Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seorang presiden yang sendiri

Presiden prancis francois mitterand yang berhaluan sosialis harus berdampingan dengan pm chirac yang berhaluan kanan. gaya hidup & kebijaksanaan politiknya dan bbrp aspek yang menyebabkan ia kurang berhasil.(sel)

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FRANCOIS Mitterrand berdiri di ujung karpet merah yang terbentang 400 m di gedung pameran yang luas. Malam itu, ia berada di Kota Lille - sebuah kota industri yang lagi surut, tapi menjadi pusat kekuatan spiritual sosialisme Prancis. Sinar lampu sorot menyeruak terang menembus asap rokok yang merayap, membuat jaringan kawat listrik yang mirip renda dan kerangka tangga metal berkilau. Suara desah menyapa 20.000 hadirin dan kemudian lenyap bagaikan angin lalu, digantikan pengeras suara model Marseillaise. Kemudian, tampil Mitterrand bak seorang pendeta di tengah kuil akbar. Sederetan pilar, dibungkus kain merah, putih, dan biru, berdiri antara dia dan podium - pilar-pilar mirip pohon poplar dalam lukisan Monet, salah seorang tokoh impresionisme Prancis. Untuk beberapa saat Presiden Prancis itu tegak diam, membiarkan mata seluruh republik tertuju padanya. Dan lalu, dibiarkannya salah satu kekuatan politik Eropa yang paling polos ini sedikit tersenyum. Baru ia melangkah lebar, sendirian melewati pilar-pilar tiga warna, disambut serentetan sorak tak terputus dari para pengagumnya. Mitterrand menyeberangi ruangan luas yang penuh lekuk itu, menuju ujungnya yang lain, tempat podium terletak. Penampilan Mitterrand merupakan salah satu kampanye untuk pemilihan umum 16 Maret lalu. Dengan cermat semuanya direncanakan dalam image kepresidenan Prancis: kekuasaan yang mengambil jarak, kalem, dan sendiri. Tapi kenyataan di Lille adalah cerita lain. Yang tampil adalah seorang veteran politik yang tampak berjuang agar partainya tidak kehilangan pendukung. Soalnya, pemilihan umum akan menentukan adakah Partai Sosialis masih akan menjadi mayoritas dalam Parlemen atau tidak. Dan yang lebih penting, pemilihan umum itu akan dipandang sebagai referendum buat Mitterrand sendiri, masihkah bertahan - impian para pendukung sosialisme Prancis. Buat sejarah Prancis masa kini, Francois Mitterrand dan Partai Sosialis menunjukkan lorong menarik yang tak pernah dijalani, memberikan jalan penuh tantangan dan lamunan tapi tak pernah benar-benar diikuti. Selama 23 tahun, Mitterrand bertahan sebagai oposan, menjanjikan perubahan besar, satu penataan kembali masyarakat Prancis yang digambarkannya sebagai matinya aturan-aturan kanan. Lalu, lima tahun yang lalu, rakyat Prancis memberi kesempatan kepada kaum Sosialis. Mereka pun memasuki kekuasaan dengan jaya dan sukaria, menyatakan - sebagaimana dikatakan Menteri Kebudayaan Jack Lang, setelah perjuangan berpuluh tahun, "masa cerah" akan menggantikan "masa gelap". Menjelang pemilihan umum pertengahan Maret lalu, semua janji Sosialis itu diletakkan di bawah satu penelitian yang sangat cermat yang tidak menguntungkan. Dan bila hasil sebuah pengumpulan pendapat bisa dipercaya, ternyata Francois Mitterrand adalah satu-satunya Presiden Prancis yang Sosialis dalam seperempat abad sejarah Prancis belakangan ini yang paling tidak populer. Oposisi kanan - yang menurut Presiden dan sekutunya adalah kaum yang kaya, reaksioner, dan memiliki hak istimewa tampaknya sangat mengidamkan memenangkan mayoritas Parlemen yang telah diraih oleh Partai Sosialis yang lalu. Dan bila itu terjadi, dua tahun terakhir masa pemerintahan Mitterrand, 1986-1988, akan sangat dipengaruhi karenanya. Dengan kata lain, kemenangan kaum konservatif akan membuat impian 81 tahun - Partai Sosialis Prancis terbentuk pada 1905 - untuk tetap bertahan di kursi kekuasaan jadi meragukan. Padahal, bahkan bila pihak Sosialis tak lagi menjadi mayoritas di Parlemen, mereka mungkin akan tetap menjadi satu-satunya partai politik terbesar di Prancis. Tapi lima tahun pertama dari yang disebut Mitterrandisme menunjukkan bahwa doktrin orisinil Sosialis diguncang, dan itu berarti kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan partai pun ikut goyah. Mitterrand dan kebijaksanaan politiknya mendapat serangan gencar. Partainya menghadapi jalan simpang: antara sepenuhnya melaksanakan pandangan-pandangan tradisionalnya dan mencari rumusan baru yang tidak sangat sosialistis - rumusan yang antara lain termasuk penghematan, pengetatan anggaran, dan satu gaya pemerintahan yang mau tak mau akan mirip dengan gaya pemerintahan Charles di Gaulle, musuh bebuyutan kaum Sosialis. Dalam lima tahun terakhir ini bisa disaksikan serentetan penyesuaian, penggantian program-program khas Sosialis. Maka, akhirnya, bisa ditanyakan: Jadi, apa yang tinggal dari cita-cita kaum Sosialis? Akankah sosialisme sebagai satu alternatif akan lenyap di salah satu negeri tertua di Eropa? Bayangkanlah seseorang berkunjung ke Prancis, dan ia mendengar tentang terpilihnya Mitterrand pada 1981. Lalu pengunjung itu tahu, dan mungkin sangat percaya, akan ramalan bahwa kaum kiri akan berkuasa di Prancis - tapi ia tak kembali untuk melihat dengan mata kepala sendiri perkembangan Prancis di bawah kiri sampai beberapa bulan belakangan ini. Tentulah, dalam ingatannya akan terbayang bahwa Prancis, ketika memilih pemerintahan kiri pada 1981, tampaknya dengan sangat istimewa menyimpang dari kecenderungan dunia. Dan itulah satu pemerintahan yang siap bersekutu dengan Komunis - dan itu sesuatu yang sangat janggal dan kemudian akan terjadi pemerataan kekayaan. Meningkatnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Nasionalisasi industri dan bank mengurangi peranan perusahaan swasta. Sangat mungkin membayangkan bahwa kaum idealis muda di tahun 1960-an yang melahirkan gagasan jungkir balik itu akan berkuasa dan mereka akan menjadi pemimpi, bukan orang-orang yang realistis. Washington pun akan cemas, jangan-jangan rezim baru Prancis akan bersikap lunak terhadap Dunia Ketiga, bersimpati kepada Fidel Castro, Sandinista, dan kaum revolusioner yang lain. Rezim itu akan cenderung pada pasifisme dan tak ambil pusing dengan ancaman Uni Soviet. Kenyataannya, ia, pengunjung Prancis itu, hanya akan menemukan sedikit dari hal-hal yang dulu ditakutkannya itu. Di bawah Mitterrand, Prancis diperintah oleh satu grup orang-orang yang berpandangan tegas, para teknokrat muda ambisius yang sungguh sulit dicari persamaannya dengan kelompok mahasiswa yang turun ke jalan-jalan di tahun 1960-an dulu. Sungguh, tak sulit mencari alasan bahwa pemerintahan Sosialis kenyataannya memang lebih baik, dan tidak sangat lebih "kiri" dibandingkan dengan pemerintahan Valery Giscard d'Estaing sebelumnya, misalnya. Dalam hal politik luar negeri, salah satu keputusan Mitterrand yang penting adalah pernyataan dukungannya terhadap berdirinya instalasi rudal jarak sedang Amerika di Eropa pada 1982, pada saat kaum Sosialis di Jerman Barat dan Inggris menentangnya dengan demonstrasi besar-besaran. Pernyataan Mitterrand - bagian dari komitmennya yang lebih besar pada pertahanan yang kuat penting dalam hal mempengaruhi pendapat umum di Eropa mengenai rudal-rudal itu. Dan, sekaligus mengaburkan aspek lain dari politik luar negerinya yang mencerminkan sisa-sisa idealisme Sosialis. Yakni, seringnya ia menyerukan pembagian kekayaan yang lebih merata antara negara kaya dan negara miskin. Dan, yang lebih penting, penentangannya terhadap politik Amerika di Amerika Tengah. Dalam waktu yang lama politik luar negeri Prancis begitu bangga bernada anti-Amerikanisme. Dan orang-orang Prancis sungguh senang berbicara tentang "hegemoni Anglo-Amerika" sebagai salah satu bahaya besar di dunia. Tapi di bawah kaum Sosialis, hubungan Prancis dengan sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat, benar-benar lebih baik daripada dekade sebelumnya. Pun, politik dalam negeri sendiri menampilkan para teknokrat yang bekerja dengan baik. Dan Prancis tetap saja bebas seperti semula, bahkan boleh dikata lebih bebas dibandingkan dengan pemerintahan sebelum Mitterrand karena kebijaksanaan Sosialis dimulai dengan desentralisasi pemerintah daerah lebih diberi kekuasaan untuk menentukan kebijaksanaan mereka sendiri. Perusahaan swasta nyata-nyata tetap berkembang. Memang benar bahwa pengangguran mencapai angka tinggi, tapi noda dalam dunia ekonomi Prancis ini pun sedikit demi sedikit berkurang dalam bulan-bulan terakhir ini. Sementara itu, ramalan-pihak kanan, bahwa sosialisme akan membawa inflasi berlarut-larut, pada kenyataannya penyakit satu itu pelan-pelan bisa disembuhkan. Pasar modal mencapai angka tinggi, perdagangan dengan luar negeri lebih menguntungkan, mata uang franc memperoleh kembali kekuatannya, dan teknologi Prancis memperoleh penghargaan di seantero dunia. Dan lebih penting daripada itu semua, di bawah pemerintahan Sosialis negeri ini menikmati masa damai yang panjang - setidaknya terhindar dari adanya kekerasan. Tentu, bukannya tak ada huru-hara sama sekali, umpamanya meningkatnya rasa sentimen terhadap imigran dari Afrika Utara. Tapi, tak ada kerusuhan dengan kekerasan seperti misalnya yang terjadi di Inggris: keresahan rasial, demonstrasi antinuklir, menentang politik luar negeri, protes terhadap pengiriman bantuan militer. Tapi, siapa tahu orang yang memimpin sukses itu adalah seorang yang berkepribadian kompleks dan sulit dipahami. Hanya sedikit yang bisa diketahui tentang dirinya, dibandingkan dengan para pemimpin Barat yang lain. Tapi satu hal yang tak diragukan adalah kepiawaiannya untuk tidak menyelubungi dirinya dengan simbol-simbol klasik dari seorang pemimpin golongan kiri. Justru ia mengenakan kebesaran lama dari kepresidenan Prancis itu sendiri. Sebagai presiden dari sebuah negeri demokrasi Barat, Mitterrand boleh dibilang sangat jarang tampil di tengah publik. Ia benar-benar seorang sederhana dan hidup pribadinya hanya untuk dirinya. Ia lebih suka membaca sejarah filsafat daripada mengadakan pembicaraan atau berada di tengah massa - konon ia baru saja menyelesaikan lima jilid buku tentang sejarah Yahudi karangan Ernest Renan. Mitterrand tetap tinggal di apartemen Left Bank yang dibelinya di awal 1960-an, daripada pindah ke Istana Elysee yang kaya ornamen. Ia berkeberatan dengan berbagai perhatian sehari-hari yang mengganggu, betapapun kecilnya, semacam yang diberikan untuk, misalnya, Presiden Amerika. Pada bulan belakangan ini, ia memperuntukkan waktunya buat menyunting dan menerbitkan kumpulan pendapat dan pernyataannya tentang politik luar negeri, termasuk 135 halaman esei pengantar yang ditulisnya dalam gaya elegannya yang khas. Mitterrand memang jarang memberikan penjelasan kepada masyarakat luas tentang berbagai kebijaksanaannya. Ia hanya dua atau tiga kali muncul di televisi dalam satu tahun, jarang mengadakan konperensi pers - biasanya pertemuan dengan wartawan baru diadakannya bila ada kunjungan kepala negara lain. Sungguh, di luar jam kerjanya, baik pers maupun masyarakat tak tahu persis di mana ia berada dan apa yang dilakukannya. Gaya kepresidenan yang mengambil jarak dan kalem ini, bila dihubungkan dengan retorika kaum Sosialis, sungguh membingungkan. Tapi mungkin gayanya itu menjelaskan sukses Mitterrand. Ia cocok dengan tradisi kepresidenan dari Republik Kelima, dan bagi Amerika ia memang lebih sebagai orang Prancis daripada seorang pemimpin kiri. Tapi, agaknya, perpaduan aspek kepribadian itu dan doktrin Sosialisnya malah merugikan berbagai keputusannya. Dan ini menjelaskan mengapa ia tetap tidak populer. Sebuah pepatah kuno Prancis mengatakan, hati seorang Prancis berada di kiri tapi buku sakunya ada di kanan. Agaknya peribahasa itu cocok buat Mitterrand: retorikanya Sosialis, tapi gaya memerintahnya asli Gaullis. Siapa saja pernah masuk ke Istana Elysee dan memandang ruang resepsi yang luas dan bersepuh emas, kantor-kantornya yang, katakanlah, diselubungi kebesaran monarki masa silam, akan menyadari bahwa orang Prancis, baik Sosialis maupun bukan, mewarisi kebesaran raja-raja terdahulu itu dan Mitterrand tak mencoba mengelak dari warisan ini. Memang, beberapa menteri Mitterrand tampil dengan biasa dan informal - penampilan yang mungkin diharapkan oleh anak-anak generasi 1960-an. Beberapa menteri itu muncul tanpa dasi, berambut gondrong, dan mereka biasa "beraku-engkau" daripada sebutan yang lebih formal. Tapi yang begitu itu minoritas, dan Mitterrand tak termasuk di dalamnya. Presiden ini sungguh tak pernah akrab dengan siapa pun. Ia berpakaian konservatif dan sungguh rapi bahasa Prancisnya tinggi, dan gaya bicaranya, disampaikan dalam suara yang berwibawa, diturunkan langsung dari podium abad ke-18. Mitterrand orang kiri, begiyu dikatakan di Prancis, tapi jejak Louis XIV terlihat nyata dalam gaya penampilannya. Pierre Nora, seorang editor dari Gallimard, perusahaan penerbit terkenal, mengidentifikasikan tiga karakter khas semuanya tradisionalis dan konservatif - yang menyumbang pada kualitas kepresidenan Mitterrand. "Pertama, ia memiliki selera sastra sebagaimana yang dimiliki oleh De Gaulle dan Malraux," kata Nora. "Dan ia bukan cuma piawai dalam berpidato dengan gaya dari abad ke-18, tapi ia benar-benar menguasai musik sejarah, yang dalam hal ini orang-orang Prancis memang begitu sensitif. Kedua, ia punya perasaan yang dalam terhadap sejarah. Ia mampu menemukan tema besar Prancis yang orang lain tak akan bisa melakukannya. Dan, yang terakhir, ia mengidentifikasikan dirinya dengan akar pedesaan Prancis, cintanya pada tanah, pada hutan, pada alam. Itulah paduan sifat yang tak pernah ditinggalkannya." Mitterrand memperoleh keuntungan dari reputasinya sebagai taktikus politik yang cerdik. Tapi, sebagaimana sifat-sifatnya yang menonjol, keahliannya berpolitik pun membawa kesulitan-kesulitan sendiri. Bisa langsung disebutkan yang terpenting, yakni perserikatannya yang kontroversial dengan Partai Komunis Prancis, yang telah menolong pihak Sosialis memperoleh kekuasaan. Mungkin ini merupakan pertanda kebrilyanan taktik Mitterrand bahwa kemudian Partai Komunis kehilangan separuh pendukungnya setelah persekutuan itu terjadi - sesuatu yang oleh Presiden sudah diramalkannya bakal terjadi di awal 1974. Meskipun demikian, buat kebanyakan orang Prancis, gabungan yang sedap itu adalah sebuah fakta dengan setan. Dan untuk itu tiada maaf bagi Mitterrand. Perasaan tersebut, digabungkan dengan prasangka-prasangka motivasi Mitterrand, menjadi isu tetap dari oportunisme politik. "Ada satu faktor pribadi penting, yang menyebabkan Mitterrand kurang populer," kata Alain Richard, seorang wakil Sosialis dari Paris yang menjadi anggota badan legislatif. "Dari sudut kemampuan berpolitiknya, ia terbaik Tapi bila ia begitu jago, tentunya ia tak bisa setulus itu." Tugas politik yang berada di belakang Mitterrand, begitu ia menjadi presiden, ditentukan oleh penghitungan suara yang begitu sederhana. Partai Sosialis tak punya harapan menang dalam pemilu 1981 tanpa dukungan pihak Komunis. Yang belakangan itu, meski dengan cepat surut, masih tetap menguasai 10 persen suara. Tapi Partai Komunis menjadi oposisi yang gigih di tahun 1984 - dalam usaha memisahkan diri dari program penghematan Sosialis - berarti bahwa dukungan baru mesti diperoleh dari tempat lain. Itulah yang harus dipecahkannya bila ia ingin Sosialis tetap menang. Poll mengungkapkan bahwa Sosialis telah kembali pada yang disebut tingkatan tradisional mereka. Pertunjukan kekuatan pihak Sosialis pada pemilu 1981 disebabkan kemenangan Mitterrand dalam pemilihan presiden beberapa minggu sebelumnya, dan ini menyalahi patokan normal pemilihan umum Prancis. Pada 1978, hanya tiga tahun sebelumnya, dalam pemilihan anggota parlemen, Partai Sosialis hanya memenangkan 28 persen suara. Jadi, bila Partai itu memperoleh 30 persen suara dalam pemilihan legislatif mendatang, itu berarti sudah lebih baik daripada yang bisa diharapkan. Ambisi partai ini, tentu saja, mengembangkan basisnya, untuk membuktikan bahwa mereka berhak menjadi partai mayoritas. Dan kegagalan nyata untuk mencapai itu, tampaknya, disebabkan dua kelemahan yang prinsipiil . Yang pertama adalah soal gaya. Pemerintahan Sosialis cenderung sering membuat kesalahan, keraguan, dan kegusaran. Itu semua membuat, bahkan, sukses pemerintahan Sosialis di mata para pemilihnya mereka anggap sebagai kekeliruan-kekeliruan keputusan - kekeliruan yang menguntungkan. Kedua, yang terlebih penting, sehubungan dengan kegagalan pihak Sosialis untuk mengatasi satu hal dalam kultur politik Prancis. Yakni, kepercayaan bahwa kaum konservatif memiliki semacam panggilan alami untuk memerintah. Sementara orang-orang kiri hanyalah kadang-kadang saja diberi kesempatan menyelonong masuk ke pentas politik. "Jauh di bawah sadar kesejarahan," kata Max Gallo, editor surat kabar Le Matin yang pro-Sosialis, "orang Prancis percaya bahwa Presiden dari pihak kanan lebih sah daripada dari pihak kiri." Dan selalu, untuk membandingkan pemerintahan Mitterrand disebut-sebut nama Leon Blum, seorang Sosialis yang menjadi perdana menteri pada 1936, dalam tahun huru-hara. Blum, sebagaimana Mitterrand, naik berkuasa dengan pertolongan partai kiri yang lain, termasuk Partai Komunis. Ia, seorang intelektual, pembicara dan pemikir yang tangguh, penuh wibawa dan humanis. Dialah yang memprakarsai beberapa perubahan dasar sosial yang kini diterima oleh semua orang Prancis, baik pihak kanan maupun kiri, sebagai sangat berharga. Perubahan itu antara lain, jam kerja menjadi 40 jam per minggu, disahkannya libur tahunan dua minggu. Tak seperti Mitterrand, Blum membuat pihak Komunis tetap berada di luar pemerintahan - meski tetap dibutuhkan dukungannya di parlemen. Dan pada akhir masa jabatannya sebagai perdana menteri, Blum berjuang mengakhiri pemogokan yang disponsori oleh perserikatan buruh Komunis. Tapi bagaimanapun moderatnya Blum, tak disangsikan lagi ia dibenci oleh banyak pihak. Salah satunya adalah karena banyak orang Prancis salah melihat, mereka anggap sosialisme sebagai jalan pembuka ke arah komunisme, kepada hal-hal yang jahat, kepada kehancuran nilai-nilai tradisional. Ketika Francois Mitterrand naik kuasa pada 1981, masa pemerintahan Blum diingat kembali dengan tajam. Upaya membandingkan kedua orang Sosialis itu pun dilakukan. Sementara itu, untunglah, perjalanan sejarah telah meredupkan ketakutan masyarakat terhadap kaum kiri. Dan masa antara pemerintahan Blum dan Mitterrand menampilkan pula beberapa Sosialis yang lain - contoh yang jelas adalah Pierre Mendes-France, perdana menteri 1954-1955 - yang memerintah negeri ini pula. Dan ini kenyataannya, sejak pertama Mitterrand diangkat sebagai presiden, tak sedikit pun tampak kekacauan sosial - hal yang dulu menyebabkan Blum dicela. Tapi, banyak juga persamaan antara Mitterrand dan Blum. Pihak Sosialis di bawah Mitterrand pun dengan cepat menghendaki perubahan-perubahan. Kaum Sosialis hendak memberikan kesan bahwa doktrin merekalah yang terpenting, dan bukannya bagaimana menata pemerintahan yang baik. Partai Mitterrand percaya, setelah menunggu 23 tahun, kini tibalah saatnya mengadakan satu gerakan dramatis: nasionalisasi sebelas sektor ekonomi Prancis, termasuk semua perusahaan bank swasta. Jam kerja dikurangi lagi menjadi hanya 39 jam per minggu, dan produktivitas tak dinaikkan. Batas usia pensiun diturunkan dari 65 tahun menjadi 60 tahun. Hak-hak penyewa ditingkatkan, hingga para tuan tanah tak bisa begitu saja mengusir mereka karena tak ada kerja. Gerakan ini, yang disebut "reformasi struktural" dalam kamus Sosialis, berlangsung pada masa yang tidak tepat dalam sejarah Prancis. Yaitu pada ketika ekonomi lagi surut karena kenaikan harga minyak pada 1978-1979. Setelah kurang lebih setahun berjalan - selama itu nilai mata uang franc jatuh, perdagangan defisit, dan usaha mengatasi inflasi berakhir dengan kekalahan - pihak Sosialis, sebagaimana kaum konservatif bila berkuasa di mana saja di Barat, melakukan penghematan. Anggaran belanja negara dikurangi, menurunkan upah, dan mengambil keputusan yang berat: menutup industri terutama pertambangan dan baja - yang ketinggalan zaman - meski ini berarti meningkatkan pengangguran . Sejumlah pejabat dalam pemerintahan mengajukan argumentasi, kebijaksanaan pemerintahan Sosialis itu semua tidaklah menyimpang dari partai. Jacques Attali, penasihat senior Mitterrand, mengatakan bahwa program pengetatan anggaran tak akan dilakukan oleh pemerintahan kanan, sebab itu tak akan membuat perubahan sosial yang menyebabkan penghematan itu cocok buat masyarakat. Lebih dari itu Attali menolak kebijaksanaan konvensional yang mengatakan bahwa tahap kedua program Sosialis antara lain termasuk ilmu pengetahuan, yang kalau dimasukkan tahap pertama adalah suatu kesalahan. "Penyimpangan yang dilakukan bukanlah lepas dari reformasi struktural," katanya. "Kami tidak menyembunyikan apa pun. Kami akan mengakui itu kesalahan, bila kami katakan. Umpamanya kami katakan, 'Ya, Allah, nasionalisasi itu telah membawa kepada bencana. Kami harus menghentikannya.' Tapi kami tak mengatakan begitu." Kini bisa dilihat kembali, terutama di hari-hari pertama, pihak Sosialis memisahkan sejumlah pemilih yang mendukung pemerintahan Mitterrand bukan karena keyakinan politiknya, tapi semata karena capek dengan pihak kanan. Gaya pemerintahan Mitterrand ternyata tidak menghapuskan syak wasangka sosialisme yang dalam bahwa itulah bagian dari kultur politik sebagian besar masyarakat Prancis. Meskipun Mitterrand mengaku mencintai "dusun yang sunyi", dusun sunyi itu sendiri tetap menjadi tempat kekuatan konservatif. Di situ bermukim para seniman, notaris, dan anggota kelas borjuis dusun yang menyembunyikan ketidakpercayaan yang kuat terhadap "kiri". Mereka mempunyai ketakutan tradisional yang tersembunyi dalam, bahwa kiri itu permisif, dan akan menyebabkan erosi nilai-nilai tradisional. Dan tak satu pun yang telah dilakukan oleh kaum Sosialis - juga tidak oleh gaya Mitterrand yang Gaullis, atau oleh kebijaksanaan penghematannya - mengubah pandangan mereka itu. Seorang yang mengunjungi desa kecil di Normandia atau negeri Champagne boleh terkejut karena bahasa politik di situ menganggap Mitterrand sebagai musuh secara definitif. Sikap konservatif itu subur karena berbagai krisis yang terjadi. Krisis itu menyebabkan nama Sosialis ternoda dan karena itu kaum Sosialis dan Mitterrand disebut sebagai wakil kebodohan yang tak terpahami. Contoh yang terakhir adalah krisis yang disebut kasus Greenpeace. Reaksi pertama pemerintah Prancis adalah menolak tuduhan bahwa yang menenggelamkan kapal milik grup pencinta lingkungan hidup di Auckland, Selandia Baru, adalah pemerintah. Tapi kemudian pemerintah sendiri terpaksa mengakui bertanggung jawab atas kejahatan yang amat tercela itu. Sebenarnya para pendukung Sosialis setuju dengan keputusan pemerintah untuk menenggelamkan kapal Rainbow Warrior milik kelompok Greenpeace itu - yang memprotes percobaan senjata nuklir Prancis di kawasan Pasifik Selatan. Tapi pemerintah tampil dengan lemah, tak bisa memecahkan persoalan, dan bersikap sok rahasia dalam menangani persoalan ini. Dan dalam kasus ini Mitterrand mewakili dengan baik gaya kepresidenan Prancis yang mengambil jarak itu: tak sekali pun pernah ada penjelasan terhadap masyarakat tentang kasus Greenpeace. Kasus penenggelaman kapal itu memang kasus terbesar di antara sejumlah huru-hara yang membuat nama baik Sosialis jadi cacat. Dan, menjadikan pemerintahan Sosialis tampak gampang dikritik. Pada 1984 Mitterrand mengadakan pertemuan dengan pemimpin Libya Muammar Qadhafi di Pulau Kreta, meskipun pemerintah Libya jelas-jelas telah mengingkari persetujuan dengan Prancis untuk menarik tentaranya dari Chad. Pertemuan itu menyebabkan muncul gambaran bahwa Mitterrand gampang dikibulin, meski, dalam hal perjanjian itu, Mitterrand dianggap sukses, mencegah Libya menguasai Chad sepenuhnya. Tapi, pertemuan belakangan, dinilai sebagian orang Prancis suatu penghinaan. Sebelumnya, ini sebuah contoh lain, adalah "kasus sekolah swasta", juga di tahun 1984. Pemerintah, dengan mengabaikan badan legislatif, mencoba membatasi kemerdekaan sekolah-sekolah yang dikelola gereja. Ketika itulah, agaknya, pertama kali selama kaum Sosialis berkuasa, sebagian besar rakyat Prancis merasa bahwa kemerdekaan mereka ditekan dan diambil, secara damai. Maka, jalan-jalan dipenuhi kaum demonstran, terbesar sejak Perang Dunia II. Mitterrand memang memperhatikan reaksi masyarakat itu. Dan ia menarik kembali keputusannya. "Masalahnya sebenarnya agak kocak, yakni tak pernah ada lobi dengan legislatif tentang sebuah undang-undang baru," kata Alain Richard, anggota badan legislatif dari Paris, tentang kegagalan itu kemudian hari. "Tak satu kelompok pun, sebenarnya, menuntut agar sekolah swasta lebih dikontrol." Pihak kanan segera menjumlah kesalahan-kesalahan taktik politik pemerintah Sosialis. Dan itulah kekhasan dunia politik di negeri ini: tak satu pun yang bisa lolos dari polemik kaum oposisi - sebagaimana juga tak satu pun luput dari perhatian Mitterrand selama dulu ia berada di tempat oposisi. Tapi di bawah kekhasan itu, suatu bentuk baru kehidupan politik Prancis sedang mencari bentuk. Memang, negeri ini untuk beberapa dekade, bahkan abad, menjelaskan dirinya sendiri sebagai terbagi dalam dua kubu yang tak terdamaikan. Yakni, antara monarki dan republik, antara pendeta dan orang awam, kapitalis dan buruh. Dan apa yang kini terlihat adalah Sosialis dan pihak kanan tampaknya cenderung menjadi semacam Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat. Satu partai bergerak ke kanan, yang lain ke kiri, tapi masing-masing bisa saja menjadi penguasa tanpa membuat takut pihak lain bahwa tradisi Prancis bakal musnah karenanya. Semboyan pihak kanan kini adalah "liberalisme", dipakai menurut makna di abad ke-19. Yaitu, kapitalisme yang lebih bebas daripada Prancis yang statis seperti masa-masa sebelumnya. Penasihat utama dalam golongan kanan adalah Jacques Chirac, perdana menteri di masa kepresidenan Giscard d'Estaing. Chirac, Wali Kota Paris, adalah pimpinan partai kanan terbesar, RPR. Partai ini mengaku sebagai pewaris semangat De Gaulle. Tapi, paling tidak dalam program formalnya, mereka tak mengikuti yang disebut dirigisme, pemerintahan sentralisasi tradisional sejenis dengan sewaktu Prancis masih berbentuk monarki. Tokoh oposisi yang lain adalah Raymond Barre, seorang politikus populer yang tidak konvensional yang juga menjadi perdana menteri di zaman d'Estaing. Jika pada pemilu 16 Maret golongan kanan menang dan memang begitulah kenyataannya - Mitterrand mungkin akan terpaksa memanggil Chirac atau d'Estaing untuk menjadi perdana menteri, dan mewarnai pemerintahan (akhirnya, Chirac-lah yang jadi PM). Di Kota Lille itu, di suatu malam yang lain, ia mendaftar "reformasi besar" selama lima tahun terakhir, termasuk perubahan jam kerja menjadi 39 jam per minggu, batas usia pensiun menjadi 60 tahun, keamanan sosial yang lebih terjamin. Tak diragukan lagi bahwa perubahan itu memang berarti, bila dibandingkan yang dilakukan oleh Leon Blum. Tapi itu sungguh jauh dari sebuah revolusi. Semua itu telah dibangun oleh kekuatan dirigiste klasik dari golongan kanan ketika berkuasa, dan Mitterrand hanyalah melanjutkannya saja. Pada akhirnya adalah sebuah pertanyaan: kebutuhan untuk pragmatis. Dalam sebuah buku yang berkisah tentang Prancis lima tahun terakhir ini, Serge July, editor surat kabar Liberation, menulis bahwa Mitterrand akan dikenang untuk pencapaiannya yang tidak sangat berarti. July menyebut itu "normalisasi" Prancis. Negeri ini memang menjadi lebih terbuka lebih menjadi warga dunia, lebih tidak sombong lagi, tidak berjalan sendiri semau gue. Apa yang akan terjadi dua tahun masa kepresidenan Mitterrand berikutnya, 1986-1988, agaknya dia akan tetap dikenang sebagai presiden yang baik, bukan karena revolusi ideologis yang berlangsung di bawah kepemimpinannya, tapi karena kualitas moral dan intelektual yang mengesankan yang dia berikan. Dan karena Prancis, di bahwa orang kiri yang diakui ini, lebih menjadi bagian dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus