi bisa-bisa penderitanya diangkat ke alam baka. Sebab, penyakit yang disebabkan virus ini sulit diobati. Akan lain halnya kalau sejak dini sudah diketahui. Di Bandung, dari 52 penderita demam berdarah, dalam dua bulan pertama tahun ini, sudah dua orang yang meninggal. Serangan penyakit tersebut, yang normal antara 30 dan 40 kasus per bulan di Bandung ternyata kini cukup melejit. Sebab, kasus penderitanya mencapai 1.500, dan pernah terjadi 371 kasus hanya dalam satu bulan. Yang tampak lebih mengherankan, demam berdarah yang biasa menyerang anak-anak itu, menurut penelitian yang pernah dilakukan DKK Bandung, 40% penderitanya justru orang dewasa. Tidak seperti di Jakarta, yang terkena 95% anak-anak di bawah usia 15 tahun. Sebab meluasnya kasus demam berdarah tak jelas benar. Ada yang menduga karena APBN terpangkas, hingga tak tersedia cukup dana untuk pemberantasan penyakit menular. Yang pasti, seperti di Bandung, dulu dengan dana rutin dari APBN bisa dilakukan pengasapan (fogging) 1.600 fokus, mencakup 4 ha per fokusnya. Tapi, dana itu kini tak ada lagi. Sehingga, untuk pembiayaan seluruh pemberantasan penyakit menular, DKK meminta anggaran ke Pemda Jawa Barat. Tahun ini dana itu berjumlah Rp 15 juta. "Ini memang tidak cukup, karena anggaran yang diajukan mencapai Rp 50 juta," kata sumber TEMPO di DKK Bandung. Akibatnya, dengan anggaran terbatas itu, untuk pencegahan demam berdarah, DKK hanya bisa melakukan pengasapan 15-20 fokus. Kanwil Departemen Kesehatan DKI Jakarta, dalam upayanya menanggulangi demam berdarah, pun menggantungkan dananya dari Pemda. Cara yang ditempuhnya, kata Kakanwil dr. Soeharto Wiryowidagdo selain melakukan penyemprotan 'malathion' untuk mematikan para nyamuk Aedes Aegipty, pun abatisasi - menaburkan senyawa kimia - bak-bak penampungan air agar tak dihuni calon nyamuk itu. Di samping itu, juga menggalakkan penerangan, dan memantau penyakit ini di 53 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta. Februari dan Maret yang lalu saja sekitar 600 warga terkena demam ini, lebih tinggi dari dua bulan sebelumnya. Tetapi upaya pemerintah belum menjamin musnahnya penyakit berbahaya ini. Tak lain karena dana terbatas itulah. "Jangan menggantungkan kepada DKK," ujar dr. Zaenal Arifin dari DKK Kota Madya Surabaya. Masyarakat bisa ikut andil mencegah munculnya nyamuk Aedes Aegipty dengan, misalnya, seperti dikatakan Wiryowidagdo, membeli "abate" yang dijual bebas di apotek-apotek. Suhardjo Hs. Laporan Yopie Hidayat (Surabaya) & Didi Sunardi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini