Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Posisi Janji

17 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NIAT itu pernah dilontarkan Pre-siden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melintas di Laut Cina Selatan menuju Busan, Korea Selatan, medio November 2005. Di pesawat kepresidenan Airbus A330-341 itu, SBY berjanji akan mengatur gerak-gerik bisnis para pejabat beserta keluarga-nya.

Sebermula adalah banyaknya peng-aduan masyarakat soal bisnis pejabat yang tumbuh subur, termasuk kerabat dan koleganya, karena memanfaatkan jabatan. Sadar isu ini bisa menggoyang kredibilitas pemerintahannya, SBY berencana menerbitkan instruksi presiden.

Ada dua hal yang akan diatur dalam inpres itu. Pertama, keikutsertaan pejabat negara, baik langsung maupun tak langsung, lewat keluarga maupun kelompoknya, dalam mengikuti proyek pemerintah yang dananya dari anggaran negara. Kedua, menciptakan keadilan dalam proses tender, agar tidak ada pemanfaatan informasi demi keuntungan pejabat negara, keluarga, maupun kelompoknya.

Dukungan mengalir saat itu. Salah satunya dari ekonom Faisal Basri. Me-nurut dia, tak bisa ada toleransi sedikit pun bagi keluarga pejabat untuk terlibat dalam proyek-proyek pemerin-tah. ”Pokoknya, kalau proyek itu menyangkut dana publik dan ber-asal dari anggar-an negara, harus dilarang,” kata-nya tegas.

Tapi, empat bulan berlalu, janji itu seperti sirna ditiup angin. ”Saya tidak tahu di mana posisinya terakhir, karena tidak mengikuti prosesnya,” kata Andi Mallarangeng, juru bicara Pre-siden, pekan lalu. ”Jadi, saya masih harus cek lagi.”

Dradjad Wibowo, anggota Komisi- Keuangan DPR, mengatakan, Pre-siden mestinya ingat janji dan segera menge-luarkan aturan tersebut. Apalagi-, kata Dradjad, aturan itu bisa menjadi bagian pencegahan praktek korupsi. ”Juga, mempe-ngaruhi iklim investasi, karena terkait dengan keadilan dan kepastian hukum bagi investor lain.”

Terkait dengan ini, Dradjad mempertanyakan adanya pembicaraan Achmad Kalla dengan kakaknya, Jusuf Kalla, soal energi listrik. Pembicaraan itu, di mata politikus Partai Amanat Nasional ini, tidak etis. ”Bila wakil presiden ingin mengambil kebijakan soal ketersediaan energi listrik, pembicaraan jangan hanya dilakukan dengan adiknya, tapi undanglah banyak pengusaha,” katanya.

Di negara maju pun, ia menambahkan, pembicaraan intern keluarga yang menghasilkan kebijakan negara dan menguntungkan bisnis kelompok tertentu masuk dalam kategori skandal. ”Pejabat tersebut bisa dijatuhkan.”

Yandhrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus