BUNGA terbesar di dunia, Rafflesia arnoldii, yang hanya tumbuh di Pulau Sumatera terancam kepunahan. Gejala kepunahan bunga kebanggaan Indonesia ini sudah diperingatkan sejumlah ahli. Seorang sarjana pertanian Jepang, yang Agustus lalu menyelesaikan penelitian enam bulan tentang bunga ini, Yoshiharu Musashino, mengungkapkan bahwa beberapa tahun belakangan ini Rafflesia arnoldii cenderung makin berkurang akibat perusakan lingkungan. Penebangan hutan untuk usaha perkayuan, perkebunan, maupun permukiman bagi proyek transmigrasi yang terutama membahayakan hidupnya. Musashino meneliti bunga ini sejak 1970, dan hampir tiap tahun ia mengunjungi Sumatera. Keadaan itulah yang menyebabkan Musashino khawatir kalau bunga ini akan punah dalam waktu 5 tahun, khususnya di cagar alam di Sumatera. Pengamatan Musashino di cagar alam Batang Palupuh, 11 km dari Bukittinggi, menunjukkan bahwa pada 1975 di sana ditemukan 40-50 kuncup bunga. "Tapi akhir Juli lalu, saya hanya menemukan 5 kuncup. Ini berarti dalam waktu 10 tahun jumlahnya menurun menjadi sepersepuluhnya," ujar Musashino, 43, lulusan Universitas Pertanian Tokyo jurusan Pemuliaan Tanaman, kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Rafflesia arnoldii ditemukan oleh Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, bersama temannya Joseph Arnold, 168 tahun silam, sewaktu menembus hutan belantara Sumatera dekat Bengkulu. Kemudian kedua nama itu diabadikan sebagai nama bunga tersebut. Rafflesia arnoldii termasuk dalam famili Rafflesiaceae, suku Dycotyledoneae, ordo Aristolochiales. Berarti masih satu jenis dengan bunga Aristolochia -- jenis tanaman hias perambat asal Brasil -- yang juga mengeluarkan bau busuk. Sampai sekarang ini baru ditemukan sekitar 13 jenis Rafflesia, yang semuanya hidup di hutan tropis, sebelah barat garis Wallace. Dua jenis diduga sudah punah. Semuanya berukuran besar, tapi yang terbesar Rafflesia arnoldii, yang penampangnya bisa mencapai 1,5 meter. Daerah tumbuh bunga Rafflesia arnoldii di Sumatera yang terkenal adalah cagar alam yang terletak 35 km timur laut Manna Bengkulu, cagar alam dekat Tabah Penanjung dan cagar alam Pagal Gunung dekat Kepahiang. Di daerah pegunungan di Sumatera Barat diduga juga terdapat bunga ini. Menurut Musashino, di cagar alam Manna dalam setahun ini tidak ada rafflesia yang berbunga. Begitu pula di Tabah Penanjung. Hanya di cagar alam Pagal Gunung masih bisa ditemukan kuncup rafflesia. "Padahal sampai 1973 di ketiga cagar alam itu masih bisa ditemukan banyak kuncup rafflesia," tutur Musashino. Berdasarkan catatan di kantor PPA cagar alam Pagal Gunung, pada 1972 dan 1973, terdapat kuncup empat buah, pada 1974 hanya dua rafflesia yang mekar. Sejak 1976 hingga 1984, hanya sebuah yang mekar setiap tahun, kecuali pada 1975, 1977, dan 1980. Kala itu tidak ada bunga yang mekar. Di cagar alam Batang Palupuh, bunga yang mekar pada 1983 ada 15 buah, tahun berikutnya berkurang menjadi 11 buah dan menjadi 8 buah pada 1985. Sampai pertengahan tahun ini hanya ditemukan 3 bunga. "Kalau perusakan lingkungan terus berlangsung, dalam waktu tidak lebih dari 5 tahun Rafflesia arnoldii yang terdapat di pelbagai cagar alam di Sumatera akan punah," kata Musashino. Kepunahan Rafflesia arnoldii agaknya dipercepat oleh pengembangbiakannya yang tidak semudah bunga-bunga lain. Bunga yang tak mempunyai batang, akar, serta butir hijau daun ini hidup parasit, seperti benalu pada akar tanaman pemanjat Tetrastigma. Dari proses menempel pada tanaman inang sampai menjadi bunga memerlukan waktu lebih dari 12 bulan. Selain itu, rafflesia termasuk tanaman berumah satu atau berkelamin tunggal. Pada bunga betina benang sarinya tidak tumbuh dan pada jantan putik sarinya mandul. Sehingga untuk pembiakannya bunga betina harus diserbuki benang sari bunga jantan dari pohon lain dengan bantuan serangga. Kalau putik sari sudah dibuahi, bunga akan membusuk pelan-pelan dan mencair menjadi lendir basah sambil menumbuhkan dan memasakkan bijinya. Bunga betina biasanya memerlukan waktu 3-4 bulan untuk memasakkan bijinya yang mencapai ribuan, berbentuk bulat panjang warna cokelat berdiameter 0,5 mm. Kemudian biji-biji itu akan disebarkan ke pohon inang oleh binatang hutan, seperti tupai, rusa, dan babi hutan. Menurut Musashino, peluang untuk melakukan penyerbukan sangat kecil, dan waktu mekarnya relatif terbatas hanya satu minggu, sehingga banyak rafflesia yang cenderung busuk tanpa penyerbukan. "Paling-paling peluang untuk terjadinya penyerbukan hanya sebesar 15%. Berarti dari 6-7 bunga hanya satu yang bisa melakukan penyerbukan," ujar Musashino. Langkah apa yang perlu dilakukan untuk mencegah kepunahannya? "Berikanlah lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya, karena tumbuh-tumbuhan pada dasarnya memiliki kemampuan berkembang sendiri secara alami," ujar Musashino. Di samping itu, katanya, pemerintah Indonesia perlu memperbaiki sistem pengontrolan terhadap cagar alam yang ada. "Karena banyak turis yang masuk hutan ingin melihat bunga ini dan tanpa menyadari telah menginjak-injak kuncup-kuncup bunga disekitarnya." Usaha pelestarian Rafflesia arnoldii, mungkin belum terlambat, sebab meski berkurang, rupanya masih cukup banyak lokasi bunga ini yang baru diketahui. Musashino sendiri berhasil menemukan suatu daerah pegunungan di Sumatera Barat, tempat rafflesia tumbuh dengan subur. "Itu bukan cagar alam. Saya menyaksikan dua ratusan kuncup bunga di suatu lokasi 40-50 hektar," katanya. Ia tidak mau menjelaskan di mana tempat itu. "Saya kira lebih baik saya merahasiakan tempat ini demi kelestarian rafflesia," ujar Musashino. Rudy Novrianto, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini