Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seorang putri di sarang mafia

Kisah antoinette giancana, putri seorang raja mafiooso, sam mooney giancana, di chicago, as. dituturkan dalam buku mafia princes, karangannya. jalan hidupnya berbeda dengan apa yang diinginkan ayahnya. (sel)

20 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ILLINOIS, Chicago 19 Juni 1975. Di sebuah rumah mewah, yang pagar halamannya hanya berupa tanaman hidup dipotong pendek, seorang bos dibunuh. Sam Mooney Giancana, 67, dihabisi dengan tujuh peluru yang ditembakkan dari senjata otomatis kaliber 22 yang dilengkapi peredam suara, di dapur ruang bawah ketika ia sedang menyiapkan makanan sebelum tidur. Satu peluru menembus belakang kepala, satu mulut, dan lima peluru menghantam leher persis di bawah dagu. Dia bos mafia wilayah Chicago dari 1956 hingga akhir 1960-an, sebelum dikejar-kejar FBI dan terpaksa mengucilkan diri ke Meksiko. Dialah "pewaris" tahta kejahatan di Chicago dari Al Capone, yang sanggup menandingi nama besar mahagangster itu. Giancana-lah tokoh mafia yang terlibat dalam Peristiwa Teluk Babi, April 1961, sebuah usaha percobaan pembunuhan terhadap presiden Kuba Fidel Castro, atas pesanan CIA. Mafioso ini pula salah seorang yang punya andil ketika John F. Kennedy berkampanye untuk pemilihan presiden AS dan menang. Sebagaimana lazimnya para mafiosi yang lain, sedapat mungkin mereka menyembunyikan profesi sebenarnya dari keluarganya, terutama anak-anak perempuan mereka. Dan begitulah Sam Giancana. Yang kemudian menyimpang dari tradisi mafia, seorang putrinya, Antoinette Giancana, kemudian tahu dan menulis sebuah buku tentang sukaduka menjadi anak bos mafia. Umpamanya, ternyata ayahnya lebih tahu secara detail riwayat pacarnya daripada dia sendiri. Dan akibatnya lebih banyak tak enaknya. * * * Kalau saja Antoinette Giancana lahir sebagai anak laki-laki, putri sulung tiga bersaudari keluarga Giancana itu pernah menyatakan ingin meneruskan jejak ayahnya sebagai bos mafia. Tetapi karena dilahirkan sebagai perempuan, ia harus menerima nasib seperti yang didiktekan ayahnya. Dari masa kanak-kanak hingga remaja ia hampir tidak tahu-menahu kegiatan kriminal ayahnya, walaupun menerima perlindungan sepenuhnya dari "keluarga" mafia. Padahal, sang ayah diperkirakan bertanggung jawab terhadap tewasnya puluhan, mungkin ratusan, manusia. Barangkali terasa ganjil bahwa sejak Antoinette dilahirkan sampai ayahnya tewas oleh pembunuh gelap, seluk-beluk dunia mafia tetap merupakan rahasia baginya. Ketika ia masih di bawah umur lima tahun, ayahnya mendekam di penjara federal di Indiana. Bertahun-tahun ia dipaksa tinggal di asrama sekolah Katolik di Chicago dan Indianapolis, dunia di balik tembok yang asing dengan tindak-tanduk kejahatan ayahnya. Dengan cara itu, bapaknya seperti ingin berbuat "luhur": mempersiapkan sang putri bagi pergaulan masyarakat kelas tinggi di kemudian hari. Ketika ayahnya berhasil meningkatkan dirinya dari penjahat jalanan menjadi kepala gang gedongan, masyarakat jet-set terhidang dengan gampang di hadapan Antoinette. Ia berkenalan dan bergaul dengan bintang-bintang film top masa itu: Frank Sinatra, Jimmy Durante, Jerry Lewis, Tony Martin, dan sejumlah bintang Hollywood lainnya. Ia memang mendapat curahan kekayaan dan kemewahan, tetapi miskin satu hal yang paling didambakan semua anak perempuan: kasih sayang dari sang ayah. Para penegak hukum memperkirakan, Sam Giancana meninggalkan kekayaan sekitar US$ 25 juta, tersimpan dalam rekening rahasia atau bentuk lainnya. Tetapi hampir tidak ada yang jatuh ke tangan Antoinette, anak tertuanya. Ia tinggal di losmen murahan, dengan makanan dan pakaian catuan. Ia pernah mencoba bunuh diri karena ditinggalkan oleh keluarganya, bahkan oleh anak laki-lakinya. Ia sempat menjadi sasaran penipuan, dan upayanya membuka restoran di Schiller Park, Illinois, dicobagagalkan. Namun, Antoinette, seperti hendak menebus dosa-dosa ayahnya. Ia tetap berupaya membantu orang-orang yang lebih malang daripada dirinya. Ia pernah merawat sejumlah orang yang sekarat karena menderita kanker di apartemennya yang kecil, juga di sebuah rumah sakit. Ia pun berhasil membujuk orang-orang putus asa yang berniat bunuh diri. Seminggu dalam setiap tahun, yakni sebelum Natal, Antoinette bekerja sebagai sukarelawati YULE, sebuah organisasi sosial yang aktif membantu orang-orang miskin, para jompo, atau orang yang kesepian pada musim Natal. Organisasi inilah yang membantunya ketika ia dirundung kecewa dan putus asa. Mafia Princess, buku terbitan Corgi Books, 1985, yang ditulis sendiri oleh Antoinette Giancana, mengungkapkan hampir seluruh perjalanan hidupnya. Menurut Thomas C. Renner -- penulis peserta buku ini -- Mafia Princess, sebuah buku yang datang dari dunia mafia, belum ada duanya di dunia. Maksudnya, belum ada seorang putra atau putri mafia pun yang mau, atau berani, menulis tentang diri dan keluarganya, selain Antoinette, anak sulung seorang raja kejahatan di Chicago -- wilayah angker di AS di samping New York. * * * "Ayahku bukanlah orang berpendidikan. Ia hanya sempat menyelesaikan pendidikan dasar enam tahun sebelum ia turun menggelandang di jalan-jalan Chicago. Tapi untuk pelajaran matematika sederhana, otaknya cukup cemerlang. Ia mampu mengingat angka-angka, menambah, mengurang, mengali di luar kepala, hampir seperti komputer. Tekan tombol yang tepat, lalu keluarlah angka-angka yang tepat. Untuk berbagai kejahatan yang dilakukannya di jalan-jalan, ia sungguh pintar menghilangkan jejak. Kecerdikannya yang kian berkembang pada gilirannya meningkatkan pengaruhnya di kalangan dunia hitam. Belakangan, upaya menghilangkan jejak itu menjurus ke bentuk-bentuk yang mendirikan bulu roma. Bahkan seorang sahabat dekat harus siap dibantai, demi keselamatan kelompok. Nasib ini harus dialami, misalnya, oleh Leonard Caifano, seorang teman yang paling dekat baik denganku maupun ayahku. "Ayah memang berasal dari keluarga yang papa sengsara, seperti kebanyakan anak kaum imigran Italia. Kakekku, ayah dari Ayah, Antonio Giancana, datang ke Amerika dari Castelvetrano, Sisilia, pada 1905, ketika arus imigran mencapai puncaknya. Kakek sangat miskin. Dari golongan seperti Kakeklah berasal para penjaja buah, sayur, ikan, daging, tepung, telur, dan semacamnya. Mereka harus bertarung mati-matian di jalan-jalan Chicago yang kotor dan berdebu, untuk dapat menghasilkan sekadar bekal kehidupan bagi keluarga mereka yang menetap di perkampungan yang kumuh dan menjadi sumber penyakit. Di lingkungan yang sama pula Ayah menghimpunkan kelompok bandit yang dikenal dengan nama "42" yang dipimpinnya." Antoinette ingat akan cerita bibi-bibinya bahwa Sam adalah anak yang tidak pernah berbuat salah di mata kakek Antonio. Tidak peduli berapa kali anak kesayangannya itu berbuat salah, ia tetap benar di mata sang ayah. Bila polisi mengabari bahwa Sam ditahan dan diperlukan uang jaminan dan seorang pengacara untuk membebaskannya Kakek Antonio lalu berkata, "Mooney-ku .... Ia tidak boleh ditahan lebih lama. Ia anak baik. Aku akan mengeluarkannya." Bagi Kakek Antoinette di rumah boleh tidak ada roti, tetapi Sam harus dikeluarkan dari kerangkeng, dengan uang hasil utangan sekalipun. "Penahanan paling gawat di tahun-tahun awal itu terjadi pada 17 September 1926, ketika Ayah dituduh terlibat pembunuhan. Tuduhan itu muncul karena Ayah mendalangi beberapa anggota kelompok '42' dalam kasus perampokan terhadap seorang tukang cukur setengah baya bernama William Girard. Teman-teman Sam menembak Girard karena ia melawan, dan Sam kabur dengan mobil sebelum teman-temannya melarikan diri, tetapi sempat terlihat oleh beberapa sopir taksi. Girard meninggal keesokan harinya, dan Sam bersama teman-temannya ditangkap. Akan halnya Kakek, dengan bersusah payah mengumpulkan uang untuk membebaskan putranya ...." * * * Desember 1939 adalah musim Natal yang murung bagi Antoinette. Waktu itu ia masih berusia 4 tahun. Beberapa waktu sebelumnya, ketika menonton pertunjukan meluncur di es yang dibintangi Sonja Henie, ayahnya menjanjikan akan memberikan sepasang sepatu luncur es sebagai hadiah Natal. Tapi, siapa tahu, ternyata ayahnya masuk "kuliah" di penjara Terre Haute, Indiana. Bahkan kehadiran ayah pada hari besar umat Nasrani juga menjadi harapan yang sia-sia - tanpa diketahui alasan sebenarnya oleh si kecil Toni, panggilan Antoinette sehari-hari. "Ibu mengatakan jangan berharap banyak dari Sinterklas. Tapi sungguh sukar dipahami oleh seorang anak kecil, mengapa pada tahun lalu Sinterklas dapat menghadiahkan piano dan boneka-boneka serta pakaian gemerlapan, dan pohon Natal tinggi yang kemerlap-kemerlip, tapi pada tahun berikutnya tak mampu memberikan hadiah apa pun. "Pada suatu malam aku berlutut di dekat ranjangku dan memohon kepada Tuhan agar memperbolehkan Sinterklas menghadiahiku sepatu luncur es, sehingga dapat belajar main ski es sepintar Sonja Henie dan dapat kubanggakan kepada Ayah bila ia pulang nanti. Aku malah sampai mengiba-iba kepada Ibu agar ia turut berusaha menghadirkan Sinterklas pada waktunya. Ibu tersenyum memelas. 'Mungkin tahun depan,' katanya lembut. "Sekitar seminggu sebelum Natal, Fat Leonard sahabat Ayah, mampir ke rumah membawa sebuah amplop dan meyakinkan Ibu bahwa segalanya baik-baik saja. Aku kembali merengekkan sepatu luncur es, di depan si Gemuk Leonard. Tapi Momma berkata bahwa mungkin Sinterklas tidak akan datang dan tidak ada yang dapat menghubunginya selama Ayah tidak di rumah. "Aku menatap Fat Leonard, yang cuma tersenyum. Bagaimanapun Leonard Caifano, ini nama dia yang sebenarnya, sahabat ayah ini, adalah seorang om yang gemuk dan lucu dan baik hati. "Menjelang senja, aku mendengar suara 'Ho, ho, ho', dan melihat seorang laki-laki gemuk dengan jubah merah dan janggut putih masuk ke ruang keluarga. Ia meninggalkan beberapa hadiah yang dibungkus rapi di bawah pohon Natal. Ia pergi secepat ia datang sebelum aku berani meninggalkan kamar tidurku. "Setelah ia pergi, aku memburu ke kamar keluarga dan ketika Ibu menatapku denan senyum, aku memekik ria, 'Lihat, Momma, tengok .. Sinterklas datang . . . ia benar-benar datang!' "Tanpa menunggu jawabannya, aku bongkar setiap hadiah sampai menemukan sebuah kotak berbentuk agak lain. Terlekat selembar kartu dengan namaku. Aku menjerit-jerit, langsung menyobek kertas pembungkusnya. Ketika aku membuka penutup kotak, di dalamnya tergeletak sepasang sepatu luncur es yang indah dengan lemping peluncurnya yang kemilau keperak-perakan. "Aku menjerit-jerit. Aku menangis, tangis kegembiraan. 'Aku mendapat sepatu luncur yang kuidam-idamkan! Aku memperolehnya!' Aku memekik dengan seluruh perasaan yang selama ini terpendam dalam paru-paruku. 'Aku menjadi anak paling beruntung di sekitar ini!' "Belakangan aku mengetahui, Sinterklas yang menghadiahiku sepatu luncur es itu adalah Leonard Caifano, tukang jagal profesional ayahku. Tapi siapa menduga, di kemudian hari, Ayah sendiri tega menembaknya sampai mati." * * * Ia lahir sebagai Annette pada 23 Juni 1935 di Mother Cabrini Memorial Hospital. Pada waktu itu, ayah dan ibunya tinggal di 2822 West Lexington Street, Chicago, Illinois, kawasan permukiman orang Italia yang miskin tetapi cukup bersih. "Annette adalah nama yang tidak kusukai begitu aku besar, karena itu kemudian aku mengubahnya menjadi Antoinette, yang lebih enak didengar dan sophisticated." Antoinette belum lagi berusia empat tahun ketika Sam membawa seluruh keluarga berlibur di Rhinelander, Wisconsin. Ke mana pun ia pergi, Sam selalu berusaha tampil dalam citra kelas satu. Mobilnya adalah convertible roadster yang mahal -- yang populer dalam era gangsterisme Chicago -- yang selalu dirawat sebaik-baiknya, selalu dalam keadaan mengkilap. "Ia anak muda yang cepat melesat ke atas dan ia tak pernah khawatir seluruh dunia akan mengetahuinya. Ketika kami pergi ke Rhinelander, uang dihamburkan tanpa batas. Kami bermalam di hotel mewah, di beberapa kamar suite, termasuk kamar tidur terpisah untuk Momma, Dad, adikku Bonnie, dan aku. Semuanya dengan kamar mandi yang terpisah dan kamar duduk yang dilengkapi dengan bar yang berisi penuh. "Saat-saat yang sangat manis. Ayah dan Momma membawa kami berbelanja, berenang bersama di pantai khusus orang-orang patut, serta berpiknik. Peristiwa yang belum pernah aku alami sebelumnya. "Kehidupan tampaknya mengalir dengan tenang dan gampang, sehingga aku sama sekali tidak sadar akan setiap bahaya yang siap mengancam. Tentu, karena pada usia balita itu aku tidak tahu peran apa yang dimainkan Ayah dalam berbagai perampokan yang dilakukan atau dipimpinnya, atau pada beragam kegiatan kejahatan lainnya. "Bahaya sangat jauh dari pikiranku ketika suatu pagi menjelang siang aku mendengar sebuah ketukan di pintu suite. Momma dan Dad masih di kamar tidur dan Bonnie bermain dengan pulpen mainan di kamar tidur kami. Ketukan kedua diikuti oleh suara seorang laki-laki mendorong ke dalam sebuah kereta makan. Ayah datang dari kamar tidurnya. Mendadak, untuk sejenak, wajahnya seputih taplak putih.Ia langsung mundur ke kamar tidur dan kembali bersama Ibu untuk membayar makanan. "Hampir bersamaan dengan tertutupnya pintu, Ayah langsung melampiaskan amarahnya. 'Jangan sekali-kali lagi, jangan sekali-kali lagi membukakan pintu bagi seorang asing!' ledaknya sambil memelototi aku. Lalu ia menyingkir tanpa menyantap makanan, sambil menggumam tentang kemungkinan aku 'dapat membuat kita semua terbunuh pada suatu hari'. "Aku, tentu, sampai tahun-tahun terakhir tidak menyadari kemungkinan adanya seseorang yang menyamar sebagai pelayan kamar dan ternyata ia pembunuh profesional. Aku juga tidak mengerti mengapa Ayah seperti selalu dalam ketakutan, kalau-kalau suatu hari, di suatu tempat, dihabisi oleh seseorang. Demikian banyak memang anggota komplotan Al Capone, dulu, yang terbunuh ketika menerima bunga, sedang makan di restoran, atau begitu mereka membukakan pintu tanpa memeriksa dulu siapa yang datang. Kian lama waswas Ayah itu menular pula padaku, menjadikan aku selalu ketakutan bila sedang bersamanya." Rumah mereka di West Lexington dan, belakangan, di Oak Park, menjadi tempat pertemuan atau sasaran kunjungan sahabat-sahabatnya -- baik dari teman-teman lama Gang "42" maupun dari bekas kelompok Al Capone. Namun, teman atau bukan, Sam tidak pernah menyambut mereka langsung di depan pintu rumahnya. Ia juga tidak memperbolehkan anak-anaknya, termasuk sang Putri, membukakan pintu. "Itu membekaskan kesan dalam dan abadi pada diriku sebagai seorang anak. Begitu banyak aturan berjaga-jaga yang diberlakukannya di rumah dan di luar rumah. Momma, tak peduli betapa letih dan sakitnya ia, harus selalu siap turun dari lantai kedua atau ketiga rumah kami untuk menjawab speakerphone, sebelum membukakan pintu. Jika Sam menolak bertemu, Ibu cukup mengatakan Ayah tidak di rumah." Jika mereka hendak masuk ke sebuah restoran, Sam Giancana biasanya mengelilingi dulu beberapa blok di sekitarnya untuk melihat apakah ada suatu keadaan yang tidak menurut biasanya. Jika keadaan sekitar berkenan di hatinya, Sam masuk ke restoran dengan mata masih awas: adakah di sana seseorang yang mencurigakan. Memilih meja pun tidak boleh di dekat jendela, tetapi harus membelakangi dinding sehingga bidang yang harus diawasinya tidak lebih dari 180 derajat. "Sikap berjaga-jaga Ayah, paranoia-nya terhadap orang asing meluas bahkan terhadap teman-temanku dan teman adik-adikku Bonnie dan Francine. Ini sangat menyulitkanku, karena kami dituntut hanya memiliki teman-teman sejati demi kerahasiaan diri Ayah. Setiap orang yang kukenal segera diteliti dan disaring dengan hati-hati. Aku dengan cepat menyadari bahwa anak-anak para tetangga, apakah di Lexington Street, atau belakangan di South Monitor, atau di pinggiran Oak Park, tidak dibolehkan masuk ke rumah -- kecuali dengan izinnya. "Tadinya aku mengira larangan bagi anak-anak memasuki rumah karena Ayah khawatir mereka membawa pulang cerita tentang mebel, porselen, perak, dan kristal mahal-mahal, yang dapat mengundang datangnya orang pajak. Ini ada benarnya. Tapi yang lebih penting, Sam tidak ingin malapetaka datang dari orang pajak. Soalnya, Al Capone dulu justru ditangkap oleh orang pajak, dan Ayah belajar dari kesialan rekannya itu. "Aku selalu terheran-heran betapa banyak Ayah tahu tentang teman-temanku dan keluarganya. Belakangan baru aku tahu ia rupanya mempunyai intel-intelnya sendiri, dan informasi yang mereka sampaikan sungguh merupakan kejutan. Ia dapat bercerita pada Ibu bahwa Ayah salah seorang temanku seorang pemabuk atau maling. Atau, ibu anak itu suka tidur dengan lelaki lain. Ia tampaknya tahu berapa kali orang tersebut bernapas atau melakukan hubungan intim." * * * Samuel (Mooney) Giancana, bandit Chicago itu, ternyata menginginkan agar Antoinette menjadi anak yang saleh. Itulah sebabnya sang Putri Mafia harus masuk sekolah Katolik, dan tinggal di asrama, pertama ketika masih anak-anak, dan kemudian sesudah remaja. "Rupanya, Ayah menginginkan ada seorang biarawati dalam keluarganya. Bila tidak lahir seorang pendeta, seorang biarawati cukuplah. Dan aku harus menjadi biarawati." September 1940, ketika Sam berada dalam penjara federal karena melakukan tindak penyelundupan. "Pada suatu Minggu petang aku masuk ke kamarku dan menyaksikan Ibu sedang menjahitkan label namaku pada handuk, seprai, semua barang milikku, dan memasukkannya ke dalam sebuah kopor. "Aku menyiapkan barang-barangmu untuk sekolah," jawab Ibu lembut ketika ia kutanya. Aku melihat kepada pakaian yang ia siapkan dan aneh terasa. Tapi pikirku, 'Itu bukan pakaianku. Aku tidak ingin memakai pakaian seperti itu. Pakaian-pakaian seragam itu'." Antoinette berontak. Begitu juga sesampai di asrama sekolah. Toh, ia tak berdaya. Rencana bapaknya harus berjalan. Berada di asrama, keadaan jiwa Antoinette bertambah buruk. Ia mengompol setiap malam, sehingga semalam dua kali ia dibangunkan oleh pengawas asrama dan dipaksa mencuci sendiri seprainya yang basah, di tengah malam itu juga. Hanya seorang di asrama itu yang bersikap lemah lembut kepadanya, Suster Roberta. Dialah yang acap kali datang mendinginkan kegelisahannya. Dengan kasih sayang ia selalu berkata, "Tidurlah, Anetka kecilku . . . Tuhan mencintaimu seperti juga aku." Ternyata, Putri Mafia ini tidak pernah menjadi seorang biarawati. Tapi apa pun cita-citanya kemudian, seorang model atau seorang bintang film, usaha ke arah itu selalu terhambat oleh nasibnya sebagai anak seorang mafioso. Ruang geraknya terbatas, karena bisa mencelakakan karier ayahnya sebagai raja bandit. Namun, kalau sekadar berkenalan dengan lingkungan masyarakat seperti itu, dengan masyarakat Hollywood misalnya, pengaruh ayahnya yang kian meluas sampai ke kalangan orang film cukup memberi jalan. Pada 1949, seorang produser sudi menerima seorang gadis ingusan usia 14 tahun untuk melihat-lihat studio besar Metro-Goldwyn-Mayer (MGM). Bayangkan, produser itu sendiri yang menjamunya, bahkan memperkenalkan gadis itu kepada para mahabintang masa itu: Greer Garson, Jimmy Stewart, Walter Pidgeon, dan Spencer Tracy. "Pada Juni tahun itu aku merasakan betapa pengaruh Ayah terhadap produser film kaliber Joseph Pasternak. Ia menghabiskan sehari penuh mengantarkanku berkeliling studio MGM, memperkenalkan aku kepada para bintang, dan dunia glamour serta kegemerlapan Hollywood." Jauh sebelumnya, ketika masih duduk di Akademi Katolik yang gagal dirampungkannya, Antoinette sudah sangat ingin menjadi aktris. "Aku ingin memakai busana gemerlapan, ingin wajahku tampil di layar putih dan di sampul majalah. Aku malah mimpi meninggalkan jejak di lorong-lorong Hollywood, bersisian dengan jejak-jejak para bintang besar. Itu impian tolol, tapi itulah impianku." Menjadi bintang atau tidak, Sam sendiri mendandani putrinya lebih dari pantas. "Aku datang dengan gaya yang pantas sebagai putri Sam Giancana. Para raja Eropa tidak pernah memperlakukan putrinya melebihi yang didapatkan Putri Mafia ini, yakni aku." "Segala sesuatu berkenaan dengan perlawatan itu merupakan kemewahan triple-A. Sejak dari mobil limousine yang menjemputku dan dayang-dayangku di stasiun kereta, sampai perlengkapan di dalam kereta itu sendiri. Busanaku, banyak di antaranya dirancang oleh Georgianna Jordan, yang belum terjamah bintang Hollywood mana pun seusia diriku. "Pengaruh kekuasaan Ayah tak terlihat, tak terucapkan, tapi sangat nyata -- dan itu memesonakan. Juluran tangannya tidak hanya sampai ke MGM, tapi juga ke Paramount, ke Twentieth Century-Fox, ke Warner Brothers, ke kasino-kasino yang paling besar dan mewah di Las Vegas. Dari segepok dokumen yang disimpan FBI, di antaranya berisi uraian pengaruhnya terhadap dunia hiburan di Amerika." Pengaruh Sam Giancana juga terasa bila Antoinette menemani ayah dan ibunya makan di restoran-restoran di California. Ada saja bintang datang angkat salam ke meja mereka -- walaupun tidak selalu menyenangkan diri Sam. Dua di antara mereka yang masih diingat oleh Antoinette adalah John Ireland dan Robert Mitchum. * * * Sekembali Antoinette dari California, 1949, Sam disibukkan oleh "perang" dengan saingannya sambil terus memperluas usahanya di bidang restoran, industri rekaman dan jukebox, serta berbagai bisnis lainnya. Dalam pada itu, Sam kembali ingin mengirimkan putri tertuanya itu ke bangku sekolah, dan lagi-lagi jauh dari rumah. Berbeda dengan dua sekolah sebelumnya, kali ini Antoinette setuju dengan kehendak ayahnya. Dan berkat usaha teman ayahnya, Bapa Joe, ia diterima di Ladywood School di Indianapolis, walaupun nilai kepandaian Antoinette terbilang buruk. Setahun kemudian, pada usianya yang ke-15, Antoinette tidak ingin merayakan hari ulang tahunnya di rumah, tetapi di kediaman Bapa Joe. Dan dari sinilah awal malapetaka baginya -- atau justru suatu berkah? "Di rumah orangtuaku, seks tidak pernah diperbincangkan dengan anak-anak. Aku juga tidak pernah berani menanyakannya pada Ayah. Bukan saja akan membuatnya terperanjat, tapi Ayah bisa menuduhku telah berbuat macam-macam. Begitulah jalan pikirannya. "Dan Momma? Seks adalah sesuatu yang memalukan untuk diutik-utik, kapan saja. Sampai hari matinya, tidak pernah sekali pun ia bicara tentang kenyataan hidup itu. Kecuali ketika ia menduga Ayah ada main dengan seorang gadis berambut pirang." Itulah sebabnya, pada Juni 1950 itu, si gadis remaja menemui Bapa Joe dan memintanya memberikan konsultasi seks seusai pelajaran sekolah. "Apa yang kuperoleh lebih dari sekadar nasihat tentang seks, tapi juga pokok pangkalnya. "Petang menjelang senja itu berlangsung tanpa cela. Ada acara minuman dengan toast untukku, lalu beberapa permen dan makan malam yang disudahi dengan pemotongan kue ulang tahun yang sangat manis, serta segelas anggur. "Pada makan malam, diskusi masih biasa-biasa: tentang sekolah, kesukaranku terhadap beberapa mata pelajaran, penerapan disiplin oleh biarawati, dan betapa kesepiannya aku berada jauh dari rumah dan keluarga. Setelah makan malam, Bapa Joe membawaku ke suite-nya dalam perumahan para pastor. Di sana kami biasa melakukan percakapan bersifat pribadi bila pastor lain sedang keluar. "Aku merasa hangat dan terangsang secara aneh ketika kami duduk dalam suite-nya. Bapa Joe bukanlah pria yang terlalu gagah, tapi ia menarik dan berbicara dengan suara lembut dan menawan. Matanya lembut dan penuh pengertian, di belakang kaca matanya. Ia tampak lebih muda dari usianya yang 40 tahun dan terlebih-lebih lagi ia bertubuh atletis. "Boleh jadi anggurlah penyebabnya, barangkali suasananya, atau mungkin juga pokok perbincangan. Tapi yang jelas, aku merasa tertarik pada sosok Joe dalam cara yang mungkin ia sendiri tak pernah menduganya. Aku duduk di sebuah kursi ottoman sedangkan ia bersandar di kursi besar sambil memandangku. Lalu, dengan tertegun-tegun, aku menanyakan padanya apa yang terjadi antara laki-laki dan wanita bila mereka kawin? "Mula-mula, ia menjelaskan apa yang dilakukan oleh pasangan menikah yang kasmaran. Kemudian, ia mulai memperagakannya pada diriku -- pertama dengan ciuman-ciuman ringan, dan kemudian dengan timangan dan pelukan -- yang membangkitkan badai hawa nafsu. Lalu, tahu-tahu, kami telah berada di tempat tidurnya. Yang mengherankanku, setelah pengalamanku pertama dengan seks, dan berkali-kali kemudian, tidak pernah sekali pun Bapa Joe menganggap pergaulan intim kami itu salah. Padahal, aku tahu dan dia pun tahu apa akibat yang akan kami terima bila Ayah suatu hari mengetahuinya." Dan hubungan mereka berlanjut terus sampai beberapa lama. Malah sempat terjadi di kamar tidur Antoinette sendiri, ketika ayah-ibunya sedang keluar. Begitu romans selesai dan Bapa Joe meninggalkan kamar, tiba-tiba muncul Marie, saudara sepupunya, yang memergoki tempat tidur yang centang-perenang. Antoinette, tentu saja, mengelak dengan sangat. Tetapi kabar tentang hal itu sampai juga ke telinga orangtuanya. Maka, persahabatan Sam dengan Bapa Joe pun putus. "Hubungan akrabku dengan Bapa Joe berlanjut sampai beberapa tahun kemudian. Bagaimanapun kesudahannya, ia telah berperan sebagai pencabut sumbat botol, dan setelah itu datang sebarisan laki-laki lain. Banyak di antara mereka benar-benar menjalin cinta suci denganku, sedang yang lain sekadar datang buat sekali hinggap, untuk memuaskan dahaga seksku. Dan sekali pintu kehidupan baru terbuka untukku, itu tidak akan pernah tertutup kembali." * * * Semula Sam Giancana tidak setuju. Tapi akhirnya, Juni 1952, ia mengatur dua bedah plastik terbaik untuk putri sulungnya, di Michael Reese Hospital, Chicago. Antoinett ingin memperbaiki hidung yang agak besar dan kurang bagus, disamping memperbaiki fungsi alat pernapasan yang selama ini agak terganggu -- itulah yang dikatakannya kepada ayahnya. Adapun tujuan operasi yang sesungguhnya agar wajahnya tampil serasi. Soalnya, ia berniat merintis karier di panggung teater. "Bertahun-tahun aku merasa ada masalah dengan hidungku. Bonnie pernah menghajarnya dengan bola, dan Francine dengan tak sengaja menggebuknya ketika hendak memukul bola dalam latihan sofbol. Aku sendiri beberapa kali terjatuh dari lantai atas. Akibatnya cukup parah, hidungku menjadi bungkuk dan datar." Antoinette kian dekat dengan ibunya. Ketika itu 1952. Sang ibu sering sakit-sakitan, dan mendapat perawatan tetap karena kondisi jantungnya. Toh, ia masih sering mengerjakan sendiri pekerjaan rumah, terbungkuk-bungkuk mengepel kamar pribadi Sam yang sering dipakai buat rapat. Walaupun suami dan anaknya melarang. "Ibu juga melihat betapa tak bahagianya aku dan memahami kebutuhanku untuk berbuat sesuatu, hal yang tak disetujui oleh Ayah. Salah satu aktivitas terlarang itu adalah modelling. "Ibu mempunyai beberapa teman dan ia memintai tolong mereka untuk mendapatkan pekerjaan modelling kecil-kecilan bagiku. Aku memakai berbagai nama kembar, seperti 'Antoinette Jordan', 'Toni Jordan', dan 'Toni Wanette'. Yang lebih sering kugunakan 'Toni Jordan'. "Umumnya, aku berperaga untuk para fotografer dan panti busana. Dan bila aku mendapat order, Ibu selalu mengatakan pada Ayah bahwa aku sedang berkunjung ke rumah seorang teman atau kerabat. Momma senang aku menjadi gadis model, seperti ia juga senang ketika aku latihan drama di Hollywood. Ia selalu rajin mengatur les-les balet, drama, dan olah tubuh, yang dapat menopang lebih jauh ambisi teatrikalku. "Akhirnya Sam tahu juga apa yang sedang terjadi. Gambar-gambarku muncul di sejumlah studio fotografi atau beberapa surat kabar. Mula-mula di koran lokal, kemudian di Chicago Sun-Times dan di Chicago Daily News. Dan selalu, tanpa embel-embel Giancana di belakang namaku. "Demikianlah, suatu hari Ayah pulang dengan amarah. 'Ulah jahanam apa yang sedang berlangsung di sini,' jeritnya. 'Dan dari mana kau dapat nama Toni Jordan terkutuk itu.' Ibu datang dan mencoba menenangkan Ayah. 'Sungguh, Sam, tidak ada yang salah dengan tingkah laku Annette.' "Suara Ayah turun beberapa derajat, tapi tetap mengandung kemarahan. 'Aku tidak ingin kau menjadi peragawati,' sergahnya. Ia lalu berpaling kepada Momma. 'Aku tidak risau kalau ia memajang diri di Saddle dan Cycle Club (klub paling sopan, yang pernah memintaku berpameran busana). Tapi aku tidak ingin ia tampil di tempat lain mana pun.... Kau dengar?' katanya lagi dalam suara yang kembali meninggi." Tapi larangan itu tidak mampu mencegah Antoinette. Ia tetap melakukan berbagai kegiatan modelling, di samping kegiatan sosial, dan selalu di bawah lindungan ibunya. Namun, akhirnya Putri Mafia ini pun berbenturan dengan ibunya, seperti yang dituturkannya sendiri. "Tanggal 9 April 1954 adalah hari yang selalu aku kenang dan sesali sepanjang hidupku. Itulah saat ketika Momma dan aku berdebat paling seru di rumah peristirahatan kami di Palm Beach Barat. Sejam kemudian ia mengalami pendarahan otak, dan dua minggu kemudian, pada 23 April, Ibu meninggal. "Momma terus-menerus sakit dalam tahun itu dan setiap hari keadaannya bertambah buruk, seperti sedang bersiap ke liang kubur. Namun daripada menemani kami ke Florida, Ayah malah tetap tinggal di Chicago untuk menangani berbagai masalah kepemimpinan di kalangan mafia, yang bisa kian menggawat bila ia tinggalkan. Berada jauh dari rumah, Ayah makin kurang mengikuti perkembangan keluarganya, khususnya keadaan kesehatan Ibu. Ia memang sedang membangun dan mengukuhkan sindikat mesin uang utama, yaitu perjudian, di Chicago. "Pada 9 April itu aku sedang melakukan diet berat untuk menurunkan bobot tubuhku, dalam upaya merampingkan diri. Ada niatku untuk kembali menjadi model, dan aku yakin kali ini Ayah tak akan tahu. Suatu hari kukatakan kepada Momma bahwa aku bermaksud mengecat rambutku menjadi pirang. Soalnya, gadis-gadis berambut pirang bukan saja akan mendapatkan kegembiraan daripadanya, tapi juga pekerjaan sebagai model. "Tanggapan Ibu terhadap rencanaku sama sekali tidak terduga. 'Langkahi dulu mayatku!' serunya. 'Tidak akan pernah. . . kau dengar? Tak akan pernah kau membuat dirimu semurah itu, membuat rambutmu pirang.' "Aku terdiam, kaget. Tak pernah sebelumnya Ibu segarang ini bereaksi. Sungguh sulit mempercayainya. Ia melemparkan sebuah bantal, kemudian foto Ayah. Foto berpigura dan berkaca itu membentur dinding, pecah berderai. 'Aku tak ingin putriku menjadi sundal!' jeritnya. 'Rambut pirang adalah murahan. Menampilkan pribadi murahan... seperti si sundal -- yang menguntit ayahmu ke ..-- mana-mana.' "Aku terpaku. Sedari tadi aku hampir tidak bereaksi terhadap tanggapannya. 'Aku bukan anak kecil lagi, Momma," kataku akhirnya. 'Aku tak bisa memberi komentar terhadap si Pirang yang dipacari Poppa. Aku hanya ingin menjadi model. . . menjadi diriku sendiri dan sukses atas namaku sendiri.' " Tidak pernah!" pekik Ibu, sambil melemparkan lagi sebuah pigura ke dinding. 'Aku tidak ingin melihat kau sebagai pelacur. . . sebagai lonte.' "Ibu tak dapat melarangku!" aku memekik balik dalam amarah yang tak terkendalikan sambil memburu ke pintu. Dan begitu aku keluar sambil membanting pintu, aku berkata dalam hati: Terkutuklah, biar kau disambar geledek!" Antoinette melompat ke mobilnya, membawa handuk dan pakaian renang. Ia menuju ke rumah Bibi Rose Eulo, ibu baptisnya, yang suaminya, Frank, bekerja pada Sam. Ia ingin mencoba meredakan amarahnya dengan berenang. "Aku belum sempat memakai pakaian renangku atau berbicara dengan Bibi Rose tentang pertengkaran sengitku dengan Ibu, ketika telepon berdering. Itu dari saudara Ibu, Anna Tuminello. Bibi Rose menatapku, 'Ibumu ambruk, pingsan,' katanya sambil meletakkan gagang telepon." Dan semua menuding Antoinette sebagai penyebabnya. Akibatnya, ia tidak diperbolehkan menjaga ibunya di rumah sakit. Sam Giancana, yang bersikap dingin kepadanya, malah mendiamkannya. " Aku mohon, Dad. . . ajaklah aku bicara . . . tanggapilah aku ! Tercermin sikap dingin dalam mata Ayah, ketika ia menatapku. Ibumu terbaring sekarat karena engkau dan karena mulutmu. Tak ada yang dapat kita percakapkan. "Aku ingin memekik-mekik kepadanya, melukainya seperti terlukanya diriku. Mengatakan bahwa karena ia bergundik dengan si Pirang itulah Ibu melampiaskan amarahnya kepadaku. Tapi itu tak kulakukan. Aku memburu ke kamarku, dan menangis sejadi-jadinya sampai tertidur karena keletihan." Dan Antoinette memang kehilangan Ibu. * * * Oktober 1954. Sepeninggal ibu dan kakeknya, Antoinette menjadi peminum. Hubungan dengan ayahnya kian renggang. Bila mereka bersimpang jalan, mata Sam dingin. Bila ia pulang ke rumah, dan sering sudah larut malam, pertengkaran sengit dan panjang dengan ayahnya tak terhindarkan. Ia sukar tidur, dan untuk itu ia mencoba mengatasinya dengan meminum pil penenang. "Pil penenang tidak membantu, tapi aku tetap melahapnya. Dan sering, bila Ayah menyembunyikan kunci mobilku, atau aku lagi tidak mempunyai uang untuk membeli bensin, kutelepon toko minuman terdekat dan menyuruh mereka mengirim sebotol wodka. Semakin banyak aku minum, kian meningkat rasa menyesalku, dan rasa berdosaku. Usiaku masih 19 tahun, tapi aku tidak merasa ada gunanya hidup lebih lama lagi. Mobil, jas bulu mink, pakaian mahal-mahal, permata berkilauan -- untuk apa semuanya itu bila aku tidak diinginkan dan tidak disayangi oleh Ayah. "Aku merasa ada seseorang sedang mengawasiku ketika aku mulai melemparkan segala sesuatu yang dekat denganku. Ketika Sam datang, setelah diberi tahu oleh Tony Tisci, yang mencurigai aku terlalu banyak minum dan sedang merancang suatu tindakan sinting. Aku berdiri di sana, masih menangis dan muntah-muntah, menatap Ayah dan memekik. 'Aku ingin mati. . . tahu? Aku ingin mati, demi Tuhan, biarkan aku mati.' Aku terjerembab ke lantai, dan sayup-sayup aku mendengar Sam menelepon Dr. Carl Champagne, dokter yang ia percayai. Tangani ia diam-diam, Carl. Tak seorang pun boleh mendengar hal ini. Aku tidak ingin ada wartawan yang membauinya....'" Dr. Champagne meminta rekannya Dr. William Parrilli, psikiater, menangani Antoinette. Ia diikat di tempat tidur, lalu seorang perawat menggosokkan madu ke pelipisnya, dan memasukkannya sedikit ke mulutnya. Kemudian, Dr. Parrilli sendiri menempelkan elektroda ke pelipisnya. "Aku merasa dingin, kian dingin, dan segalanya tampak bergoyang dalam gerakan lambat. Tiba-tiba aku merasakan sebuah lonjakan, gelombang arus listrik menjarah dan menyengat ke seluruh tubuh ketika aku terlompat, kemudian meregang di tempat tidur. Rasanya begitu mengerikan. "Lebih buruk lagi, kemudian. Ada selusin perangkat penyengat arus listrik dan semuanya dipasang pada tubuhku. Bunyinya saja seperti hendak menerbangkan arwah, dan ketika suaranya kian nyaring aku tak mampu menahan jeritku: 'Tuhanku... jauhkan perangkat celaka itu. Cukup! Kalian hendak membunuhku ! ' "Mula-mula hanya para bibiku yang datang menjenguk. Kemudian datang juga Ayah membawa bunga dan kartu. Aku memohon ia membawaku pulang dari sana, sampai aku tersedu-sedu. Kutanya dia mengapa ia sangat membenciku. 'Mengapa, Daddy?' tanyaku menghiba-hiba. Mengapa tidak lagi menyayangiku? Tolonglah, Daddy, mereka sedang membantaiku di sini.... Ayah hanya menggeleng, dan pergi. Enam bulan aku disiksa dengan cara demikian." * * * "Akhir musim panas 1958 aku hamil. Tuhan, ketakutan mengguncang perasaanku, khawatir kalau-kalau ketahuan. Aku tidak boleh melahirkan bayi, aku tak akan selamat! Ayah tentu akan membunuhku, akan membunuh Dokter Bill Nestos, pacarku. Aku panik. Aku perlu segera mengambil suatu keputusan. Aku harus bertemu dengan Nestos. "Kau harus melakukan aborsi, Toni. Jawaban apa selain itu yang dapat kuberikan?' kata Nestos. Aku menggeleng. Aku menginginkan bayi Nestos itu. 'Kita belum bisa menikah,' Nestos melanjutkan. 'Ayahmu akan mengubur kita hidup-hidup, sebelum ada yang tahu. Tak ada jalan lain, Toni. Aku akan mengaturnya." Waktu itu Antoinette telah hamil tiga setengah bulan. Melakukan aborsi pada masa kehamilan seperti itu sangat berbahaya. Hampir seperti melakukan D & C (dilatation & curettage) di rumah sakit, hanya tanpa semua persiapan, tanpa pembiusan dan sanitasi. Nestos mengatakan kepada dokter bahwa Antoinette adalah saudara sepupunya. Inilah usaha berjaga-jaga agar kejadian itu tidak tercium oleh Sam. Toh, sekembali ke rumahnya, sang ayah memergoki suatu kelainan pada diri anaknya. Dan bos mafia itu tidak berhenti hanya sampai di sana. "Pada Desember 1963, William Nestos meninggal. Aku yakin Ayah telah menerapkan ajarannya: betapa berbahayanya bermain-main dengan seorang Putri Mafia." * * * Sepeninggal istrinya, Samuel Giancana banyak mempunyai teman kencan. Tapi perkenalannya dengan Phyllis McGuire, seorang artis, pada 1960, terbilang paling awet. "Seperti ada magnet keras yang menarik Ayah ke pelukan Phyllis, bagai daya tarik bunga bagi kumbang. Sam sendiri bagaikan Julius Caesar yang 'datang, melihat, dan menaklukkan'. Bedanya, dengan artis itu Sam kemudian tak dapat meninggalkannya, dan perempuan itu turut berperan, kalau bukan sebagai faktor utama, keruntuhannya. "Aku pertama kali melihat Phyllis, ketika bersama saudaranya, Dorothy dan Christine, tampil dalam acara televisi Arthur Godfrey, Talent Scouts, 1952. Televisi lalu mengontrak mereka dalam acara variety show mingguan. Ketiga saudara itu sangat berbakat dan cantik-cantik, tapi Phyllis-lah yang paling jelita. Ia mempunyai sorot mata yang dapat membuat wanita lain, tua apalagi muda, menjadi iri. Aku mengenalnya, menyukainya, kemudian mencemburuinya." Kemudian hubungan Sam dengan Phyllis menjadi bagaikan kepala dan buntut, Phyllis malah mempertegas 'kehadiran' Sam di muka umum. Dan juga di mata FBI, yang mencatat dengan baik hubungan akrab antara Sam Giancana dan artis terkenal Phyllis McGuire. "Ada mikrofon yang ditanam dalam kamar tidur dan pesawat telepon Ayah dan Phyllis, dan juga di luar jendela rumah mereka. Di mana pun Sam dan Phyllis berada, seperti di Painters Mill di Maryland, atau di gedung kesenian di Dolaware, sampai ke ranch mahal di Paradise Valley di luar Las Vegas, FBI selalu dapat memantaunya. Mendengarkan percakapan mereka dan, kukira, setiap rayuan percintaan.... Ini membuat Sam kian merasa diuber-uber ke mana-mana, dan mendorongnya membuat berbagai kesalahan, malah kekeliruan yang paling tolol." Toh bos mafia itu tetap terjerat di kaki sang artis cantik. Ia malah membawanya ke rumah. Ini sempat membuat Antoinette geram, apalagi adiknya, Francine, yang masih tinggal di rumah itu. Namun, kecantikan dan pribadi Phyllis tidak cuma menarik bagi Sam, melainkan juga bagi Antoinette, belakangan. "Phyllis gadis amat cantik... pirang, montok. Dan bahkan tanpa banyak rias, ia tampil menawan. Begitu aku tiba di rumah, ia minta diri naik ke lantai atas, kembali setelah berganti pakaian dan merias diri. Begitu tampil, ia terlihat begitu anggun dan sensasional, yang membuatku geram. Ia juga terkesan bersikap dingin dan seperti menjaga jarak. Tapi dengan beranjaknya waktu, dan kami kian akrab, aku kian dibuatnya tertawan. Apalagi, bila aku bertengkar dengan Ayah, ia sering kali berpihak kepadaku." Dari perkawinannya dengan Carmen Manno, Antoinette memperoleh enam anak. Perkawinannya tidak bahagia, dan Sam Giancana kian tak mempedulikannya. Sam juga bukan kakek yang ideal. Antoinette kembali melahap minuman keras, malah juga kembali ke dokter jiwa. "Aku semakin pemabuk. Aku kini sanggup pergi ke toko minuman keras hanya dengan memakai pakaian Mickey Mouse, yang biasa dipakai perempuan tua, dan penampilanku tentu sungguh kusut masai. Tanpa rias, rambut tak tersisir, aku datang mengambil sebotol minuman, pulang, dan mereguknya sampai mabuk. "Carmen acap menemukan minumanku dan melemparkannya ke luar. Tapi ia bukannya berusaha menolongku, mencoba memahami keadaanku. Tidak. Ia malah menderaku dengan tali pinggang, dan menyebutku pemabuk atau cabo." Carmen juga pencemburu buta. Sebuah rangkulan di pundak oleh seorang dokter gigi bisa membuat Antoinette dicambuk sepulangnya ke rumah. Ia pernah ingin bercerai dari suaminya, tapi ayahnya tidak setuju, karena bila peristiwa ini sempat disiarkan pers, reputasi dan keamanan sang mafioso bisa terancam. "Dalam masa kemelut perkawinan itu aku bertemu kembali dan jatuh cinta kepada seorang teruna angkatan laut. Ia kukenal ketika aku belajar akting di California, dulu. Kini Bob seorang kapten kapal selam, dan perkawinannya juga sedang terganggu. "Pertemuan kembali kami terjadi secara kebetulan ketika aku ke rumah sakit. Tentu, pertemuan-pertemuan selanjutnya kemudian terjadi. Kami mulai ada main di kawasan St. Charles ketika ia bertugas di depot persenjataan AL yang berdekatan. Walaupun hubunganku dengannya kian akrab, kami tak bisa menikah -- karena ia masih terikat dengan istrinya. Aku harus cukup puas dengan pertemuan-pertemuan di akhir minggu, di hotel atau motel di kota-kota di seluruh Midwest." Carmen, yang melihat gelagat, akhirnya menemukan bukti permainan gelap istrinya. Ia mengumpulkan bukti-bukti dengan menyadap pembicaraan telepon Antoinette dengan Bob. "Jebakan ini membuat aku menyetujui perceraian di bawah persyaratan yang didiktekan suamiku. Aku juga tidak mau meramaikannya di pengadilan, yang dapat menghancurkan reputasi Ayah dan anak-anakku, serta perkawinan Bob. "Tapi sebelum ini terlaksana, aku hamil lagi dan tidak tahu siapa sesungguhnya anak yang sedang aku kandung -- Carmen atau Bob, atau seseorang yang lain. Tiba-tiba aku menjadi panik akan akibat usahaku mencari pelipur lara dengan memacari siapa saja yang kusenangi, bahkan para suami dari teman-teman akrabku sendiri. Aku merasa sangat malu kini, tapi peristiwa itu telah terjadi dan tak dapat ditarik kembali. Sekarang aku hamil, tapi aku tak boleh mempunyai anak lagi.... Aku harus mencari seseorang untuk membantuku, dan satu-satunya orang yang dapat kupercayai adalah Phyllis McGuire. "Dengan bantuan Phyllis dan sekitar 700 dolar yang aku punyai, aku terbang ke Los Angeles untuk melakukan aborsiku yang kedua." Berita itu datang tanpa isyarat awal kepada Putri Mafia. Antoinette sedang mendengarkan acara musik, yang tiba-tiba diselingi dengan berita yang sungguh membuatnya terperangah. "Seorang bos mafia ditahan karena menolak berbicara," kata radio. "Salvatore (Momo Giancana nama lain Sam -- bos sindikat kejahatan Chicago yang tersohor, telah diperintahkan ditahan karena menolak berbicara di depan juri agung." Menurut pembuktian William J. Duffy, waktu itu kepala intel kepolisian Chicallo,"Salvatore Giancana, terakhir bertempat tinggal di 1147 South Wenonah Avenue, di Oak Park, Illinois, adalah seorang residivis. Ia mempunyai beberapa alias: Sam Gincani, Albert Mancuso, Sam Mooney, Sam Flood, Salvatore Giancona. Ia ditangkap dan ditangkap kembali karena tiga dakwaan pembunuhan sebelum ia berusia 20 tahun. Ia berulang kali melakukan pencurian mobil, penggangsiran, dan perdagangan minuman keras secara gelap. Tertuduh ditahan lebih dari 60 kali dengan berbagai tuduhan." "Setelah reda rasa kagetku mendengar Sam dipenjarakan, tiba-tiba aku merasa bangga kepadanya -- sesuatu yang bertahun-tahun tak pernah aku rasakan. Aku berkata kepada teman-teman yang menyampaikan simpati, 'Hai, ayahku laki-laki yang budiman. Ia dipenjarakan karena menolak melibatkan teman-temannya. Apa yang salah tentang tindakannya itu?' "Ketika aku pergi ke penjara Cook Country untuk menjenguknya, aku tidak menyembunyikan rasa banggaku kepada Ayah yang memilih dikerangkeng ketimbang menuruti jejak Valachi yang 'bernyanyi'. Aku bangga sebagai putrinya, dan kuungkapkan pada Ayah apa yang aku rasakan. "Dan aku mulai menangis. Mulanya, ia tersenyum sedikit, kemudian berbalik kesal. 'Tidak ada yang perlu ditangiskan,' ujarnya. 'Apa yang kau lakukan. . . mengeluarkan air mata buaya di depanku?' Ucapannya menggelitikku, dan aku berhenti menangis. Ia begitu peka bila aku menangis. Ia paling tidak suka air mata." Tidak lama setelah Sam keluar dari penjara, Antoinette bercerita tentang maksudnya untuk menceraikan Carmen. Ini memang sebuah taktik, sebab waktu itu sebenarnya mereka sudah bercerai. Katanya, ia tak tahan lagi hidup di bawah siksaan badan dan pertengkaran demi pertengkaran. "Kau pilih sendiri suamimu itu, sialan ! " kata Sam dengan marah. "Dan kini kau ingin pisah dengannya. Tak bakal ada seorang putriku yang bercerai. . . kau tidak boleh berbuat gila!" Sam tidak ingin mendengar alasan yang dikemukakan putrinya. Tidak ada dalam sejarah, seorang putri mafia bercerai dari suaminya. Perceraian bisa mempermalukan keluarga Giancana. Tapi perceraian memang telah terjadi, atas inisiatif Carmen. "Setelah bercerai, aku menjadi pemabuk berat, dan aku terus-menerus menjalin cinta dengan para lelaki di St. Charles, kawasan tempat tinggalku. Selama 18 bulan aku dirawat Psikolog James M. Lytton." Ketika Antoinette diperlukan sebagai saksi untuk satu perkara yang melibatkan ayahnya, surat dokter jiwa itulah yang mengurungkan permintaan pengadilan. "Untuk beberapa waktu aku berhasil mempertahankan anak-anakku dan rumah. Tapi tak lama. Aku hanya mempunyai sedikit simpanan, warisan keluarga, permata, dan warisan anak-anak yang dapat kugunakan untuk mengongkosi hidup. Aku berusaha keras tidak memakai uang anak-anak. Tak selamanya berhasil. Kami harus makan, dan aku tidak dapat hidup tanpa minuman keras. Hari-hari paling celaka. Akhirnya, aku kehilangan rumah, dan aku harus menyerahkan anak-anak di bawah perlindungan Carmen. Aku tidak pernah berhasil mengatasinya, dan aku tak pernah ingin. "Dan Ayah . . . tak pernah memaafkan aku. Dari hari aku berniat bercerai sampai pada hari ia terbunuh, aku tak pernah melihatnya . . . hidup-hidup." * * * 21 Juli 1974, para petugas imigrasi Meksiko telah menculik Sam dari rumahnya di San Cristobal ketika ia sedang merawat tanamannya. Bos Mafia itu masih hanya memakai piyama. Mereka mendorongnya ke mobil yang sudah disiapkan, membawanya sejauh 150 mil ke Juarez, dan menyeberangkannya lewat perbatasan di El Paso, Texas, lalu menyerahkannya ke tangan pejabat bea cukai AS dan agen FBI. Ia kemudian diperiksa juri agung berkenaan dengan terbunuhnya Richard Cain (Scalzetti), pada 20 Desember 1973, oleh dua tembakan. Setelah Sam keluar dari tahanan, Antoinette masih sempat bertemu lagi dengan ayahnya itu di California. Saat itu Sam sedang mengunjungi Carolyn Morris, bekas teman sekamar bintang Broadway Lauren Bacall. Adik-adik Antoinette ada di sana, tapi kepala bandit itu enggan menerima putri sulungnya. "Keluar!" jeritnya. "Keluar dari sini dan jangan coba-coba kembali. Kau bukan anakku. Jangan bicara denganku lagi." "Penolakan Ayah lengkaplah sudah. Ia tidak saja memunggungkan diriku, tapi juga memerintahkan pengacaranya untuk mengeluarkan testamen baru, membatalkan hakku sebagai pewarisnya. Tapi tampaknya hatinya luruh kembali setelah melihat dokumennya. Ia tak pernah menandatanganinya. "Keputusan ini mengisyaratkan mengerlipnya harapan untuk mendamaikan kembali perbedaan-perbedaan di antara kami, dan kemungkinan kami bertegur sapa kembali. Oh, betapa aku menginginkannya. Bagaimanapun ia tetap ayahku, darah dan dagingnya mengalir dan tumbuh dalam diriku." * * * Harapan yang sia-sia. 23 Juni 1975, beberapa hari setelah Sam ditembak, berita malapetaka itu pun sampai ke telinganya. Sam dibunuh oleh orang yang tak dikenal. Orang yang terakhir bersama Sam adalah Joseph Di Persio, biasa dipanggil Joe, sahabat lamanya, yang melakukan berbagai hal bagi keluarga Giancana: tukang kebun, pengurus rumah, dan kadang-kadang sopir. "Joe, menurut pengakuannya sendiri, pergi ke lantai atas rumah untuk menonton Pertunjukan Malam Ini di televisi. Kemudian, sebelum tidur, ia turun ke lantai bawah untuk menanyakan apakah Sam memerlukan sesuatu. Tak ada jawaban. Ia lalu memeriksa kamar. Sam telah mati. "Menurut polisi, ada tujuh tembakan yang dilepaskan dari senjata otomatis kaliber 22 yang berperedam suara, senjata yang biasa dipakai untuk membunuh informan, penyalur obat terlarang, dan anggota gang. "Pada saat itu aku merasa lemah lunglai, tak berdaya, ketika berdiri dekat jenazahnya. Air mataku luruh tak tertahankan. Siapa yang bertindak pengecut, menembaknya dari belakang? Temannya sendirikah? "Apakah itu CIA? Merekakah yang mengirimkan seorang pembunuh, karena Ayah telah bekerja sama untuk mengenyahkan Fidel Castro dari Kuba? Ia tahu banyak tentang rencana pembunuhan Castro dan adiknya, serta si revolusioner Che Guevara. Ia direncanakan tampil di depan komisi Senat AS oleh Senator Frank Church, anggota Demokrat dari Idaho, yang sedang sibuk melacak keterlibatan CIA dalam berbagai pembunuhan para pemimpin dunia. "Kini hampir sembilan tahun sejak pembunuhan Ayah. Aku masih menyelisik dalam lekuk-liku kehidupan ayahku untuk mengungkapkan misteri pembunuhannya. Aku akan mencari harta karun ayahku yang kata banyak orang masih tersembunyi entah di mana. Tapi di atas semuanya, aku akan mencoba memahami ayahku melalui dokumen-dokumen yang ada, melalui percakapan-percakapan yang pernah ia lakukan, melalui pengalaman hidupnya dengan orang-orang lain. Mungkin ini dapat membuatku menemukan kedamaian yang tak pernah aku dapatkan selama masa hidupnya." Pada akhirnya, Antoinette Giancana memang tetap seorang Putri Mafia dalam arti kata yang sebenarnya. Ia -- terutama setelah Sam Giancana, dibantai -- seperti melupakan dosa-dosa ayahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus