Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua tangannya meraup bongkahan arang kayu yang "menggenangi" lantai ruangan seluas sekitar separuh lapangan bulu tangkis di Galeri Lawangwangi, Bandung. Setelah empat kali bolak-balik menuangkannya di atas meja seluas koper, Melati Suryodarmo menumbuk arang yang sudah dingin itu dengan roll besar. Bunyi-bunyi dari proses itu diperbesar dengan mikrofon kecil di bawah papan meja ke pengeras suara. Setelah potongannya menjadi lebih kecil, arang itu lalu digerus dengan telaten hingga menjadi abu. Bubuk hitam itu susut dengan sendirinya, berhamburan ke segala arah di sekitar meja.
Performance art pada Rabu pekan lalu itu dimulai Melati tepat waktu. Pukul 9 pagi saat masih nihil pengunjung, tangan dan busana putih seniman kelahiran Surakarta 43 tahun lalu itu sudah belepotan hitam arang. Dalam pertunjukan "I’m Ghost in My Own House" tersebut, Melati terus-menerus menggiling arang hingga pukul 9 malam atau selama 12 jam. Penampilan Melati sekaligus membuka pameran tunggalnya yang bertajuk sama dengan judul pertunjukan itu hingga 25 Oktober mendatang.
Pertunjukan Melati itu sebenarnya mengangkat kisah kematian. Arang menjadi simbol bekas energi kehidupan. Pada buku katalog pameran, ia menulis: "Arang yang menjadi bubuk, hanya akan berhenti potensinya untuk menjadi sebuah energi. Pikiran-pikiran saya yang ter-arang-kan oleh sistem, jika melalui sebuah proses pembebasan, katarsis, atau kematian, mungkin akan tumbuh lagi menjadi sesuatu yang baru."
Bagi Melati, kematian merupakan akhir peristiwa. Dengan begitu, kematian bisa terjadi berulang kali semasa manusia hidup, misalnya kisah masa silam. Namun jejak kisah itu masih bisa ditelusuri sepanjang manusia belum benar-benar dikubur. Melati menapak tilas kisahnya dengan mendatangi tempat-tempat masa kecilnya di Surakarta. Misalnya Sasono Mulyo, Keraton Surakarta, Kampung Kemlayan, dan Pemakaman Untoroloyo.
Melati adalah putri tokoh gerak Suprapto Suryodarmo, pemimpin Padepokan Lemah Putih Solo. Sejak 1994, dia pindah dari Surakarta untuk belajar dan berkeluarga di Jerman. Selama tiga tahun, 2006-2008, rumah tangganya mengalami krisis yang hebat. Dia merasa seperti hidup dalam kaul selibat. Walau tetap tinggal serumah dengan suami dan anaknya, Melati merasa terasing dan tak punya rumah serta tujuan. Dia merasa hidup seperti hantu yang bergentayangan di rumahnya sendiri.
Situasi itu ia tampilkan lewat karya instalasi Destination #1 sampai #3 dan Liar. Semuanya memakai bentuk tempat tidur besi seukuran satu orang. Tiga di antaranya memakai kasur tipis berwarna tembaga dan kuningan. Paduannya seperti mempertemukan suasana dingin dan kehangatan di ranjang. Sorotan lampu yang tak penuh ikut menyokong suasana temaram pada kumpulan instalasi itu.
Melati mengatakan Destination mewakili pikirannya tentang rumah yang ia tinggalkan sekaligus dirindukan. Tempat tidur kosong menawarkan dua situasi berbeda: tempat untuk tubuh kembali berbaring atau ditinggalkan tubuh yang bergerak. Ranjang itu pun menjadi punya arti sebagai tempat tujuan sementara. Dengan merasa tidak berumah, tujuan hidup seakan-akan seperti ilusi dan orang merasa terasing.
Situasi keterasingan juga ditemui saat lulusan Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran pada 1993 itu berhadapan dengan masa lalunya di Surakarta. Perasaan itu direkamnya dengan gambar diam berupa seri foto Alienation of the Stone, yang berjumlah enam lembar, masing-masing berukuran 1 meter persegi. Pada karya itu, sekujur tubuh Melati yang selalu dibungkus kain merah meringkuk di tengah pendapa Sasono Mulyo, hutan jati, gang di Kampung Kemlayan, di depan pintu rumahnya, dan selasar Keraton Surakarta. Di jalan tanah pekuburan Untoroloyo, bungkusan tubuh itu tersiram sapuan debu para perawat makam.
Menurut kurator pameran, Hendro Wiyanto, kain merah itu mewakili takdir kematian yang sering ditutup-tutupi orang agar tidak terasa berat menghadapinya. Diam tak bergerak, Melati melambangkan tubuhnya seperti batu. Tubuh meringkuk di tempat-tempat tersebut seperti gelandangan juga digunakan Melati sebagai pernyataan kondisi psikologis ketika terasing di tempat masa silam. Seperti tunawisma, ia hanya punya satu-satunya rumah, yaitu tubuhnya sendiri, untuk bertahan hidup. "Keterikatan dengan masa lampau itu sebenarnya memelihara rasa derita yang terus-menerus," ujar Melati.
Lulusan seni rupa dari Hochschule fuer Bildende Kuenste di Braunschweig, Jerman, itu melihat ada kesamaan pengalaman dengan rekan-rekan perempuannya. Pada karya berjudul Torso, Melati membuat cetakan tubuh-tubuh mereka dari bahan kulit kambing. Permukaannya tak mulus, tapi penuh garis guratan dan keriput seperti otot-otot menyembul di mana-mana.
Pameran tunggal Melati kali ini juga menyertakan koleksi gambar dan lukisan di atas kertas yang dibuatnya pada 2008, juga video The Dusk buatan 2010. Film berdurasi 26 menit itu mengisahkan kehidupan sejumlah perempuan dengan artis bule yang merasa kesepian di dalam rumah. Di dalam rumah kayu yang hangat pada musim salju itu, ada yang bekerja seperti menyetrika tanpa pakaian yang disetrika, juga ada yang gelisah. Tiga perempuan kembar berambut hitam panjang yang selalu tampak dari belakang berusaha keluar dari rumah sambil membawa koper. Satu per satu di bawah siraman salju, mereka tumbang, lalu hilang.
Hendro Wiyanto mengatakan Melati tidak mengungkapkan langsung masalah perempuan dalam pamerannya ini. "Tapi, saya pikir, ada empati yang mendalam karena dia juga perempuan dan mengalami masa krisis pernikahannya, otomatis proyeksinya ke sana," ujarnya. Tidak tertutup kemungkinan Melati juga sedang mengkritik kehidupan patriarki.
Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo