BAK dibelai Dewi Kemujuran, Manumpak Horas Panjaitan terbebas dari urusan pidana: perkaranya digugurkan Hakim Ismail Sebayang, di Pengadilan Negeri Medan, pekan ini. Kisah bekas Kepala Dinas Pendapatan Sum-Ut ini sebelumnya ramai di koran-koran Medan. Waktu itu, 4 Oktober 1985, ayah 5 anak yang kini berusia 51 ini tertarik pada Rohani, 16, yang berjualan minuman botol di lapangan golf Tuntungan, Medan. Panjaitan sudah 6 tahun bermain golf di sana. Dari gelagat alumnus Fisipol UGM Yogya, 1966, yang terbilang ramah pada Rohani ini, Udin, caddy, menggoda: "Bapak 'naksir?" Panjaitan mengangguk. Setelah dibujuk Udin dan temannya, Iwan, esoknya Rohani, cewek kelas II SMP, mau pula diboyong mereka ke Hotel Polonia, Medan. Di situlah, di kamar 107 Panjaitan konon "lebih ramah" kepada Rohani. Malam itu juga, pukul 20.00, Rohani pulang ke rumahnya. Karena anak ini tak biasa pulang malam, ayahnya, Sumadi, 49, curiga. Lalu ia mengusut anak ke-6 dari 8 bersaudara itu. Karena tak tahan dihardik, cewek berkulit kuning langsat itu mengaku. Ia bahkan menunjukkan "uang sabun" Rp 50 ribu, yang diberikan Panjaitan. Merasa penasaran, Sumadi mengadu ke Poltabes Medan. Dan besoknya, 8 Oktober, polisi menangkap Panjaitan. Tapi ia keluar lagi pada 10 Oktober dengan status tahanan kota. Selepas itulah, Panjaitan menemui Sumadi di Pondok Batu Tuntungan, 15 km dari Medan. Ia beriba-iba agar Sumadi mencabut pengaduannya. Dan berhasil. "Saya kasihan," kata Sumadi, kakek 8 cucu itu, kepada Umar Sitorus dari TEMPO. Panjaitan berikrar bahwa Sumadi dan Rohani, katanya, disebutnya sebagai "keluarga" sendiri. "Kapan-kapan perlu bantuan, datanglah," bujuk Panjaitan seperti ditirukan Sumadi. Pada 12 Oktober, Sumadi mencabut pengaduan itu dari polisi. Untuk itu, Panjaitan memberi kepada orangtua Rohani, duit Rp 1 juta. Tapi perkara, ternyata, terus meluncur ke meja hijau. Persidangannya berlangsung "kilat". Setelah Jaksa Soedirman membacakan dakwaannya, 1 April, pemeriksaan saksi-saksi hanya sehari saja, 9 April lalu. Di muka hakim, Sumadi dan Rohani kembali mencabut pengaduan mereka. "Kami tak keberatan pada perlakuan terdakwa," kata Sumadi dan Rohani. Nah, apa lagi? Sebayang pun mengatakan bahwa pemeriksaan selesai. "Jaksa juga tak mengajukan tuntutan," kata Sebayang. Kepada TEMPO, pekan lalu, Sebayang mengisyaratkan akan menggugurkan perkara pidana itu. "Baca saja pasal 75 KUHP," kata hakim ini, tanpa bermaksud mendahului ketukan palunya pada Selasa pekan ini. Pasal hukum pidana itu memang memungkinkan pencari keadilan mencabut pengaduannya. Panjaitan tentu gembira karena perkaranya dinyatakan gugur. "Penderitaan moral keluarga saya berakhir," katanya kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Maklumlah. Dari 5 anaknya, 4 gadis. Cuma, ia menyesali, kenapa kasusnya sampai pula ke meja hijau. "Mestinya cukup dideponir jaksa," kata Panjaitan, yang bertubuh semampai itu. Dia juga berharap masa skorsingnya di Pemda Sum-Ut ditinjau kembali. Sejak 18 Oktober, ia menyerahkan jabatannya kepada pejabat sementara, Drs. Ali Umar Lubis. Belakangan, jabatan ini secara definitif dipegang Drs. Amiruddin Lubis, bekas wali kota Tebingtinggi. Usai sidang, Panjaitan tampak terharu. Agak tersipu, ia menghindari pandangan pengunjung sidang, dalam pelukan istrinya. Bagaimana dengan Rohani dan Sumadi? "Putri saya mau juga sekolah di SMP PGRI Tuntungan," kata sang ayah. Tadinya, Rohani sekolah di SMP Pancurbatu, 4 km dari Tuntungan. Duit Rp 1 juta itu? "Gara-gara hilir mudik kian kemari karena kasus itu akhirnya ludes juga," kata Sumadi. Tapi ada juga hikmahnya. Kini Panjaitan menjadi "saudara angkat" mereka. Sebelum kasusnya itu, menurut sebuah sumber, memang banyak yang mengenal Panjaitan sebagai "pemurah". Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini