Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu sebuah paket berisi tiket kereta api dan jadwal perjalanan dikirimkan ke tempat tinggal saya. Tiket dan jadwal itu dimasukkan ke dompet kulit cokelat muda. Dalam lembar pemberitahuan disebutkan para penumpang harus menyesuaikan busana dengan suasana pada 1930-an, dilarang mengenakan jins, kaus-T, baju olahraga, atau pakaian kasual lainnya. Dress code yang diwajibkan selama perjalanan: smart day wear.
Beruntung paket itu saya terima akhir tahun lalu melalui pos kilat khusus. Jika tidak, mungkin saya menganggap ada seekor burung hantu yang menjatuhkannya lewat cerobong asap seperti dalam buku atau film Harry Potter. Saya juga tidak perlu mencari-cari peron 9 3/4. Tapi, ya, kereta api yang akan saya naiki itu adalah kereta uap seperti di film Harry Potter. Namanya British Pullman.
Selama ini saya hanya bisa menyaksikan kereta api antik dan tua itu melalui film bioskop dengan suasana Inggris kuno. Atau membaca novel-novel misteri dari Agatha Christie, terutama yang berjudul Pembunuhan di Orient Express, serta menonton serial televisinya, Agatha Christie's Poirot, di sebuah TV kabel. Tiket yang bisa diperoleh dengan Rp 6,2-7,5 juta itu adalah impian yang jadi nyata.
Dengan kereta kuno itu, saya akan dibawa ke Inggris pada 1920-1930-an, ketika para bangsawan dan kaum elite di negeri itu gemar melakukan perjalanan wisata dengan kereta. Biasanya mereka berwisata demi memenuhi agenda sosialnya, antara lain menyaksikan lomba berkuda di tempat pacuan kuda termasyhur di Inggris: Ascot. Kereta British Pullman juga kerap digunakan Ratu Inggris beserta keluarga kerajaan, para tamu kenegaraan, pengusaha terkemuka, serta artis dan seniman terkenal.
Pullman diambil dari nama orang Amerika, George Mortimer Pullman, yang merancang kereta api ini. Obsesinya menjadikan kereta British Pullman sebagai istana yang berjalan di atas rel. British Pullman pernah digunakan perusahaan kereta api terkemuka Inggris terdahulu: The Bournemouth Bell, The Brighton Belle, The Queen of Scots, dan The Golden Arrow.
Boleh dibilang British Pullman merupakan rangkaian kereta eksklusif. Suasana Inggris kuno menyambut sejak dari ruang tunggu khusus di Stasiun Victoria, London, di depan rel kereta Peron 2. Loket, tempat duduk, dan kamar kecil menyuguhkan interior bergaya klasik Inggris. Stasiun Victoria sendiri masih mencoba mempertahankan bagian-bagian utamanya yang antik, tapi nuansa modern tidak terelakkan karena banyaknya papan nama promosi dari restoran cepat saji atau supermarket.
Tepat pukul 08.40, British Pullman bertolak dari Stasiun Victoria. Sesuai dengan jadwal, kereta ini akan menempuh perjalanan dari Stasiun Victoria hingga Stasiun Oxford sejauh 171 kilometer selama tiga jam. Itu jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan naik kereta cepat First, yang hanya butuh sekitar satu jam dengan rute sama. Maklum, British Pullman masih menggunakan bahan bakar dari batu bara. Sepanjang perjalanan, kereta ini akan melewati beberapa stasiun, di antaranya stasiun pacuan kuda Ascot, Kota Reading, dan Culham.
Saya menempati gerbong bernama ÂCygÂnus. Berada di dalamnya, suasana antik langsung menyergap. Interiornya didominasi panel kayu berpelitur cokelat. ÂCygnus didesain pada 1938 untuk tamu kelas utama. Selama Perang Dunia II berkecamuk, gerbong ini sempat disimpan di gudang. "Pada 1965, Cygnus sempat digunakan sebagai salah satu gerbong kereta dalam upacara pemakaman mantan Perdana Menteri Inggris legendaris, Sir Winston Churchill," kata Arthur, kepala pelayan di gerbong itu.
Arthur, pria asal Polandia, bersama anggota staf lainnya di kereta itu mengenakan kostum pelayan yang modelnya sama persis dengan para pelayan British Pullman di masa lalu. Mereka mengenakan jas putih berkerah biru dengan tujuh kancing berwarna emas, yang dipadu dengan kemeja putih. Celana panjang hitam dan sepatu kulit berwarna senada. Penampilan mereka dilengkapi dengan dasi kupu-kupu hitam.
Selain dipakai keluarga kerajaan, pada 1972 Cygnus sempat beroperasi sebagai gerbong komersial. Saat itu, yang menjadi operatornya Golden Arrow untuk rute London-Dover. Setahun kemudian, gerbong itu digunakan perusahaan pembuat bir (brewery) di Tyneside, Scottish and Newcastle. Cygnus juga sempat digunakan untuk jasa layanan kereta jarak dekat di North Yorkshire.
Pada 1976, gerbong ini digunakan untuk syuting film Agatha, yang dibintangi aktor dan aktris kawakan, Dustin Hoffman dan Vanessa Redgrave. Gerbong kereta itu terlihat pada adegan di Kota York dan HarroÂgate. Baru pada 1977 Cygnus dibeli oleh perusahaan Orient Express menjadi bagian dari rangkaian British Pullman.
Selain Cygnus, British Pullman mempunyai gerbong lain yang juga memiliki sejarah unik. Gerbong Audrey, misalnya, merupakan favorit keluarga Kerajaan Inggris, termasuk di antaranya ibu Ratu Inggris, Ratu Elizabeth, serta suami Ratu Inggris, Pangeran Phillip. Lalu gerbong Perseus, yang pernah membawa pemimpin Uni Soviet, Nikolai Bulganin dan Nikita Khrushchev, saat berkunjung ke Inggris selama 10 hari. Gerbong lainnya adalah Gwen, Ibis, Ione, Lucille, Minerva, Phoenix, Vera, dan Zena.
Dari rangkaian gerbong itu, sepanjang perjalanan kami bisa mendengar peluit kereta yang cukup keras. Suara itu turut membawa kami kembali ke masa lalu.
Peluit keras itu diteriakkan oleh lokomotif jenis 4-6-2-Merchant Class Pacific Nomor 35028, yang dikenal dengan nama Clan Line. Lokomotif itu dibuat pada 1948 di Kota Eastleigh, yang merupakan satu dari 30 lokomotif yang didesain oleh perancang kereta legendaris, Oliver V.S. Bulleid. Karena menggunakan tenaga uap, lokomotif ini akan berhenti dulu di Didicot Parkway selama kurang-lebih 20 menit untuk mengisi air.
Saya hanya bisa tertawa geli melihat wajah para masinis yang hitam legam seperti Pit Hitam. Mereka harus mengisi batu bara ke dalam tungku lokomotif sehingga wajah mereka menjadi begitu. "Walaupun muka kami hitam seperti ini, kami tetap senang mengemudikan lokomotif dan membuat para tamu terhibur dalam perjalanan ini selama bertahun-tahun," ujar Harry, salah seorang masinis.
Selain menikmati gerbong yang mewah, selama perjalanan kami disuguhi menu makanan yang tak kalah "wah". Siang itu saya disuguhi brunch (sarapan siang) dengan menu: minuman Bellini khas Orient Express dengan berbagai macam potongan buah segar. Makanan utamanya adalah telur orak-arik (scrambled egg) dengan bawang serta ikan asap salmon dan roti muffin yang hangat. Menu ini dilengÂkapi berbagai jenis roti bersama mentega dan secangkir kopi panas. Semuanya disajikan dalam perabotan antik, sepertinya sengaja untuk menciptakan suasana asli masa 1920-an.
Tanpa terasa British Pullman tiba di Stasiun Oxford. Siang itu kehadiran kereta kuno nan antik tersebut mencuri perhatian para penumpang kereta lain. Bagi mereka, ini merupakan pemandangan langka, karena jarang-jarang kereta api antik datang ke Stasiun Oxford untuk mengangkut penumpang.
Rombongan penumpang British Pullman kemudian dibagi menjadi dua kelompok. Satu menuju Istana Bleinheim dan saya bergabung dengan kelompok kedua, yang menuju kompleks Istana Waddesdon Manor. Saya dan rombongan bertandang ke kompleks Waddesdon yang berdiri megah di kawasan Buckinghamshire—sekitar 80 kilometer dari Oxford. Saat ini Waddesdon, yang mengoleksi aneka benda antik dengan harga selangit, menjadi salah satu daerah tujuan wisata utama di Inggris saat ini.
Menjelang sore, kami kembali ke London dengan kereta yang sama. Dalam perjalanan pulang itu, kami disuguhi menu pembuka sup tomat bening dengan keju kering. Makanan utamanya: risotto (nasi) jamur dengan berbagai macam sayur panggang dan saus merah. Selain itu, disajikan berbagai macam jenis keju Inggris dengan saus chutney (berasal dari India). Adapun makanan penutupnya puding yang dikombinasikan dengan selai jeruk marmalade. Makanan terakhir yang disajikan adalah kopi panas serta fudge (semacam kue manis) rasa vanila dan cokelat.
Sambil menikmati hidangan, saya sempat berbincang-bincang dengan Paul Campbell, yang membawa istri dan putri remajanya, yang kebetulan berada di Cygnus. "Kami ingin merayakan ulang tahun ke-18 putri saya dengan ikut tur kereta British Pullman. Kami ingin memperkenalkan serta menjaga agar minatnya terhadap kebudayaan Inggris masa lalu tetap kuat," kata Campbell.
Vishnu Juwono (London)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo