Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUT-ribut soal listrik kembali menyeruak sepekan terakhir-. Pangkal soalnya, beredar propo-sal tentang rencana pemerintah membangun sejumlah pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas total 10 ribu megawatt.
Kasak-kusuk mulai bertiup ketika sejumlah nama beken disebut-sebut terlibat proyek ini. Achmad Kalla, lewat bendera PT Bukaka Teknik Utama, termasuk salah satunya. Perusahaan swasta lain yang juga dikabarkan bakal terlibat adalah PT Bakrie & Brothers milik keluarga Bakrie.
Ada pula PT Medco Energi punya Ari-fin Panigoro, PT Inti Karya Persada Teknik milik Mohammad ”Bob” Hasan, dan PT Tripatra milik Iman Taufik, mantan Ketua Kadin yang juga pemilik- tak langsung PT Bumi Resources—sa-tu di antara anak perusahaan Grup Bakrie-.
Keberadaan nama Achmad Kalla dan keluarga Bakrie disorot karena keduanya- punya hubungan langsung dengan pejabat teras negara. Achmad tentulah adik Wakil Presiden Jusuf Kalla, sedangkan PT Bakrie & Brothers jelas punya kait-an dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie.
Semua perusahaan swasta itu direnca-nakan bergabung dalam konsorsium bangun listrik nasional. Di dalamnya juga masuk enam perusahaan milik ne-gara: PT Krakatau Steel, PT Barata Indonesia, PT Pindad, PT PAL, PT Boma Bisma Indra, dan PT Nusantara Turbin.
Rencana ini tertuang dalam proposal- berjudul ”Carsh program Pemerintah RI 2006-2009” dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara, dengan total kapasitas 10 ribu megawatt. ”Ide ini datang dari Achmad, yang disampaikan kepada Jusuf Kalla,” kata sumber Tempo. Ketika diminta konfirma-sinya, Achmad tak menampik. ”Ya... na-ma-nya -dengan kakak, ngobrol-lah,” ujar-nya seperti dikutip Koran Tempo (12/4).
Usulan ini, masih kata sumber tadi, disampaikan Achmad ketika marak aksi menentang rencana pemerintah me-naik-kan tarif dasar listrik, pertengahan Maret lalu. Dalam kertas kerja delapan halaman yang disusunnya, ia menjelaskan tarif listrik tak perlu naik, asalkan bisa dilakukan efisiensi. Caranya, mesti dibangun tambahan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara 10 ribu megawatt.
Tertarik usulan ini, Jusuf Kalla langsung bergerak. Ia menyambangi kantor- pusat PLN untuk berunding dengan para petinggi perusahaan setrum negara- itu. Tak lupa ia membagi ide ini kepada Agung Laksono, Ketua DPR —yang juga bawahannya di Partai Golkar.
Berbekal inilah, menurut sumber itu, Agung dan Kalla pagi-pagi sudah menyatakan tak perlu ada kenaikan tarif listrik. Padahal, tim ekonomi kabinet, yang dipimpin Boediono, saat itu tetap ngotot menyuarakan perlunya kenaikan tarif.
Pandangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kali ini rupanya sejalan de-ngan Kalla. Rencana kenaikan tarif pun akhirnya dibatalkan pada 20 Maret lalu. Namun, ia berpesan agar segera diba-ngun pembangkit-pembangkit listrik ba-ru yang berbahan bakar non-minyak. Sebab, harga minyak yang mendekati US$ 70 per barel membuat biaya PLN kian bengkak.
Selain itu, kata Presiden, dengan kapasitas listrik pada akhir tahun ini yang cuma 30 ribu megawatt, diperkirakan pada 2010 bakal tekor 10-12 ribu megawatt. ”Saya ditugasi Presiden mempercepat pembangunan pembangkit itu,” kata Kalla kepada Tempo di kantornya, Kamis sore pekan lalu.
Nah, untuk merealisasi rencana itu, Kalla kemudian segera membentuk tim yang mengkaji usulan Achmad. ”Semacam tim ad hoc,” kata sumber tadi. Anggotanya meliputi pemerintah, wakil sejumlah BUMN, dan Bukaka. Hasilnya, ya, itu tadi, proposal carsh program pembangunan pembangkit berbahan bakar batu bara.
Dalam proposal itu disebutkan, konsumsi BBM untuk pembangkit listrik pada 2005 mencapai Rp 50,3 triliun. -Padahal, bila semua pembangkit berbahan bakar BBM diganti batu bara, hanya- butuh biaya Rp 9 triliun. Artinya, bisa menghemat Rp 41 triliun atau sekitar Rp 113 miliar per hari.
Biaya pembangunan satu unit pembangkit batu bara US$ 800 ribu per megawatt. Jadi, untuk mengganti pembangkit listrik BBM 10 ribu megawatt, setidaknya butuh dana US$ 8 miliar atau sekitar Rp 76 triliun. Jika dikalkulasi, ini berarti hanya butuh dua tahun untuk mengganti ongkos pembangunan pembangkit dari hasil pengiritan dana, setelah pembangkit BBM diganti batu bara.
Lantas, dari mana proyek ini bakal didanai? Pembiayaan rencananya akan dikucurkan pemerintah lewat penerbitan surat utang US$ 2,5 miliar (Rp 22,5 tri-liun) per tahun selama tiga tahun. Obligasi itu sendiri baru akan dibayar mulai tahun keempat dan kelima, dari ke-untungan PLN atau hasil penghematan.
Setelah dibangun—maksimal dalam tiga tahun—pembangkit itu pun akan dilego ke investor swasta. Dengan begitu, pemerintah akan kembali mengantongi dana beserta keuntungan yang didapat.
Berdasarkan skema proposal itu, proyek pembangunan pembangkit bakal ditangani Badan Pengelola Kelistrikan Nasional. Badan ini langsung di bawah presiden atau wakil presiden, dan bertugas menyiapkan dokumen tender proyek yang sederhana sehingga mempercepat proses tender. ”Jadi satu atap, agar tidak berbelit-belit,” kata Kalla.
Di bawah naungan Badan Pengelola itu, proyek pembangkit nantinya akan dibagi dalam dua kelompok pengerjaan. Pembangunan pembangkit skala besar, 135-600 megawatt, dengan total kapasitas 8.000 megawatt, akan dikerjakan oleh kontraktor asing. Sedangkan skala kecil-menengah, 6-135 megawatt, dengan total kapasitas 2.000 megawatt, sepenuhnya dilakukan kontraktor- lokal-.
Kontraktor lokal itulah yang nantinya bakal bernama Konsorsium Ba-ngun Listrik Nasional. Selain sejumlah BUMN, konsorsium ini juga akan me-libatkan perusahaan-perusahaan swasta. ”Tapi, konsep itu baru contoh, belum final,” kata Jusuf Kalla. Meski begitu, rencana ini telah dibicarakan dalam -sidang kabinet.
Dengan keberadaan Badan Pengelola, otomatis peran PLN tergantikan. Padahal, PLN telah punya rencana memba-ngun sendiri pembangkit sekitar 3.000 megawatt. Sedangkan sisanya ditenderkan ke pihak swasta.
Sejauh ini, kata juru bicara PLN, Muljo Adji, sudah dilakukan prakualifikasi- tender atas 6-8 lokasi pembangunan pem-bangkit berdaya besar oleh pihak swasta (independent power plant). Selain itu, PLN juga mengajak investor membangun sekitar 40 IPP kecil.
Tapi, masalahnya, seperti disebut dalam proposal itu, semua tender belum berjalan. Salah satu kendalanya, tak mudah mendapatkan pemodal yang mau berinvestasi tanpa jaminan pemerintah. Ini pun masih dipersulit oleh berbagai prosedur administrasi yang berbelit-belit.
Apa pun alasannya, menurut sumber Tempo, langkah potong kompas peme-rintah ini telah menyinggung para pe-tinggi PLN. Namun, Muljo menepisnya. ”Kami belum berpikir ke situ,” ujarnya. Ia pun mengaku, sejauh ini belum tahu rencana pemerintah itu.
Keterangan senada diungkapkan -Murtaqi Syamsuddin, juru bicara PLN lainnya. ”Kami positive thinking- -saja-lah,” katanya. ”Toh, ini untuk per-cepat-an pembangunan nasional-.” Meski begitu, ia menegaskan, PLN sanggup menangani proyek pembangkit itu. ”Kami siap kalau memang ditugasi pemerintah.”
Sebagai tindak lanjut rencana ini, Jusuf- Kalla mengatakan telah menugasi- Departemen Perindustrian untuk -mengajak semua perusahaan nasional- terlibat dalam proyek ini. Achmad -Kalla termasuk yang diundang Menteri Per-industrian Fahmi Idris untuk pertemuan pada 13 April lalu. Namun, acara ini batal.
Achmad membenarkan, Bakrie dan Medco termasuk yang diundang ke pertemuan itu. Namun, Direktur Keuangan PT Bakrie & Brothers, Yuanita Rohali, dan Presiden Direktur Medco, Hilmi Panigoro, mengaku belum mendapat tawaran pemerintah untuk bergabung dalam konsorsium.
Sejumlah kalangan mempertanyakan keterlibatan perusahaan-perusahaan milik keluarga pejabat dalam proyek ini. Apalagi, Deputi Direktur Energi Primer PLN, Tony Agus Mulyanto, pernah me-ngatakan proyek ini dimungkin-kan tanpa- melalui tender. Alasannya, ”Proses tender makan waktu satu tahun.” Pembangunan pembangkit batu bara pun lebih lama, sekitar 31 bulan.
Menurut Dradjad Wibowo, hal ini perlu diwaspadai. Apalagi, kata politisi Partai Amanat Nasional ini, jika benar kebijakan itu hasil pembicaraan antar-anggota keluarga pejabat negara, yang menghasilkan keuntungan buat bisnis keluarganya. ”Ini rawan KKN,” kata Fabby Tumiwa, Koordinator Working Group on Power Sector Restructuring, menambahkan.
Jusuf Kalla menyatakan, usulan itu bukan hanya datang dari Achmad -Ka-lla. ”Sejak 2005, PLN juga sudah punya, tapi pelaksanaannya lambat se-kali.” Ia pun menjamin proyek dilakukan lewat pro-ses tender. ”Hanya, prosesnya disederhanakan,” ujarnya.
Metta Dharmasaputra, Thontowi Jauhari, Muhammad Fasabeni, Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo