Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA ratusan orang tersihir katakata motivator Andrie Wongso. Mereka memenuhi Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu pekan lalu. Inilah puncak peringatan sewindu berdirinya Provinsi Gorontalo, yang berpisah dari Sulawesi Utara pada 2001.
”Tanpa cinta yang luar biasa, Gorontalo tidak akan ada,” kata Andrie Wongso. Semua bertepuk tangan, termasuk Gubernur Fadel Muhammad, yang duduk di kursi deret belakang. Peringatan juga dilakukan dengan menggelar pameran, pemutaran film, serta diskusi.
Pembentukan Provinsi Gorontalo bisa dibilang mulus. ”Cuma butuh sekitar 14 bulan,” kata M. Nasser, bekas Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Komite Pusat Pembentukan Provinsi Gorontalo. Menurut dokter kulit kelamin yang pada 2001 bertugas di Rumah Sakit Marinir Cilandak ini, panitia menempuh semua jalur untuk melapangkan jalan. ”Ya, semacam gerilyalah,” katanya.
Pembentukan provinsi itu berawal dari kongkokongko beberapa tokoh perantauan Gorontalo di Jakarta pada 1999. Mereka tokoh berbagai bidang, termasuk media massa dan sektor konstruksi. Ide ini lantas dilempar ke daerah, yang ternyata bersambut. Namun, menurut bekas Wakil Gubernur Sulawesi Utara Hasan Abas Nusi, 78 tahun, ide pemisahan sudah muncul sejak 1970an dan kembali menguat setelah reformasi 1998.
Para penggagasnya membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Gorontalo. Mereka menggelar seminar di Gedung Bidakara pada 1999. Untuk melobi para pejabat dan tokoh kunci di Jakarta, Komite Pusat dibentuk dan bermarkas di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Dari markas itu, gerilya politik dilancarkan untuk mengail dukungan, khususnya sokongan dari Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat dan Departemen Dalam Negeri. ”Hampir tiap hari saya bolakbalik ke sana,” kata Nasser.
Panitia juga menggelar jamuan makan malam di Hotel Mulia. Hadir sekitar 20 anggota Komisi Pemerintahan Dewan. Di sini panitia mempresentasikan kebutuhan untuk membentuk Provinsi Gorontalo. Seusai acara, masingmasing anggota Dewan disodori bungkusan bersampul kertas cokelat berisi baju kerawang khas Gorontalo.
Komite Pusat juga melobi beberapa tokoh kunci anggota Dewan, seperti ketua fraksi dan ketua komisi. Komite bahkan mendatangi rumah dinas atau rumah pribadi para pentolan fraksi itu. Alamat mereka diperoleh dari buku alamat di pos keamanan perumahan anggota Dewan di Kalibata, Jakarta Selatan.
Kunjungan digelar tiap Sabtu dan Ahad. Tak lupa pelobi membawakan oleholeh ikan bakar, ayam bakar ricarica, dan binthe biluhuta (jagung siram khas Gorontalo). ”Jadi pendekatannya kekeluargaan. Tidak pakai uang sepeser pun,” ujar Nasser.
Beres di Jakarta, Komite Pusat mengundang para anggota Dewan meninjau lapangan pada 2000. Kali ini rombongan Senayan terdiri atas 22 orang, termasuk staf sekretariat komisi. Tiket pesawat Mandala Airlines para legislator dibayari panitia, juga akomodasi dan transportasi selama tiga hari di Manado dan Gorontalo.
Panitia juga mendatangi kamar hotel tempat menginap anggota Dewan. Amplopamplop segera berpindah tangan. ”Cuma Rp 1,8 juta per orang. Ini uang jalan karena mereka datang ke Gorontalo,” kata Nasser. Uang jalan ini juga diberikan kepada tim dari Departemen Dalam Negeri yang meninjau Gorontalo. Besarnya Rp 23 juta per orang.
Lobi juga dilakukan ke Gubernur E.E. Mangindaan melalui istrinya, yang kelahiran Gorontalo. Adapun Wakil Gubernur Hasan Abas Nusi, putra Gorontalo, telah mendukung sejak awal. Sebagian kalangan saat itu memprediksi Abas Nusi akan menjadi gubernur di provinsi baru.
Total dana yang dihabiskan untuk proses ini, menurut Nasser, sekitar Rp 1,3 miliar. Namun, menurut Abas Nusi, biayanya Rp 3 miliar lebih. Sumber dananya dari donasi masyarakat umum dan kontribusi kakap sekitar Rp 100300 juta dari sejumlah putra daerah, juga dengan menggelar acara penggalangan dana di Jakarta.
Begitulah contoh pernakpernik usaha membentuk provinsi baru. Secara formal, pembentukan daerah otonomi baru diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Prosedur Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Usul pembentukan provinsi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri, dengan dilampiri hasil penelitian daerah dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Menteri Dalam Negeri bisa menugasi tim untuk melakukan observasi ke daerah itu. Hasilnya menjadi bahan rekomendasi untuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Jika Dewan Pertimbangan setuju, Menteri Dalam Negeri mengajukan usul pembentukan daerah beserta Rancangan UndangUndang Pembentukan Daerah kepada Presiden. Rancangan ini lalu dimintakan persetujuan ke Dewan.
Pembentukan wilayah baru ini meledak sejak 1999, setelah otonomi daerah diterapkan. Hingga kini, telah terbentuk tujuh provinsi baru, 163 kabupaten, dan 33 kota. Pembentukan terbanyak dilakukan pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, yaitu tiga provinsi, 80 kabupaten, dan enam kota. Adapun di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbentuk 21 kabupaten dan empat kota.
Secara umum, di luar beberapa daerah baru yang sukses, pemecahan cenderung menurunkan kesejahteraan penduduk. Kesimpulan itu disampaikan Program Pembangunan Perserikatan BangsaBangsa (UNDP) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, yang melakukan riset berdasarkan ukuran indeks pembangunan manusia.
Tak semua pembentukan daerah baru semulus Gorontalo. Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau pada 2002, contohnya, tersendatsendat. Meskipun gagasannya dibahas berbarengan dengan Gorontalo, Banten, dan BangkaBelitung, Kepulauan Riau baru bisa memiliki gubernur definitif pada 2005. ”Prosesnya cukup panjang seperti rencana Provinsi Tapanuli yang rusuh itu,” kata Huzrin Hood, bekas Bupati Kepulauan Riau, yang saat itu menjadi Ketua Badan Pekerja Pembentukan Provinsi.
Upaya penggagas provinsi itu terganjal seretnya rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur Saleh Djasit. Itu sebabnya Badan Pekerja juga membentuk tim khusus lobi di Jakarta. Suatu ketika, Huzrin harus datang ke rumah Ketua Dewan, Akbar Tandjung, menjelang tengah malam untuk melobi.
Menurut bekas Sekretaris Badan Pekerja, Nur Syafriadi, lobi di Jakarta membuat pembahasan di Senayan bisa segera digelar. Namun, karena provinsi induk tidak juga memberikan rekomendasi, pembahasan tersendat di tengah jalan. ”Prosesnya jadi penuh liku,” kata Nur. Badan Pekerja sampai harus mengerahkan 3.000 orang untuk berdemonstrasi di Senayan.
Di tengah proses pembentukan provinsi, Huzrin dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara karena korupsi Anggaran Daerah Kepulauan Riau. Padahal ia digadanggadang sejumlah kalangan untuk jadi gubernur. Akhirnya, kursi nomor satu direngkuh Ismeth Abdullah, mantan Ketua Otorita Batam.
Budi Riza (Jakarta), Verrianto Madjowa (Manado), Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo