Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM mengetukkan palu, Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno bertanya, adakah pendapat anggota DPR terhadap pemandangan umum fraksi. Tapi, belum lagi bicaranya selesai, beberapa anggota DPR yang mengikuti sidang berteriak, ”Setujuuu….” Sidang ditutup.
Rapat paripurna Kamis pekan lalu itu menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia untuk disahkan menjadi undang-undang. Inilah RUU terakhir yang disetujui anggota DPR hasil Pemilu 1999 pada hari terakhir mereka bertugas. Pada masa sidang pertama 2004 yang berlangsung dari 16 Agustus hingga 30 September, DPR menyetujui 19 RUU.
Ini merupakan bagian dari sekitar 170 RUU yang telah diselesaikan DPR sejak Januari 2000. Kendati demikian, DPR masih punya tunggakan. Ada sekitar 40 RUU yang belum diselesaikan. RUU itu di antaranya kini ngendon di Badan Legislasi, salah satu pintu masuk penggodokan RUU, dan yang lainnya didistribusikan ke komisi-komisi.
Menurut Ketua Badan Legislasi DPR Zain Badjeber, RUU yang belum selesai dibahas antara lain RUU Lembaga Kepresidenan, RUU Kementerian Negara, serta RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Sedangkan RUU yang sudah berada di laci-laci komisi di antaranya RUU Perkreditan Perbankan dan RUU Likuidasi Bank. Keduanya ada di Komisi IX, yang membidangi keuangan dan perbankan.
Menurut Zain, ada beberapa kendala yang membuat tertundanya pembahasan RUU tersebut. Misalnya belum turunnya surat amanat presiden (ampres). Ampres merupakan surat penunjukan presiden kepada salah seorang menteri yang menjadi wakil pemerintah untuk bersama DPR membahas RUU. Ini terjadi pada RUU Kementerian Negara dan RUU Lembaga Kepresidenan.
Kendala lain menyangkut sistem pembahasan RUU itu sendiri. Beberapa anggota di Badan Legislasi, kata Zain, juga menjadi anggota di komisi atau di panitia khusus. Akibatnya, jadwal pembahasan sering berbenturan. Belum lagi kesulitan mencocokkan jadwal rapat dengan pemerintah.
Sekretaris Jenderal DPR, menurut Soetardjo, akan membuat daftar RUU yang belum selesai itu. Hanya, menurut politisi PDI Perjuangan ini, tidak ada istilah carry-over (bawaan) kepada DPR baru atas RUU yang belum selesai itu. Jadi, DPR baru diberi keleluasaan untuk meneruskan atau membuat sendiri. ”Terserah mereka,” kata Soetardjo.
Menurut Zain, Garis-Garis Besar Haluan Negara menjabarkan dalam Program Pembangunan Nasional adanya 120 item undang-undang khusus di bidang hukum. DPR sendiri menargetkan 200 RUU. ”Jadi, kalau dari segi program, targetnya memang tidak tercapai,” katanya.
Tertundanya pembahasan RUU itu, menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti, karena anggota DPR tidak memanfaatkan waktu mereka secara maksimal. Akibatnya, RUU itu kemudian menumpuk hingga akhir masa sidang. ”Karena waktunya mepet, pembahasannya terburu-buru,” katanya.
Ia juga melihat, DPR tidak menentukan skala prioritas atas RUU yang akan dibahas, serta koordinasi antara DPR dan pemerintah lemah. PSHK melihat, secara kuantitas, RUU yang dihasilkan DPR periode 1999-2004 ini luar biasa. Jumlah 170 RUU itu merupakan angka tertinggi dalam sejarah parlemen.
Angka ini melampaui rekor yang dipegang Komite Nasional Indonesia Pusat pada 1945-1950, yang berhasil merampungkan 135 undang-undang. Tapi, PSHK melihat, kualitas RUU itu masih jauh dari harapan. Ini, misalnya, bisa terlihat dari banyaknya kritik yang dilontarkan berbagai organisasi dan juga undang-undang yang sekarang diproses di Mahkamah Konstitusi.
Namun Zain menolak jika pihaknya disebut sekadar mengejar kuantitas. Menurut dia, jika RUU itu bersifat teknis, waktu pembahasannya memang bisa singkat. ”Tapi, jika nuansa politisnya kental, pembahasannya bisa siang-malam,” katanya. Yang jelas, tugas besar kini menanti DPR baru: meneruskan atau segera memilih RUU mana yang harus segera dituntaskan.
Sukma N. Loppies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo