SANG GURU
Pemain: S. Bagio, Maruli Sitompul, Rahayu Effendi, Bambang
Hermanto
Skenario: Parakitri
Sutradara: Edward Sirait
Produksi: PT Sanggar Film
HAMPARAN hijau segar memenuhi layar. Dan warna kosong itu diisi
oleh tutur kata manusia -- bicara tentang perangai, watak,
kejujuran. Setelah beberapa detik, hijau tersingkap, dan
nampaklah manusia itu, yang tidak lain adalah Bagio -- S. Bagio.
Ia berdampingan dengan Billy, anak lelaki Inge Sarosa. Segeralah
diketahui bahwa Bagio, pelawak yang tersohor itu, dalam film ini
berperan sebagai seorang guru yang memberi pelajaran privat di
samping mengajar di sekolah Tunas Muda. Guru itu bernama Topaz.
Berperawakan kecil dan selalu bersungguh-sungguh, Topaz sering
kelihatan polos, bahkan naif. Pendeknya tipe manusia sederhana,
tapi sikap hidupnya tidak demikian. Sebagai guru yang
mengajarkan Budi Pekerti (sekarang ini mungkin PMP), perilakunya
sehari-hari mencerminkan ajarannya.
Cerita dimulai dari 3 wanita yang mewarnai jalan hidupnya.
Wanita pertama Ny. Wiryodiprojo -- yang melabrak Topaz karena
rapor anaknya buruk. Wanita kedua Astuti (Ully Artha), putri
Direktur Mursalin, yang senang memperalat Topaz tapi sang guru
toh jatuh hati padanya. Bahkan nekat merayu Astuti dan, seperti
dapat diduga, gagal total. Wanita ketiga Inge Sarosa (Rahayu
Effendi), kekasih Kunto Subono (Bambang Hermanto) yang juga
memperalat Topaz tapi akhirnya berhasil dijinakkan.
Dalam status menganggur, setelah Topaz dipecat sang direktur
(Maruli Sitompul) -- karena berani menentang Ny. Wiryodiprojo,
di samping merayu Astuti -- ia diberi perangkap berupa upaya
licik Kunto dan Inge. Oleh mereka ia diangkat sebagai direktur
bayangan sebuah perusahaan yang juga bernama Topaz. Kerja
utamanya menutup mulut, dan menandatangani surat-surat agar
usaha pompa bensin dan truk milik Kunto berjalan lancar.
Batin Topaz tersiksa begitu ia mengetahui peran hina apa yang
sedang ia mainkan. Tapi untuk lepas sudah tidak mungkin karena
Inge mencegahnya dengan berbagai cara. Telanjur basah, Topaz
mencebur sekalian. Tak tanggung-tanggung. Ia gumuli
'ketidakjujuran' itu dengan caranya sendiri. Topaz akhirnya
tampil sebagai pengusaha yang disegani.
Film ini ditutup dengan close-up Topaz dalam ekspresi wajah
kalut, penuh haru. Batinnya terguncang. Ia berhadapan dengan
wajah polos murid-muridnya yang memanggil-manggil. Di tangan
mereka tergelar semboyan tentang budi-pekerti, kemiskinan,
kejujuran. Memanggil-manggil.
Hakikatnya, lewat film ini sutradara Edward Sirait dan penulis
skenario Parakitri berusaha mengembalikan sosok budi-pekerti dan
kejujuran ke tengah-tengah kita -- harta satu-satunya milik
Topaz yang lenyap perlahan-lahan tanpa ada yang bertanya.
Hanya, dari awal sampai akhir permasalahan itu tidak jelas benar
apa dan bagaimananya. Tokoh Topaz nampak lebih mirip totalitas
segala sifat luhur, tanpa jelas benar mengapa dan bagaimana dia
bisa begitu. Tidak ada informasi, dan latar-belakang, motivasi
kurang. Skenario menghadirkan tokoh ini -- plung! - tanpa warna,
tanpa nuansa, cenderung karikatural. Benar, tiap kali dia
tersipu melihat paha Inge -- tapi itu suatu kenyataan yang hanya
bicara tentang kodrat alam, tidak lebih.
Tokoh pembantu yang lain juga mengalami nasib kurang lebih sama.
Mereka mewakili mental korup yang mengerikan, namun conditioning
untuk itu tidak diciptakan. Bila pembuatan Sang Guru memang
berangkat dari gagasan karikatur, memang sudah tepat ia dianggap
sebuah satire -- meski bobotnya belum memberi peluang untuk
drama.
ASALAHNYA: sutradara menghindarkan tiap ciri yang mengarah ke
drama. Contohnya, warna-warna cerah riang gembira dalam Sang
Guru, sementara dalam banyak hal film drama menuntut kepekaan,
juga dalam warna.
Edward bahkan nampak lebih konsekuen, bila dilihat dari
konsepnya menggarap akting. Tokoh Mursalin dan Inge terutama
dihidupkan oleh Maruli dan Rahayu Effendi dengan gaya akting
yang dibuat-buat, teatral sekali. Kumis dan potongan rambut
Mursalin tidak terlepas dari konsep ini. Bahwa akting mereka
dengan akting tokoh utama tidak sinkron, agaknya tidak jadi
soal. Lagi pula ketidakserasian itu tersamar oleh permainan yang
cukup baik yang dipertunjukkan Bagio, Maruli Sitompul dan
Bambang Hermanto.
Satu hal yang tidak kurang penting ialah bagaimana film ini
memberi porsi terbesar untuk dialog. Sejak Pagar Kawat Berduri,
Asrul Sani, mungkin inilah film Indonesia pertama yang berani
melakukan pilihan yang demikian berbahaya. Akting memang telah
menyelamatkannya. Juga kesungguhan dan kecermatan Edward. Namun
karena dominasi dialog, sesekali frame film nampak seperti
pentas, dan kali lain terasa meletihkan. Pergantian close-up dan
medium close-up yang berkesinambungan agaknya juga memberi andil
untuk ini.
Terakhir, bahasa Indonesia baku yang dipompakan Parakitri juga
suatu upaya terpuji. Setidaknya untuk membuktikan bahwa bahasa
Indonesia siap untuk tugas apa saja, asal diketahui cara
membawakannya.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini