Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menanti Pembeli Datang di Tanah Abang

Pedagang di Pasar Tanah Abang menuding maraknya penjualan di TikTok Shop sebagai biang kerok sepinya pasar mereka.

21 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kondisi toko yang sepi pembeli di Pasar Tanah Abang, Jakarta, 19 September 2023. Tempo/Magang/Joseph

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Untuk pertama kalinya sejak sekian dekade, Pasar Tanah Abang sepi dari pembeli.

  • Penjual menuding maraknya penjualan di TikTok Shop sebagai biang kerok.

  • Perusahaan jasa pengiriman menyebutkan social commerce cuma 6 persen dari total transaksi.

Papan peringatan Covid-19 di Pintu Timur Blok B Pasar Tanah Abang itu menjadi ironi. Kewajiban menjaga jarak menjadi tak berarti di tengah sepinya pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Blok B Tanah Abang, hanya beberapa meter setelah mendaki anak tangga dari pintu depan, berjejer toko konveksi berikut manekinnya. Salah satunya Toko Ade yang menjual busana wanita. Ade, pemilik toko, tengah duduk-duduk menanti pelanggan bersama tiga karyawannya saat Tempo berkunjung ke sana, Selasa siang, 19 September 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua pegawai toko itu sibuk merapikan baju yang dipajang, sedangkan yang lainnya bermain ponsel di balik meja kasir. “Sampai siang ini, barang yang terjual baru satu potong," ujar Ade. "Ini masa yang paling sepi selama saya berdagang di sini.”

Perempuan paruh baya yang enggan menyebutkan usianya itu mengatakan kepadatan pembeli mulai berkurang beberapa waktu belakangan. Penurunan paling terasa sesudah Lebaran pada April lalu. 

Ade merupakan orang lama di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia berjualan baju di sana sejak 1995. Awalnya, dia buka toko di lantai dasar Blok F, sebelum pindah ke lokasi sekarang. Hingga tahun lalu, dia menjual paling sedikit dua lusin pakaian sehari. 

Sedikit demi sedikit, penjualannya terus turun. Berkurangnya pemasukan membuat Ade terpaksa memberhentikan karyawannya. "Dulu, yang kerja di sini tujuh orang," katanya.

Kondisi toko yang sepi pembeli di Pasar Tanah Abang, Jakarta, 19 September 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Kerinduan akan pelanggan dirasakan sebagian besar pedagang di Tanah Abang. Bisa jadi, ini pertama kalinya para pelapak di pasar yang berdiri sejak abad XVIII itu merasakan perasaan tersebut. Sebab, di hampir sepanjang waktu, Tenabang tak pernah sepi pembeli.

Pada 29 April 1989, misalnya, majalah Tempo menuliskan lesunya banyak pasar tradisional, seperti Pasar Jaya Blok M hingga Tunjungan Baru Surabaya. Namun Tanah Abang tak tersentuh.

Dalam artikel berjudul "Omset Melorot, Ratusan Kios Ditutup" itu disebutkan, lebih dari 60 ribu orang mengunjungi pasar saat Lebaran. Lapak dari Blok A hingga D Pasar Tanah Abang terisi penuh pedagang, meski biaya sewanya tergolong mahal. Pembeli antre memburu barang, khususnya di pusat grosir yang berada di lantai 1. Pembeli hanya diberi dua jatah bal grosiran. Jika lebih, pembeli harus menyewa jasa pengantar. Sugiyono Cablaka, Kepala Pasar Tanah Abang kala itu, mengatakan beberapa department store berbelanja di sana untuk dijual kembali di toko mereka. “Saya bisa membuktikannya,” kata dia. 

Pandemi Covid-19 menjadi pukulan yang menggoyahkan kedigdayaan Tanah Abang. Rahmat, 28 tahun, pedagang jaket di Blok F, mengatakan pelanggannya tak putus datang, bahkan dari luar Jawa. "Mereka menginap di hotel sekitar sini untuk belanja," kata pengusaha yang berjualan sejak umur 17 tahun itu.

Situasi berbalik 180 derajat begitu pemerintah memberlakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat beraneka tingkatan dan sebutan sejak virus corona menyerang Indonesia pada Maret 2020. Pandemi lewat, harapan pedagang pun meningkat. Perlahan, pelanggan mulai kembali memadati Pasar Tanah Abang.

Namun asa itu tak bertahan lama. Makin hari, lapak-lapak di sana kian sedikit didatangi pembeli. Rahmat tak lagi kedatangan tamu jauh dengan aneka bahasa dan logat. Karena pemasukan tak mencukupi, dengan berat hati dia melepas karyawan-karyawannya.

Rahmat, yang sebatang kara menjaga tokonya, masih terhitung beruntung. Banyak tetangga lapaknya yang gulung tikar. Di bagian atas Blok A dan Blok B, misalnya, lebih banyak kios yang tutup. Dwi, pedagang tas di lantai 3 Blok A, memilih pindah ke dekat kios rekannya yang berada di sudut belakang karena toko di kanan dan kirinya tak lagi buka.

Muis Batubara, 56 tahun, pemilik tiga toko tas di lantai yang sama, juga harus mengatur ulang dagangannya. Sebab, satu lapaknya kini digunakan Fatah, rekannya yang dulu berjualan koper di sana. Fatah banting setir pada empat bulan lalu karena dagangannya tak kunjung laku. “Jadi, dia coba peruntungan dengan jualan kopi,” kata Muis di lokasi.

Menyalahkan TikTok

Jika ditanya penyebab sepinya Tanah Abang, para pedagang menyerukan jawaban yang nyaris seragam, yaitu masifnya penjualan di TikTok Shop. Mereka yakin para pelanggan memilih berbelanja lewat aplikasi buatan Cina itu karena harga yang lebih murah. "Barangnya sama, tapi kami kalah bersaing karena harus bayar sewa, pajak, dan sebagainya," kata Ade.

Permasalahan itu sampai ke telinga Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki. Dia kemudian mengunjungi Pasar Tanah Abang dan menemui para pedagang.

Teten mengatakan telah berdiskusi dengan PD Pasar Jaya. Pengelola pasar mengakui memang terjadi penurunan angka penjualan. “Hingga 50 persen,” ujar dia pada Rabu, 20 September lalu. Ia juga menampung permintaan pedagang untuk mengatur penjualan online.

Menurut Teten, sebagian pelapak di Tanah Abang ikut mencoba terjun di e-commerce, tapi mereka gagal bersaing soal harga. Sebab, pemain lama bisa menjual produk-produk impor dengan harga lebih murah. Untuk itu, Kementerian Koperasi dan UKM akan membentuk mekanisme yang mewajibkan semua pedagang, baik offline maupun online, hanya menjual produk yang legal. "Para penjual online harus melengkapi dokumen barang dagangannya. Platform-platform harus mengaturnya," ujar Teten.

Muis Batubara dari lantai 3 Blok A Pasar Tanah Abang merupakan satu dari pedagang yang coba-coba berjualan online. Namun tidak dia teruskan. Sebab, untuk bersaing harga dengan pedagang online lain, dia harus menjual barang seharga modal atau bahkan lebih murah.

Pedagang melakukan siaran langsung di social commerce di Pasar Tanah Abang, Jakarta, 19 September 2023. TEMPO/Magang/Joseph

Keringanan Biaya Sewa

Di tengah seretnya pendapatan akibat paceklik pembeli, para pedagang tetap dikenai biaya sewa kios seperti biasa. Di Pasar Tanah Abang, menurut Rahmat di Blok F, biayanya mencapai Rp 80 juta per tahun. "Di Blok A dan Blok B lebih mahal, bisa sampai Rp 100 juta," ujarnya.

Di luar sewa, pedagang juga kudu membayar listrik dan biaya pelayanan, dari uang kebersihan hingga pemeliharaan lingkungan. Menurut Muis Batubara, biaya pelayanan kiosnya Rp 500 ribu per bulan. “Barusan saya bayar. Baru mampu membayar yang bulan delapan. Untuk bulan ini masih menunggak,” kata dia. Sementara itu, Rahmat membayar Rp 700 ribu per bulan.

Rahmat merasa persaingan antara pedagang pasar dan pedagang online berlangsung secara timpang. Sebab, pedagang online terbebas dari sekian banyak biaya yang menjadi beban mereka yang berjualan di pasar. “Kalau begini terus, bisa mati bisnis di sini,” ujarnya. 

Rahmat mengatakan telah menyampaikan kesulitan mereka ke pengelola pasar dan meminta keringanan biaya. Namun lobi mereka belum membuahkan hasil. Agus Lamun, Manajer Hubungan Masyarakat PD Pasar Jaya, tidak merespons telepon dan pesan permintaan konfirmasi yang Tempo layangkan soal kondisi pedagang di Pasar Tanah Abang.

Kegeraman para pedagang ke TikTok Shop sepertinya lebih disebabkan oleh maraknya tayangan penjualan yang hilir mudik di akun media sosial mereka. Sebab, pada kenyataannya, transaksi perdagangan via media sosial jauh lebih kecil ketimbang pasar online, seperti Tokopedia dan Shopee. 

Satu parameternya dapat dilihat dari jasa kurir. SiCepat, misalnya, masih didominasi pengantaran barang dari pedagang e-commerce, yang mencapai 92 persen dari total transaksi. "Social commerce (termasuk TikTok Shop) hanya 6 persen dan sisanya pengiriman pribadi," kata Wiwin Dewi Herawati, Corporate Communication Officer PT SiCepat Ekspres Indonesia, kepada Tempo.

ILONA ESTERINA | EFRI RITONGA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus