Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah drama yang karikatur

Pemain: s bagio, maruli sitompul skenario: parakitri. sutradara: edward sirait produksi: pt sanggar film resensi oleh: isma sawitri. (fl)

19 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANG GURU Pemain: S. Bagio, Maruli Sitompul, Rahayu Effendi, Bambang Hermanto Skenario: Parakitri Sutradara: Edward Sirait Produksi: PT Sanggar Film HAMPARAN hijau segar memenuhi layar. Dan warna kosong itu diisi oleh tutur kata manusia -- bicara tentang perangai, watak, kejujuran. Setelah beberapa detik, hijau tersingkap, dan nampaklah manusia itu, yang tidak lain adalah Bagio -- S. Bagio. Ia berdampingan dengan Billy, anak lelaki Inge Sarosa. Segeralah diketahui bahwa Bagio, pelawak yang tersohor itu, dalam film ini berperan sebagai seorang guru yang memberi pelajaran privat di samping mengajar di sekolah Tunas Muda. Guru itu bernama Topaz. Berperawakan kecil dan selalu bersungguh-sungguh, Topaz sering kelihatan polos, bahkan naif. Pendeknya tipe manusia sederhana, tapi sikap hidupnya tidak demikian. Sebagai guru yang mengajarkan Budi Pekerti (sekarang ini mungkin PMP), perilakunya sehari-hari mencerminkan ajarannya. Cerita dimulai dari 3 wanita yang mewarnai jalan hidupnya. Wanita pertama Ny. Wiryodiprojo -- yang melabrak Topaz karena rapor anaknya buruk. Wanita kedua Astuti (Ully Artha), putri Direktur Mursalin, yang senang memperalat Topaz tapi sang guru toh jatuh hati padanya. Bahkan nekat merayu Astuti dan, seperti dapat diduga, gagal total. Wanita ketiga Inge Sarosa (Rahayu Effendi), kekasih Kunto Subono (Bambang Hermanto) yang juga memperalat Topaz tapi akhirnya berhasil dijinakkan. Dalam status menganggur, setelah Topaz dipecat sang direktur (Maruli Sitompul) -- karena berani menentang Ny. Wiryodiprojo, di samping merayu Astuti -- ia diberi perangkap berupa upaya licik Kunto dan Inge. Oleh mereka ia diangkat sebagai direktur bayangan sebuah perusahaan yang juga bernama Topaz. Kerja utamanya menutup mulut, dan menandatangani surat-surat agar usaha pompa bensin dan truk milik Kunto berjalan lancar. Batin Topaz tersiksa begitu ia mengetahui peran hina apa yang sedang ia mainkan. Tapi untuk lepas sudah tidak mungkin karena Inge mencegahnya dengan berbagai cara. Telanjur basah, Topaz mencebur sekalian. Tak tanggung-tanggung. Ia gumuli 'ketidakjujuran' itu dengan caranya sendiri. Topaz akhirnya tampil sebagai pengusaha yang disegani. Film ini ditutup dengan close-up Topaz dalam ekspresi wajah kalut, penuh haru. Batinnya terguncang. Ia berhadapan dengan wajah polos murid-muridnya yang memanggil-manggil. Di tangan mereka tergelar semboyan tentang budi-pekerti, kemiskinan, kejujuran. Memanggil-manggil. Hakikatnya, lewat film ini sutradara Edward Sirait dan penulis skenario Parakitri berusaha mengembalikan sosok budi-pekerti dan kejujuran ke tengah-tengah kita -- harta satu-satunya milik Topaz yang lenyap perlahan-lahan tanpa ada yang bertanya. Hanya, dari awal sampai akhir permasalahan itu tidak jelas benar apa dan bagaimananya. Tokoh Topaz nampak lebih mirip totalitas segala sifat luhur, tanpa jelas benar mengapa dan bagaimana dia bisa begitu. Tidak ada informasi, dan latar-belakang, motivasi kurang. Skenario menghadirkan tokoh ini -- plung! - tanpa warna, tanpa nuansa, cenderung karikatural. Benar, tiap kali dia tersipu melihat paha Inge -- tapi itu suatu kenyataan yang hanya bicara tentang kodrat alam, tidak lebih. Tokoh pembantu yang lain juga mengalami nasib kurang lebih sama. Mereka mewakili mental korup yang mengerikan, namun conditioning untuk itu tidak diciptakan. Bila pembuatan Sang Guru memang berangkat dari gagasan karikatur, memang sudah tepat ia dianggap sebuah satire -- meski bobotnya belum memberi peluang untuk drama. ASALAHNYA: sutradara menghindarkan tiap ciri yang mengarah ke drama. Contohnya, warna-warna cerah riang gembira dalam Sang Guru, sementara dalam banyak hal film drama menuntut kepekaan, juga dalam warna. Edward bahkan nampak lebih konsekuen, bila dilihat dari konsepnya menggarap akting. Tokoh Mursalin dan Inge terutama dihidupkan oleh Maruli dan Rahayu Effendi dengan gaya akting yang dibuat-buat, teatral sekali. Kumis dan potongan rambut Mursalin tidak terlepas dari konsep ini. Bahwa akting mereka dengan akting tokoh utama tidak sinkron, agaknya tidak jadi soal. Lagi pula ketidakserasian itu tersamar oleh permainan yang cukup baik yang dipertunjukkan Bagio, Maruli Sitompul dan Bambang Hermanto. Satu hal yang tidak kurang penting ialah bagaimana film ini memberi porsi terbesar untuk dialog. Sejak Pagar Kawat Berduri, Asrul Sani, mungkin inilah film Indonesia pertama yang berani melakukan pilihan yang demikian berbahaya. Akting memang telah menyelamatkannya. Juga kesungguhan dan kecermatan Edward. Namun karena dominasi dialog, sesekali frame film nampak seperti pentas, dan kali lain terasa meletihkan. Pergantian close-up dan medium close-up yang berkesinambungan agaknya juga memberi andil untuk ini. Terakhir, bahasa Indonesia baku yang dipompakan Parakitri juga suatu upaya terpuji. Setidaknya untuk membuktikan bahwa bahasa Indonesia siap untuk tugas apa saja, asal diketahui cara membawakannya. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus