SEMUA KARENA GINAH Sutradara, Skenario, dan Penulis Cerita: Nyak Abbas Akup Pemain: El Manik, Asmuni, Perucha, Doyok. GINAH memang hanya dongeng. Karena itu, si penjual jamu gendongan ini bisa sangat cantik dibandingkan rekan-rekannya. Tentu saja ia pun punya kemampuan memutar otak yang lebih juga. Itulah kenapa ketika ia beranjak kaya raya karena menjadi model iklan sebuah perusahaan jamu tradisional - tapi digarap dengan mesin dan dikelola dengan manajemen modern - pada suatu ketika ia pun membuang segalanya. Kembali menjadi penjual jamu gendongan, dengan sikap dan cita-cita baru: berusaha dengan modal sendiri yang telah dimiliki. Kira-kira ia bercita-cita jadi pengusaha besar sambil terus memelihara suasana perusahaan kecil. Yang terasa kemudian ialah suatu impian. Impian seorang Nyak Abbas Akup yang kini 54 tahun, yang pernah menertawakan dengan santai kaum kaya baru dalam film Inem Pelayan Sexy (1976). Ketika Ginah (Soraya Perucha) kembali ke lapangan tempatnya mangkal bersama tukang gado-gado dan para wiraswasta informal lainnya, latar belakang gedung-gedung tinggi yang megah itu, kok, rasanya tetap menjadi sesuatu yang tak bisa dikalahkan hanya dengan niat baik dan idealisme tinggi. Betapapun senyum Ginah mengajak penonton untuk optimistis, ada suatu napas kesia-siaan yang tercium rasanya - ini hanya suatu impian. Tapi bagaimanapun Abbas Akup, sutradara yang tercetak lewat kursus sinematografinya Almarhum Usmar Ismail, orang yang hadir dan diakui lewat Tiga Buronan yang sukses, masih setia'pada "falsafah" yang pernah dikatakannya "Saya membuat film tak sekadar mencari uang," itu dinyatakan 15 tahun lalu. Dalam semua filmnya ada sesuatu yang terasa ia usahakan melatarbelakangi gambar-gambar yang bergerak itu. Tapi, berbeda dengan karya Sjumandjaja almarhum, yang memunculkan ide di permukaan hingga tak jarang menyebabkan filmnya terpaksa terasa mengorbankan segi sinematografinya, Abbas masih punya perhitungan dengan penonton, tampaknya. Yang terasa sukses tentulah Inem Pelayan Sexy dulu itu. Film berjalan dengan lancar, padat, keseluruhan cerita kaya akan sindiran yang mengena, dan adegan divisualkan dengan pas. Satu contoh, ketika gosip lewat telepon antar ibu-ibu, bahwa salah satu komplotan mereka punya pembantu yang seksi dan cantik. Maka, pada giliran penelepon terakhir, berita jadi berubah, katanya, tuan majikan mau menikah dengan pembantunya. Tapi dengan Ginah Abbas tak cukup puas hanya dengan berlucu-lucu menyindir. Ia "mengisi" film tentang penjual jamu gendongan dengan ide gagah: munculnya seorang pahlawan yang mencoba menyelamatkan perusahaan tradisional dari saingan perusahaan jamu modern, yang bergerak di pasaran internasional. Ginah memang terasa jadi heroine, terutama dibandingkan dengan bekas majikannya bos perusahaan yang tradisional - yang menyerah: ia menjual rumah usahanya, mengemasi harta bendanya siap hidup tenang di kampung halaman. Adegan itu memang jadi titik balik si Ginah. Di tepi sungai, barang-barang, meja, kursi, almari bertumpuk siap diangkut. Si bos, seorang ibu setengah baya, duduk tercenung, menyerah. Datanglah Ginah, dengan mobil mewah, berkerudung hitam dan berkaca mata mahal. Lalu ia kaget bahwa perusahaan yang mengangkatnya menjadi model iklan ternyata yang telah membuat bangkrut bekas majikannya. "Jamuku tetap pahit, sementara jamumu yang baru dengan rasa stroberi," demikian kata bekas majikan itu. Lalu Ginah pun mengambil keputusan, dan seterusnya. Bila film ini tak terasa menyodor-nyodorkan ide, sebab Abbas Akup menggarap cerita bagaikan sandiwara Srimulat. Yaitu, cerita berjalan tak selalu setia pada fokus. Banyak kali adegan yang bisa dibuang tanpa merusakkan cerita. Ketika anak-anak Asmuni yang memerankan seorang bapak - bermain catur dengan kakeknya, ketika Asmuni lari-lari pagi dan mengganggui Ginah, umpamanya. Ini mengingatkan adegan-adegan sandiwara Srimulat, yang diadakan lebih untuk memberi kesempatan pelawak melucu daripada mendukung cerita. Maka, bagi yang menginginkan sebuah film dengan plot yang setia pada fokus, bisa jadi merasa film ini terlalu lamban dan melebar-lebar. Tapi bagi penonton Srimulat, inilah hiburan yang segar. Segar karena ada "jamu"-nya: ya, itu tadi, yang sudah disebutkan beberapa kali, tokoh Ginah pada akhirnya berpihak pada rakyat kecil, meninggalkan perusahaan besar. Dan hampir semua pemain, meski tak cemerlang, cukup mendukung suasana cerita. Tentu saja Abbas Akup tak harus dituntut memberikan jalan keluar yang masuk akal dan realistis. Bahwa ia membuat Ginah kembali ke khasanah tradisional, barangkali lebih sebagai klimaks lelucon. Atau, paling banter, sebagai impian datangnya seorang pahlawan penyelamat rakyat - mirip harapan datangnya Ratu Adil itu. Yang mesti dicatat, di antara film-film yang sekadar hiburan dengan mutu yang masya Allah, ternyata masih ada Nya Abbas. Dan, dengan caranya sendiri, jebolan Fakultas Hukum UI ini kurang lebih masih mencoba mendudukkan dirinya semacam pawang cerita: menghibur sekaligus memberikan kritik, imbauan, pada hal-hal yang dianggapnya melenceng. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini