Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Temuan Besar dari Gang Sempit

Penemu kakus murah dan sehat ini memilih tetap tinggal di gang yang sempit di Malang, agar tetap bisa mencipta.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM berkarya, Agus Gunarto Ekoputranto tidak kalah dengan B.J. Habibie, doktor dari Institut Teknologi Aachen, Jerman. Bekas Presiden Indonesia itu menyumbangkan sebuah perhitungan dalam merancang pesawat terbang. Agus? Arek Malang ini mampu menciptakan kakus murah yang ramah lingkungan dan amat berguna bagi masyarakat luas.

Tapi Agus Gunarto bukanlah Habibie yang biasa tinggal di Negeri Jerman. Dia kerasan tinggal di gang sempit di bantaran Sungai Brantas, Malang, Jawa Timur. Lelaki 45 tahun ini menolak tawaran pemerintah Swedia menjadi warga negara kehormatan sebagai penghargaan terhadap karyanya.

Temuannya berupa kakus gotong-royong memang telah diakui dunia. Pertengahan tahun lalu, Agus juga mendapat penghargaan dari Emperor College di London, Inggris. Karyanya dinilai sebagai solusi termurah dan ramah lingkungan untuk mengatasi limbah pup kota besar. Selain mendapat sekeping platina seberat 250 gram, namanya terpatri di Museum Emperor Inggris, bersanding dengan nama Thomas Alva Edison si penemu lampu pijar.

Agus sadar otaknya tak bakal berputar jika dia berada di masyarakat modern seperti Eropa. Justru dari gang sempit tempat tinggalnya, di Jalan Keramat, Malang, dia bisa merasakan bagaimana bencana tinja menyerang. Bahkan, 17 tahun lalu, kotoran yang berserakan itu membunuh lima orang anak yang kalah bertarung dengan diare.

Kala itu tidak satu pun rumah di sana memiliki kakus. Saat kebelet, penduduk lari ke bantaran Sungai Brantas. Tapi anak-anak kecil lebih suka ngebom di got depan rumah. Lebih parah saat malam hari: mereka mengemas kotorannya di dalam tas plastik dan baru membuangnya ke sungai esoknya. Saat air sungai meluap, bungkusan-bungkusan yang mengambang itu berbalik ke perkampungan.

Sebagai ketua rukun tetangga, Agus mencoba mencari jalan keluar. Karena terbatasnya lahan, tidak mungkin mereka membuat septic tank sendiri-sendiri. Akhirnya, dia mencoba membuat septic tank bersama, kendati tidak semua warga memahaminya. "Sopir bemo wae kok dipercoyo," komentar para tetangganya saat itu.

Agus jalan terus. Dengan biaya sekitar Rp 6 juta, dia membuat bak bersemen sebesar lapangan bulu tangkis dan sedalam orang dewasa di ujung gang. Bak ini dibagi dua, untuk menampung ampas padat dan untuk yang encer. Di bagian bak encer diisi ikan lele—semula untuk mengetahui kadar racun cairan itu. Lalu di atasnya ditebar tanaman eceng gondok, untuk menyamarkan kotoran itu. Ternyata ikan lele bisa hidup di situ. Belakangan dia tahu, eceng gondok mampu menyerap logam berat dan membantu penguraian. Karena teknik sederhana ini, kotoran yang dialirkan ke sungai dari penampungan ini sudah tak beracun lagi.

Warga yang berniat menyalurkan kotorannya tinggal memasang jaringan pipa dari kakus di rumah ke saluran induk. Jadi, konstruksi jalur bebas hambatan itu menyerupai tulang ikan. Untuk membuat sambungan itu, setiap rumah cuma perlu mengeluarkan duit Rp 35 ribu. Tapi bagi warga, yang kebanyakan bekerja sebagai pemecah dan penjual batu kali, tarif itu masih dinilai berat. Awalnya, pelanggan Agus hanya tiga rumah. Baru setelah dirasakan manfaatnya, sekarang semua rumah, atau sekitar 600 perut, setiap hari memanfaatkan penampung murah itu.

Perubahan kebiasaan buang air besar itu membuat lingkungan di gang Agus menjadi bersih. Para mahasiswa pun lama-lama tertarik indekos di sana. Kebetulan di sekitar wilayah itu ada tiga perguruan tinggi. Sumber penghasilan warga pun bertambah. Kini model kakus karya dia telah dicontoh di berbagai kota, baik di Jawa maupun di luar Jawa.

Agus tidak pernah belajar teknik. Selepas sekolah menengah ekonomi atas, dia bekerja menjadi pelayan toko dan kuli batu di proyek Brantas. Baru enam tahun kemudian, setelah punya cukup banyak duit, dia berani mendaftar di Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka, Malang. Itu pun, seusai jam kuliah, dia masih harus bekerja mencuci mobil para pedagang di pasar dan menjual roti di sore hari.

Sesudah lulus sebagai sarjana ekonomi pada 1986, Agus menjadi pegawai sukarelawan di Dinas Kebersihan Kota Malang. Untuk menafkahi istri dan ketiga anaknya, dia bekerja sambilan sebagai sopir bemo. Harapannya menjadi pegawai negeri baru kesampaian lima tahun lalu, setelah ia meraih penghargaan Kalpataru dari Presiden Soeharto. Berbagai penghargaan lain pun diterimanya. Empat tahun lalu, majalah Far Eastern Economic Review memberinya Asian Innovation Award. Setahun kemudian, majalah Reader's Digest dari Hong Kong menyebutnya "Hero for Today". Karena prestasinya itu pula Agus lalu diorbitkan menjadi Kepala Unit Pengolahan Persampahan dan Air Limbah di Dinas Kebersihan Kota Malang.

Bukan cuma kakus karya Agus. Sepuluh tahun lalu, dia menemukan biofund, cairan organisme mikro berwarna cokelat tua yang berfungsi sebagai pengurai sampah organik. Sekarang temuan ini sudah diproduksi massal dengan merek BioFund.

Belakangan ini dia sedang mencoba membuat briket berbahan baku sampah yang dicampur dengan sabut kelapa, serbuk kayu, lem kayu, dan BioFund. Besarnya cuma sekepalan tangan orang dewasa. "Obsesi saya, kita bisa memanfaatkan sebanyak mungkin energi alternatif," kata Agus.

Semula dia tidak ingin mematenkan sejumlah karyanya. Namun dia akhirnya sadar untuk tidak mengulang kesalahan bangsa ini. Gara-gara kelalaian mendaftarkan paten atas tempe, teknik peragian khas Indonesia itu diklaim sebagai temuan bangsa lain. Agus berniat mematenkan Biofund temuannya karena belakangan juga sudah ada orang yang meniru produknya. "Cuma, saya masih bingung mengurusnya," katanya.

Tapi, dalam soal septic tank gotong-royong, Agus tidak mau mengangkangi temuan ini. Dia malah ingin menyebarluaskan teknik ini secara gratis.

Memang dia bukanlah Habibie, yang kini menikmati royalti dari karyanya berupa perhitungan retak konstruksi pesawat terbang. Dia cukup puas dengan kehidupan ekonominya yang mulai meningkat. Agus tetap tinggal di ujung gang. Tapi kini sebuah minibus baru, hasil dari jerih payahnya, telah diparkir di depan rumahnya. "Harta ini cuma pinjaman dari Tuhan. Saya harus tahu diri," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus