PADA usia 36, dari Trisno Sumardjo (sastrawan, pelukis, dan kritikus) ia meerima sebutan "Bapak Seni Lukis Indonesia Baru". Gelar ini ternyata melekat terus padanya: orang menganggapnya layak. Pemerintah menghargai jasanya dengan memberikan Anugerah Seni, pada tahun 1970. Dan sekarang, lima bulan setelah meninggalnya, Duta Fine Arts Gallery di Jakarta mengenangnya dengan sebuah pameran retrospektif. Tidak kurang dari 109 buah karyanya -- yang tertua bertarikh 1937, dan yang termuda, tidak sempat selesai dibuat tahun 1986 -- dipajang selama sebulan, sejak awal September lalu. S. Sudjojono, alias SS 101, tersohor dengan dalilnya "seni ialah jiwa tampak" yang ia canangkan pada tahun 40-an. Watak, suasana hati, dan emosi pelukis mesti kelihatan pada bekas tangannya, khususnya pada tarikan garis dan sapuan kuas. Tidak heran jika dalam galeri Duta, dari ruangan ke ruangan kita melihat garis dinamis dan sapuan bersemangat merajai pandangan. Manusia dan masyarakat menduduki tempat utama dalam estetika Sudjojono. Maka, potret dan lukisan bertema kemasyarakatan (jenis terakhir ini tidak menonjol dalam pameran) merupakan jumlah yang penting dalam seluruh karyanya. Tidak berarti Sudjojono tidak berubahubah sejak awal. Seni lukisnya telah menempuh perjalanan yang cukup menarik. Sudah sejak masa awal -- ketika ia membentuk dan menggerakkan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) -- Sudjojono memberikan peran penting kepada "bekas tangan" dalam karyanya. Kita berterima kasih kepada Duta yang telah menampilkan karya yang tidak dikenal selama ini, Batavia (1937) dan Rumah di Tepi Laut (1938). Kedua-duanya lukisan pastel yang redup lembut, yang pasti akan tampak diam beku jika tidak dihidupkan oleh sejumlah goresan terang dan gelap Potret Diri (1941) hitam putih, bukan saja menunjukkan kemahiran Sudjojono dalam menangkap wajah orang, tetapi juga memperlihatkan dengan jelas peran coretan atau goresan yang kuat dan dinamis. Melihat pekerjaan-pekerjaan itu, tampaklah pentingnya karya-karya yang lebih berkembang dan lebih dikenal yakni Depan Kelambu Terbuka (1939) dan Cap Gomeh (1940) yang tidak dihadirkan dalam pameran ini. Kedua lukisan itu menjadi koleksi Pemerintah. Karya-karya dari tahun-tahun pasca-Persagi (1944-1949) juga tidak terwakili. Pentingnya masa ini ialah kuatnya kecenderungan kepada pencitraan (representasi) segi-segi fisik seperti volume, massa, barik (tekstur), ruang trimatra, serta terang dan bayangan. Kecenderungan ini menghasilkan Pengungsi (1947) dan Prambanan alias Seko (1949). Semangat yang tegang, dramatik, yang tampak pada kedua lukisan itu, menghilang dari kanvas Sudjojono kemudian, ketika ia memasuki episode realisme (1950-1954) dan karyanya menampilkan citra fotografis dari dunia sehari-hari golongan sosial bawah, tanpa sedikit pundramatisasi atau sapuan "ekspresif". Sapuan malah tak tampak. Contoh terbaik untuk itu adalah Di Dalam Kampung (1952), dalam koleksi Presiden. Itulah masa ketika Sudjojono dicekam gagasan bahwa lukisan harus dapat dipahami rakyat jelata, dan bahwa untuk itu harus realis. Meskipun pendek, episode itu penting karena telah membangkitkan polemik antara Sudjojono dan Trisno Sumardjo, dan menghebohkan kalangan seni lukis kita. Juga "realisme Sudjojono" ini tidak terdapat contohnya dalam pameran Duta. Dalam pameran, karya yang tarikhnya terdekat dengan masa itu ialah Potret Pertama Istri Saya, Pak Wakijo Pemahat, dan Pemandangan Desa, ketiga-tiganya dari tahun 1956. Tetapi di situ Sudjojono menampilkan kembali sapuan kuasnya yang terkenal itu. Berhenti dari kegiatan politik, dan kawin dengan Rose Pandanwangi, rupanya berhubungan bukan saja dengan meningkatnya produktivitas Sudjojono, tetapi juga dengan lukisan-lukisannya yang tenteram dan yang merambil pokok-pokok di sekitar rumahnya, juga orang-orang serta benda-benda yang akrab dengannya. Bahkan perempuan-perempuan yang berlalu di jalan, malam hari, dengan dandanan yang mencolok mata (menjajakan diri?) terbebas dari sinisme dan sarkasme SudJoJono yang biasa. Dalam Orang-Orang Berlalu (1967) mereka melintas sebagai cahaya berwarna yang lembut, tipis, tanpa kepadatan dan bobot. Masa sesudah 1970 produktivitas Sudjojono benar-benar terpacu. Dan bersama dengan itu keberingasannya. Perjuangan, ketimpangan sosial, karikatur kemasyarakatan, bermunculan pada kanvasnya, di samping potret, alam benda, dan bermacam pemandangan (alam, kota, desa, kebun, atau halaman). Para penulis kritik melontarkan kecaman "Sudjojono mandek", "tak berkembang". Tetapi Sudioiono berubah. Warna yang keras, cemerlang, bermunculan pada sejumlah kanvasnya. Contoh paling baik dalam pameran Duta ialah Maya Sweet Seventeen (1983): warna merah yang sangat menyala hangat mengembang, merupakan bagian penting dari tafsir Sudjojono tentang keremajaan putrinya, Maya. Sejumlah (yang cukup besar) lukisan Sudjojono menyajikan rupa atau bentuk yang sukar kita kenali sebagai sosok atau obyek apa. Begitulah kita melihat olesan, sapuan, dan coretan yang mengesankan kerja Improvisasi yang di sana-sini dikembangkan dengan sapuan atau coretan -- supaya mengingatkan, setidak-tidaknya pada bagian-bagian tertentu, kepada obyek yang kita kenal. Untuk menyebutkan beberapa contoh: Parodi (1974), Ulah Raja Berana (1982), Sesudah Restorasi (1984) Pelawak (1975). Sehubungan dengan gejala itu, kita menyaksikan juga sosok-sosok manusia yang sangat disederhanakan. Sudjojono tidak terhindar dari arus abstraksi kuat yang melanda seni lukis kita sejak sekitar 1970. Satu lagi catatan dapat ditambahkan: meskipun citra fantastis sudah muncul dalam lukisannya yang bertarikh 1944, Sayang Aku Bukan Anjing (menyajikan sosok anjing berkepala manusia), hanya dalam masa akhir inilah citra demikian bermunculan dalam karya Sudjojono. Zaman Emas (1971) memperoleh aspek fantastis dari ketidaksesuaian antara ukuran sosok anak dan perspektif ruang sekitarnya. Perkelahian di Udara (1972), Perjalanan Masih Jauh (1975), Ulah Raja Berana (1982), Mboyong Putri (1980), Ramai-Ramai Mau Masuk Surga (1985), adalah beberapa contoh dari lukisan fantastis yang dapat disaksikan dalam pameran. Akhirnya: tema-tema kemasyarakatan yang digarap Sudjojono, yang tertuang dalam sindiran dan sarkasme, ditimba dari kehidupan masa kini. Ibu Nonton TV (1978), misalnya (judul yang diberikan Sudjojono adalah: Mevrouw Seneng Ketawa, Nurce Juga Ketawa. Nonton TV), menampilkan sebagai sosok utama seorang perempuan pendek gemuk, membuka lebar-lebar mulutnya, sangat buruk. Pemiuhan (distorsi) dan penjelek-jelekan dalam lukisan itu adalah "serangan simbolis" Sudjojono terhadap kelompok sosial tertentu. Tulisan (tampak sebagai hiasan) pada baju sang nyonya berbunyi antara lain: "Perjuangan kemerdekaan adalah suatu gejala spirituil. Tetapi dalam prakteknya kemudian orang-orang yang tampil dalam pengetrapan alat-alat fisiklah yang menjadi pemuka. Pada era jaman inilah saya buat lukisan sebagai observasi saya". Kebiasaan Sudjojono menuliskan kata-kata pada lukisannya tentu menarik perhatian. Khususnya dewasa ini, ketika tidak sedikit pelukis mempraktekkan hal itu -- terutama dalam yang disebut "lukisan kaligrafi", yang tumbuh subur dewasa ini. Kata-kata yang dituliskan Sudjojono ada yang berupa catatan biografis, ada yang berupa ungkapan verbal yang sejajar dengan ungkapan lukisan. Ia seakan-akan merasa bahwa gambar (citra visual) yang dibuatnya belum cukup mengungkapkan perasaan dan pikiran yang berkecamuk dalam dirinya. Ungkapan total Sudjojono, dengan demikian, adalah kebulatan paduan -- gambar dan kata. Dalam memajang lukisan-lukisan, galeri Duta rupanya dibimbing oleh semangat menggubah buket bunga, dan mengabaikan tarikh maupun tema. Daftar lukisan pun dibuat dengan acak. Pengunjung pameran sulit memperoleh gambaran tentang perjalanan seni Sudjojono. Melihat bagaimana ia berkembang, melihat perjuangan dan ketekunannya dalam berkarya, tentunya merupakan bagian penting di dalam kita mengenang seorang seniman. Galeri baru telah muncul, dan mengumumkan kehadirannya dengan peristiwa penting: pameran retrospektif pelopor seni lukis modern kita, dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan. Apakah ini pertanda galeri akan memperluas perannya dalam kehidupan seni rupa kita, lebih dari hanya menjadi penyalur hasil seni? Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini