Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Antara Utang Dan Palu Hakim

Pengadilan mangalahkan manuel rawung atas eka tjipto wijaya dalam kasus sengketa pt sawangan hill. rawung menuduh ada persekongkolan antara hakim machmud dengan eka dengan bukti pinjaman uang di bii.(hk)

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPA Manuel Rawung tak murung? Upayanya agar perkaranya diperiksa ulang gagal. Majelis Hakim Sarwoko tetap membacakan vonis, Selasa pekan ini, berdasarkan pemeriksaan yang dipimpin Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat sebelumnya. Hasan Machmud. Rawung dinyatakan terbukti melanggar pasal pidana penggelapan, dihukum 6 bulan penjara, klop dengan tuntutan Jaksa Saragih. Tak hanya upaya banding yang kini dilakukan Rawung bersama Pengacara O.C. Kaligis. Mereka mencoba mengungkit-ungkit "sesuatu" di balik proses peradilan: tentang utang Hakim Tinggi Hasan Machmud kepada Bank Internasional Indonesia (BII). Kisah itu kini memang tengah diusut. Pihak bank dan nasabahnya sama-sama berkisah tentang utang-piutang biasa. Tapi Rawung beranggapan lain. Soalnya, Hasan Machmud, ketika menerima pinjaman Rp 100 juta, sedang memegang perkara pidana berdasarkan laporan pemihk BII sendiri, Eka Tjipta Widjaja. Dan terdakwanya, tak lain, Manuel Rawung. Memang kepindahan Hasan Machmud ke Palembang, ternyata, tidak hanya meninggalkan perkara Rawung. Tapi juga meninggalkan utang. Penasihat hukum Manuel Rawung, Otto Cornelis Kaligis, dalam suratnya kepada Mahkamah Agung, Februari lalu, menyatakan, "Kami menduga bahwa pinjaman Rp 100 juta yang diberikan Saksi Eka Tjipta itu mempunyai kaitan erat dengan fasilitas istimewa yang diberikan Hasan Machmud secara timbal balik." Bila sekarang ini Hasan Machmud digugat Eka Tjipta, katanya, "Karena hakim itu gagal menjatuhkan hukuman kepada Rawung, sesuai dengan keinginan saksi." Untuk memperkuat tuduhannya tentang persekongkolan Hasan-Eka, akhir bulan lalu, Manuel Rawung menyampaikan pernyataan kepada Tim Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman yang diketuai Nyonya Farida. Di situ ia mengemukakan bahwa, pada 16 Agustus 1985, ia diminta datang ke rumah Hasan Machmud di Kompleks Kehakiman Cipinang Jaya, alam hari. Pada pertemuan itu Hasan Machmud, antara lain, menyatakan bahwa majelis akan menjatuhkan hukuman, 6 bulan penjara, sesuai dengan tuntutan. Tapi tidak segera masuk. Bahkan hakim itu, katanya, berjanji akan menguruskan bandingnya di pengadilan tinggi agar ia divonis bebas. Untuk itu Hasan, yang bertubuh tinggi besar itu, meminta agar Rawung menyerahkan sisa sahamnya di PT Pulogadung Steel kepada Eka Tjipta Widjaja, pemilik Bank Internasional Indonesia. Rawung bingung, kok, kasus Sawangan Hill dikaitkan dengan Pulogadung Steel. Bagaimanapun, belakangan, Rawung akhirnya bersedia menyerahkan sisa sahamnya kepada Eka Tjipta Widjaja. "Saya serahkan pada Pak Hasan Machmud saja untuk mengatur bagaimana caranya." Dan Hasan meminta agar ucapan itu disampaikannya di persidangan. Tapi, sebelum hal itu terlaksana, hakim yang terkenal murah senyum itu keburu dipromosikan menjadi hakim tinggi di Palembang. Kasus Rawung diserahkannya kepada Hakim Sarwoko. Sebelum meninggalkan Jakarta, katanya kepada TEMPO, ia sudah menyiapkan putusan - tinggal membacakannya saja. Tapi, ternyata, Sarwoko memilih jalannya sendiri. Nah, dari sudut itulah, Rawung punya alasan untuk menuduh ada persekongkolan antara Hasan dan Eka untuk menghabiskan sahamnya di Pulogadung Steel. Itulah sasaran utama Eka Tjipta, tuduh Rawung lagi, memperkarakan kasus Sawangan Hill. PT Pulogadung Steel lahir tahun 1970 di kawasan industri Pulogadung. Manuel Rawung duduk sebagai Direktur I dan Willy H. Rawung sebagai Direktur II. Sebagai pendiri, Manuel Rawung menguasai saham 60%, sedang Ong Tian Giok, pemegang saham yang lain, punya andil 10%. Pada 1972, Eka Tjipta Widjaja masuk, memegang sejumlah saham. Tapi, setahun kemudian, terjadi perselisihan mengenai pembagian saham antara Manuel Rawung dan Eka Tjipta. "Karena secara tiba-tiba saham saya tinggal 5% - sebagai saham biasa," kata Manuel Rawung. Ternyata, di situ ada perubahan jenis dan komposisi saham dengan akta baru yang dibuat Eka. Rawung merasa dipermainkan. Dengan demikian, "Saham tinggal 5% itu sebenarnya tipuan," kata Willy H. Rawung, kepada TEMPO. Tidak hanya kedua Rawung yang kesal. Ong Tian Giok juga marah. Mereka pun berusaha menggugurkan akta yang baru itu. Gegerlah para pemegang saham. "Setelah dirapatkan beberapa kali, akhirnya diputuskan bahwa soal saham Ong Tian Giok yang hilang itu akan diselesaikan oleh Eka Tjipta," kata Willy lagi. Tapi, Ong keburu meninggal, karena kecelakaan lalu lintas. Ketika Rawung siap-siap menggugat soal saham, Eka lebih dulu mengungkapkan kasus penggelapan tanah di Sawangan Hill. Berdiri pada 1971, PT Sawangan Hill adalah hasil kerja sama antara lain Manuel Rawung, Eka Tjipta, dan Mu'min Ali Gunawan dari Panin Bank. Sebagai direktur, Manuel Rawung mengusahakan pembebasan tanah. Tapi, belakangan, konon gara-gara pengurusan sertifikat atas tanah yang dibebaskannya tak segera cair, pertikaian pun tak dapat dihindarkan. Rawung dituduh menggelapkan modal. Tapi ia balik menuduh mitra kerjanya tak mau melunasi setoran yang dijanjikan. Perselisihan berkepanjangan sampai ke tangan polisi. Tapi, agaknya, ada juga jalan perdamaian. Rawung dan Eka sepakat tidak akan saling menuntut setelah Eka menyetorkan uang Rp 500 juta lebih kepada Manuel. Toh, belakangan, 1982, Manuel Rawung tetap dimejahijaukan. Gara-gara kasus Sawangan Hill, rencana Rawung menggugat Eka Tjipta soal saham menjadi tersendat-sendat. Jalan damai tak ditemukan. Sebab, "Kasus Sawangan itu dibuat sedemikian rupa menjadi 12 tahun oleh Eka," kata Willy tegas. Maka, Rawung pun melaporkannya kepada tim Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman. "Sungguh, saya tidak menyangka bahwa ada latar belakang mengapa sampai tlmbul kasus Sawangan Hill ini, dan mengapa sampai saya dijadikan terdakwa," kata Manuel kepada Tim. Dan Willy pun menimpali, "Saya sangat kecewa setelah menyaksikan sendiri Hasan Machmud, sebagai Ketua Majelis ataupun Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, bisa ikut campur dalam soal ini." Pihak pemeriksa dari Itjen Departemen Kehakiman, Nyonya Farida Datuk Djamin, membenarkan sudah memanggil Manuel Rawung, Gempar (panitera), dan Eka Tjipta Widjaja. Tapi Eka belum juga hadir. Untuk itu, pihaknya juga akan memanggil Hasan Machmud, Sarwoko, dan Pengacara Prastowo - yang lebih dikenal sebagai penghubung Hasan Machmud dan Manuel Rawung. Hakim Hasan Machmud sendiri belum dapat dihubungi. Juga Eka Tjipta Widjaja. Tapi, jelas, hasil penelitian Tim Farida nanti yang diharapkan bisa menguji tuduhan-tuduhan Rawung. Untuk sementara memang tak patut menuduh bahwa ada hakim yang terampil memukulkan palunya ke kiri dan ke kanan. Agus Basri, Laporan Eko Yuswanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus