SETELAH kalah di Senayan, awal Februari lalu, diam-diam barisan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyiapkan seribu jurus untuk menyerang balik. Dan salah satu pukulan rahasia mereka Kamis dua pekan silam dipamerkan di kantor Kejaksaan Agung. Siang itu, lima anggota Fraksi PKB dan seorang anggota Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa menyodorkan segepok laporan berbagai kasus korupsi kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman. Dalam perbincangan selama hampir dua jam, kata salah satu anggota Fraksi PKB, Marzuki didesak untuk segera menguliti semua kasus itu. Lalu, ujungnya, sambil berpamitan, dengan nada bercanda salah seorang dari mereka berujar: "Ya, kalau tidak sanggup, Pak Marzuki lebih baik turun saja."
Tekanan halus yang dilakukan oleh PKB itu bukan tanpa alasan. Di mata mereka, Jaksa Agung sangat lamban mengorek tiga borok, yakni kasus penyelewengan dana Tabungan Perumahan (Taperum), dana non-neraca Bulog, serta korupsi di Departemen Pertambangan dan Energi. "Ada kesan, Jaksa Agung tidak memiliki strategi untuk mengusutnya," kata Rodjil Gufron, salah satu politisi PKB yang datang.
Desakan itu cukup mujarab. Jumat pekan lalu, di depan ribuan pendukungnya di Pasuruan, Jawa Timur, Presiden Abdurrahman Wahid telah berani menebar janji. Ia menyatakan: aparat penegak hukum segera menangkap "10 mantan pejabat yang diduga terlibat KKN". Tapi, Gus Dur tidak menyebut siapa mereka. Yang jelas, katanya, "Mereka orang besar, bukan orang kecil seperti kalian."
Ginandjar Kartasasmita adalah salah satu orang besar yang sedang diincar. Dalam laporan Rodjil dan kawan-kawan kepada Marzuki, nama sesepuh Golkar itu memang disebut. Ia bakal dijerat dengan dugaan mark-up dalam proyek kilang minyak milik Pertamina di Balongan, Indramayu, Jawa Barat. Dibangun mulai 1990 sampai 1995, kilang pemurnian minyak itu menelan biaya sebesar US$ 2,45 miliar. Padahal, berdasarkan studi banding di negara lain, proyek semacam itu hanya memakan duit sekitar US$ 1,6 miliar. Jadi, ada pembengkakan dana sebesar US$ 800 juta (atau dengan kurs sekarang sekitar Rp 800 miliar).
Penggelembungan dana itu, demikian laporan enam sekawan tadi, bisa dilepaskan peran pejabat saat itu. Di antaranya, Ginandjar, yang menjadi Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, Tabrani Ismail (kepala proyek), dan Faisal Abda'oe (Dirut Pertamina). Dan sebetulnya pula, seperti dipaparkan oleh Indonesian Corruption Watch, anggota Keluarga Cendana, Sigit Harjojudanto dan Siti Hardijanti Rukmana, juga menangguk keuntungan besar dari proyek tersebut. Di era Jaksa Agung Andi M. Ghalib, kasus tersebut sudah dibongkar. Hasil yang telah dilaporkan ke Habibie: Faisal dan Tabrani disebut sebagai calon tersangka, dan Ginandjar cuma dijadikan saksi.
Melihat kasus yang sempat mendingin itu diobok-obok lagi, mereka pun jadi merasa gerah. Faisal Abda'oe memilih tak banyak bersuara. "Kasus Balongan sudah dilaporkan dan sedang ditangani yang berwenang," katanya kepada TEMPO. Ginandjar, yang sekarang tengah menjadi dosen tamu di Universitas Harvard, Amerika Serikat, juga bungkam. Hanya pengacaranya, Muhyar Yara, yang melontarkan pembelaan. Tudingan itu, katanya, tak beralasan karena ketika Ginandjar menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, proses negosiasi proyek Balongan sudah rampung. Jadi, "Sebetulnya Pak Ginandjar tidak tahu-menahu," ujarnya.
Selain terjerembap dalam kilang minyak, Ginandjar juga disebut-sebut tersangkut dalam kasus pembelian saham PT Freeport. Ia dituding memuluskan langkah Aburizal Bakrie untuk mendapat 10 persen saham perusahaan tembaga di Papua itu secara gampang. Namun, lagi-lagi, Muhyar menepis: Ginandjar tidak mempunyai wewenang dalam urusan itu.
Sekadar bantahan tak membuat mantan Menteri Ekuin di era Presiden Habibie itu bisa nyaman. Pekan lalu, Kejaksaan Agung telah menyodorkan kepastian. Ginandjar akan diperiksa pada 20 Februari ini. Untuk sementara ia akan diperiksa sebagai saksi. Barulah kalau terbukti melakukan penyelewengan, kata Mulyohardjo, Kepala Pusat Penerangan Hukum, statusnya akan dijadikan tersangka.
Rupanya, setelah diserang lewat memorandum DPR yang mengancam kursinya, Presiden Abdurrahman benar-benar mengamuk. Bukan Ginandjar saja yang dihantam. Jurus mautnya kini juga mendarat ke muka Akbar Tandjung. Ketua DPR yang juga Ketua Umum Golkar tersebut mulai diterpa kasus penyelewengan dana Taperum. Belum tuntas dengan masalah lama yang terjadi saat ia menjabat Menteri Perumahan Rakyat, kasus lain sudah menunggu. Pekan lalu, tiba-tiba ia dilaporkan oleh Kurnia Ananda, keponakannya sendiri, ke polisi gara-gara kasus tanah. Akbar dituduh memalsukan sertifikat tanah seluas 99 ribu meter persegi di Srengseng, Jakarta Barat. Kata Kapuspen Polri, Brigjen Pol. Saleh Saaf, Ketua DPR itu akan segera diperiksa setelah saksi pelapor memberikan keterangan.
Menghadapi serangan ganda, ketika ditemui TEMPO, Akbar tampak muram. Kasus tanah itu sebetulnya sudah lama dan telah pula diproses di pengadilan. Namun, lanjut pria yang suka bicara kalem itu, "Kalau sekarang ditanyakan lagi, saya siap menjelaskan." Diakui oleh Akbar, semua terpaan yang menimpa dirinya dan juga Golkar belakangan ini tak lepas dari situasi politik pascamemorandum. Dan ia siap menghadapinya.
Yang dialami Golkar memang unik. Awal Februari, partai ini berupaya memainkan kartunya dalam percaturan politik dengan menyokong memorandum. Sikap ini diambil setelah kalangan PAN, PPP, dan PDI-P juga menyetujui hasil pansus DPR mengenai Buloggate dan Bruneigate. Celakanya, cuma Golkar yang kini mendapat hantaman balik. Selain tokoh-tokohnya dikuliti, di mana-mana kantor Golkar diserbu orang-orang NU sambil berteriak, "Bubarkan Golkar".
Bukan berarti tokoh dari partai lain tidak menjadi incaran. Nama Fuad Bawazier, anggota Fraksi Reformasi, misalnya, kini juga sering menjadi gunjingan orang-orang PKB. Ulahnya menjadi Dirjen Pajak diingat lagi. Ia dituding telah membebaskan pajak bagi mobil nasional Timor. Lalu, Fuad dianggap mengabaikan Undang-Undang No. 9/1994 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Ketika itu, ia lebih tunduk pada PP No. 68/1983, yang meniadakan pengusutan pajak atas deposito berjangka, termasuk Tabanas dan Taska. Tapi, Fuad menganggap semua tudingan itu mengada-ada. Sebab, kewenangan pembebasan pajak bukan berada pada Dirjen Pajak, melainkan Menteri Keuangan. Ia juga heran mengapa serangan itu baru muncul sekarang setelah keluar memorandum DPR. Jadi, seperti yang dituturkan kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO, ia menangkap kesan: isu itu untuk mengalihkan perhatian publik saja.
Fuad tak salah. Hampir semua kasus yang diendus lagi sekarang memang kasus lama, bahkan sebagian sudah ditangani Kejaksaan Agung. Seperti yang pernah dilakukan Habibie dulu, Presiden Abdurrahman seolah memainkan perkara demi sebuah kepentingan politik. Dan untuk sementara, jurus itu cukup efektif. Suara yang menuntut Presiden Abdurrahman mundur agak senyap. Penggalangan tanda tangan para anggota DPR untuk menyokong sidang istimewa MPR pun?sebagai upaya untuk menggusur Presiden?pelan-pelan berhenti.
Tapi, perang belum selesai. Di sana-sini masih terjadi unjuk rasa yang menuntut agar Presiden Abdurrahman insaf dan menyerah. Dan Kamis pekan lalu, sebuah serangan mendadak dilancarkan oleh Abdul Qadir Djaelani, anggota Fraksi Partai Bulan Bintang. Dia mengaku mendengar kabar, Presiden Abdurrahman mendapat dana Rp 33 miliar dari Ratu Beatrix dari Kerajaan Belanda. Hanya, isu itu segera ditampik oleh Wimar Witoelar, juru bicara Presiden. Kepada Hadriani Pudjiarti dari TEMPO, ia juga tidak bisa menjelaskan duduk perkaranya karena bantuan itu memang tidak pernah ada.
Sampai di sini, ujung pertarungan besar yang mempertaruhkan kekuasaan masih sulit ditebak. Presiden Abdurrahman sendiri belum tentu bisa menuntaskan jurus-jurus "menjerat lawan". Kuncinya justru dipegang oleh Marzuki Darusman, yang kebetulan Golkar. Menurut sebuah sumber di Istana, pembongkaran kasus lama itu pun baru dimulai setelah Marzuki diancam dicopot. Ancaman tersebut terlontar pada Rabu dua pekan silam, saat ia dipanggil Presiden. Marzuki disodori pilihan: bersedia menuntaskan kasus KKN atau akan diganti oleh Baharuddin Lopa, mantan Dirjen Pemasyarakatan.
Dalam situasi yang sulit itu, akhirnya Marzuki memilih bertahan dan meminta waktu dua pekan untuk membereskan tugas itu. Lopa kemudian diangkat menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, menggantikan Yusril Ihza Mahendra. Sayang, ketika dikonfirmasi soal kabar ini, mantan ketua Komnas HAM tersebut enggan berterus terang. "Saya tidak bisa mengomentari posisi saya. Yang jelas, ada tekanan dari PKB agar Gus Dur mencopot saya," ujarnya kepada TEMPO.
Tekanan itu belum berhenti hingga di sini. Situasi yang dilematis masih terus mengimpitnya, yakni meladeni tuntutan PKB dan Presiden Abdurrahman atau menimbang kepentingan Golkar. Terserah Marzuki. Pokoknya, kata Muhaimin Iskandar dari PKB, "Bola sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung."
Gendur Sudarsono, Adi Prasetya, Tomi Lebang, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini