Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ewa saogu kamagi (Bagaikan sebutir emas)
Mengkido ri raya mbani (Berkilau di tengah kegelapan) ...
INILAH sepenggal pujian bagi wera, atau air terjun, Sungai Poso di Desa Sulewana dalam sebuah lagu suku Pamona di Poso, Sulawesi Tengah. Arus deras sungai yang bergemuruh itu sebenarnya lebih tepat disebut air meluncur karena perbedaan ketinggian hingga 150 meter itu berada pada alur sepanjang 1,2 kilometer.
Berbeda dengan warga setempat, yang hanya mengagumi buih air deras bak emas berkilau di kegelapan, para insinyur di PT Bukaka Teknik Utama melihat peluang amat besar. Arus kuat sungai berdebit air rata-rata 150 meter kubik per detik itu merupakan sumber energi listrik yang bisa mengusir gelap malam di sebagian besar Sulawesi.
”Totalnya bisa 600-700 megawatt,” kata Achmad Kalla, Direktur Utama Bukaka. Sebagai pembanding, proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Sigura-gura di Sungai Asahan, Sumatera Utara, hanya memiliki debit 80-110 meter kubik per detik.
Di Sungai Poso akan dibangun tiga pembangkit. Pertama, PLTA Poso-1 -ber-kapasitas 160 megawatt, di lokasi antara Desa Sulewana dan Desa Saojo-. Kedua, ber-kapasitas 180 megawatt di Sulewana. Satu lagi, PLTA Poso-3, ber-kapasitas 300-400 megawatt, yang akan dibangun di Desa Tampemadoro. Setiap megawatt mem-butuhkan investasi rata-rata US$ 1,2 juta. Total proyek ini menelan dana US$ 800 jutaan—sekitar Rp 7,2 triliun.
Kalau harga pasar listrik, yang rata-rata US$ 4,5 sen atau sekitar Rp 400 untuk setiap kilowatt per jamnya (kWh), menjadi patokan, setrum arus Sulewana tiap jam akan bernilai seperti butir-butir emas seberat 2,4-2,8 kilogram (jika satu gram emas dihargai Rp 100 ribu). ”Tapi itu baru akan terwujud enam atau tujuh tahun lagi,” ujar Achmad kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Pembangkit di Poso ini hanya satu dari sekian banyak pengalaman Bukaka- menggarap ladang setrum. Karena itu, ia geregetan ketika melihat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) selalu kedodoran dalam menyediakan pasokan listrik nasional. ”Padahal, ada begitu- banyak sumber listrik yang kita pu-nyai,” katanya.
Dengan setumpuk pengalaman itu, Achmad menganggap cukup beralas-an jika ia sesekali memberi masukan soal listrik kepada Wakil Presiden Jusuf- Kalla, kakak kandungnya. Ketika harga- minyak melonjak tahun lalu, misalnya, ia sempat mengirim selembar faksimile berisi usulan agar pemerintah mengganti bahan bakar di seluruh pembangkit PLN, dari minyak solar ke gas. ”Penghematan bisa mencapai Rp 9 tri-liun,” katanya.
Tak semua usul itu—bahkan yang sudah diterima oleh sang kakak—mulus sampai realisasi. Usul tentang gas pun kandas karena banyak kontrak ekspor gas telanjur diteken untuk jangka puluh-an tahun ke depan.
Contoh terbaru, usulan Achmad membangun jaringan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara berkapasitas- 10 ribu megawatt kini ramai menjadi kontroversi. Apalagi, selain Bukaka Teknik, disebut-sebut kelompok usaha Bakrie milik Menteri Koordinator Kese-jahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, dan PT Medco Energi milik Arifin Panigo-ro, akan bergabung dalam konsorsium pelaksana proyek.
Terlepas dari kontroversi ini, jejak kelompok usaha keluarga Kalla di bisnis listrik terbilang cukup panjang, yakni- sejak 1985-1986. ”Kami yang paling mampu membangun saluran udara tegangan ekstra-tinggi (SUTET) hingga 500 kilovolt,” kata Achmad, bangga atas pencapaian perusahaannya dalam kurun 20 tahun.
Beberapa proyek besar transmisi pernah mereka tangani. Antara lain, pada 1991, proyek pembangunan jaringan 40 kilometer dari pembangkit Suralaya- ke Cilegon di Banten. Juga jaringan ber-tegang-an 150 kilovolt sepanjang 60-70 kilometer dari Gresik ke Tandes di Jawa Timur. ”Yang terbesar, proyek jaringan 500 kilovolt sepanjang 300 kilometer dari Bandung ke Semarang,” ujar -Achmad.
Jejak Bukaka membangun proyek pembangkit tak kalah banyaknya. ”Yang kecil-kecil, kami punya banyak sekali,” kata alumni Institut Teknologi Bandung itu. Bukaka juga pernah mendapat izin membangun PLTA di Pintu Pohan, atau proyek Asahan III, Sumatera Utara, dengan kapasitas sekitar 200 megawatt.
Masih di Sumatera Utara, proyek sejenis mereka dapatkan pula di air terjun Sibabo, Kabupaten Humbang Hasundutan. ”Kami sudah lakukan pembebasan lahan, tapi proyek kemudian diambil PLN,” katanya. Bukaka juga banyak mengincar proyek pembangkit di beberapa negara. Salah satu yang sedang dalam proses kontrak ialah proyek berkekuatan 60 megawatt di Madagaskar. ”Mudah-mudahan bulan depan ditandatangani,” kata Achmad.
Meski tak sepanjang jejak Bukaka, Presiden Direktur Medco Energi, Hilmi Panigoro, mengatakan perusahaannya juga cukup punya pengalaman karena telah memiliki divisi pembangkit listrik sejak dua tahun lalu. Mereka telah membangun pembangkit hingga mencapai total kapasitas 1.500 megawatt di seluruh Tanah Air. Kebanyakan digunakan untuk mendukung operasi di ladang-ladang minyak mereka yang umumnya terpencil. ”Tapi kami belum mendapat tawaran bergabung dalam konsorsium,” katanya kepada Tempo.
Seperti halnya Hilmi, Direktur Ke-uangan PT Bakrie & Brothers Tbk., Yuani-ta Rohali, mengaku belum mengetahui tawaran untuk bergabung dalam konsorsium. Tapi ia memberi catatan, soal listrik jelas bukan ”mainan” baru bagi mereka.
Bakrie, katanya, sudah cukup makan asam garam dalam berbisnis di sektor usaha pembangunan pembangkit dan pembuatan pipa. ”Untuk pembuatan pipa, sejak 1940,” kata Yuanita. Usaha pembangunan pembangkit listrik pun telah dimulai. ”Kami sedang ikut tender pembangkit Cirebon dengan kapasitas sekitar 2 x 300 megawatt tahun ini,” ujarnya.
Langkah Bukaka di Poso boleh dibi-lang- sudah jauh ke depan. Peletakan batu pertama proyek oleh penjabat sementara Bupati Poso, Andi Azikin Suyuti, sudah dilakukan pada 18 April tahun lalu. Saat ini PLTA Poso-2 pun sudah dalam tahap pembangunan, bersamaan dengan penyiapan infrastruktur seperti jalan raya.
Sarana lain yang sudah selesai antara lain landasan pesawat untuk menunjang pengangkutan peralatan proyek. Juga barak-barak karyawan berupa rumah panggung yang dipesan dari Minahasa. Dan yang melegakan Achmad, meski pembangkit belum jadi, sudah ada dua calon konsumen setrum berkekuatan 180 megawatt itu.
Mereka adalah industri pengolahan nikel milik PT Aneka Tambang di Pomala’a, Sulawesi Tenggara, dan penduduk di kota-kota sekitar Poso sendiri. ”Jadi, tidak benar kami akan mengabaikan warga sekitar lokasi pembangkit,” Achmad membantah tudingan George Junus Aditjondro dalam laporannya yang diterbitkan Yayasan Tanah Merdeka, lem-baga swadaya masyarakat di Palu.
Dalam laporan yang disebut ”kertas posisi” volume ketiga, September tahun lalu, George menganggap janji listrik murah, bahkan gratis, kepada warga sekitar proyek itu tak lebih dari sekadar tipuan Bukaka. Masalah akan timbul ketika Bukaka harus menurunkan tegangan tinggi yang keluar dari PLTA agar sesuai dengan kebutuhan rumah tangga. ”Secara teknis dapat dilakukan, tapi biayanya tinggi sekali.” Ia meragukan hal itu akan terwujud.
Peneliti ini juga mengamati rencana- pembangunan transmisi tegangan ting-gi yang mulai berjalan. Yang pertama adalah transmisi yang menuju lokasi- indus-tri tambang nikel milik Aneka- Tambang di Pomala’a. Kedua, meli-hat medan- yang dilalui transmisi itu, George yakin listrik akan dialirkan juga ke Soroako di Sulawesi Selatan. Di tempat itu beroperasi perusahaan tambang asal Kanada, yakni PT Inco, yang mengolah bijih nikel dalam skala paling besar di Asia Tenggara.
George menyebut kenyataan itu ironi- yang lazim terjadi dalam sebuah pro-yek pembangkit listrik raksasa dan trans-misi- tegangan tingginya. ”Rakyat miskin di pedesaan hanya dapat melihat kabel tegangan tinggi melintas di atas kepala mereka, tanpa menikmati energi- ajaib- itu,” katanya dalam laporannya. ”Itu bukan gejala khas Indonesia.”
Proyek Poso ini juga menuai banyak protes, antara lain dari puluhan wa-kil komunitas dan organisasi swada-ya masyarakat yang kemudian bergabung da-lam Front Advokasi PLTA dan SUTET- Poso. ”Yah, biasalah. Ada saja yang ku-rang puas,” kata Achmad Kalla menanggapi protes mereka. Tak ha-nya itu, kucuran kredit bank milik negara pun terbilang seret. ”Karena mereka takut dicurigai macam-macam,” kata-nya. ”Ya sudah, kami cari dari yang lain saja.”
Y. Tomi Aryanto, M. Fasabeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo