Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seribu Jurus Bercerai

Beragam cara ditempuh buat memuluskan pembentukan daerah otonomi baru. Tak semua berhasil.

9 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA ratusan orang tersihir ka­takata motivator Andrie Wong­so. Mereka memenuhi Tea­ter Kecil, Taman Isma­il Mar­zuki, Jakarta, Rabu pe­kan­ lalu. Inilah puncak peringatan se­windu berdirinya Provinsi Gorontalo,­ yang berpisah dari Sulawesi Utara pada 2001.

”Tanpa cinta yang luar biasa, Gorontalo tidak akan ada,” kata Andrie Wongso. Semua bertepuk tangan, termasuk Gubernur Fadel Muhammad, yang duduk di kursi deret belakang. Peringatan juga dilakukan dengan menggelar pameran, pemutaran film, serta diskusi.

Pembentukan Provinsi Gorontalo bisa dibilang mulus. ”Cuma butuh sekitar 14 bulan,” kata M. Nasser, bekas Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Komite Pusat Pembentukan Provinsi Gorontalo. Menurut dokter kulit kelamin yang pada 2001 bertugas di Rumah Sakit Marinir Cilandak ini, panitia menempuh semua jalur untuk melapangkan jalan. ”Ya, semacam gerilya­lah,” katanya.

Pembentukan provinsi itu berawal dari kongkokongko beberapa tokoh pe­rantauan Gorontalo di Jakarta pada 1999. Mereka tokoh berbagai bidang, termasuk media massa dan sektor konstruksi. Ide ini lantas dilempar ke da­erah, yang ternyata bersambut. Namun, menurut bekas Wakil Gubernur Sula­wesi Utara Hasan Abas Nusi, 78 tahun, ide pemisahan sudah muncul sejak 1970an dan kembali menguat setelah reformasi 1998.

Para penggagasnya membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Gorontalo. Mereka menggelar seminar di Gedung Bidakara pada 1999. Untuk melobi para pejabat dan tokoh kunci di Jakarta, Komite Pusat dibentuk dan bermarkas di kawasan Bendungan Hi­lir, Jakarta Pusat.

Dari markas itu, gerilya politik dilancarkan untuk mengail dukungan, khususnya sokongan dari Komisi Pemerin­tahan Dewan Perwakilan Rakyat dan Departemen Dalam Negeri. ”Hampir tiap hari saya bolakbalik ke sana,” kata Nasser.

Panitia juga menggelar jamuan makan malam di Hotel Mulia. Hadir sekitar 20 anggota Komisi Pemerintahan Dewan. Di sini panitia mempresentasikan kebutuhan untuk membentuk Pro­vinsi Gorontalo. Seusai acara, masingmasing anggota Dewan disodori bungkusan bersampul kertas cokelat berisi baju kerawang khas Gorontalo.

Komite Pusat juga melobi beberapa tokoh kunci anggota Dewan, seperti ketua fraksi dan ketua komisi. Komite bah­kan mendatangi rumah dinas atau rumah pribadi para pentolan fraksi itu. Alamat mereka diperoleh dari buku ­ala­mat di pos keamanan perumahan anggota Dewan di Kalibata, Jakarta ­Selatan.

Kunjungan digelar tiap Sabtu dan Ahad. Tak lupa pelobi membawakan oleholeh ikan bakar, ayam bakar ricarica, dan binthe biluhuta (jagung siram khas Gorontalo). ”Jadi pendekatannya kekeluargaan. Tidak pakai uang sepe­ser pun,” ujar Nasser.

Beres di Jakarta, Komite Pusat meng­undang para anggota Dewan meninjau lapangan pada 2000. Kali ini rombong­an Senayan terdiri atas 22 orang, termasuk staf sekretariat komisi. Tiket pesawat Mandala Airlines para legislator dibayari panitia, juga akomodasi dan transportasi selama tiga hari di Manado dan Gorontalo.

Panitia juga mendatangi kamar hotel tempat menginap anggota Dewan. Amplopamplop segera berpindah tangan. ”Cuma Rp 1,8 juta per orang. Ini uang jalan karena mereka datang ke Gorontalo,” kata Nasser. Uang jalan ini juga diberikan kepada tim dari Departemen Dalam Negeri yang meninjau Gorontalo. Besarnya Rp 23 juta per orang.

Lobi juga dilakukan ke Gubernur E.E. Mangindaan melalui istrinya, yang kelahiran Gorontalo. Adapun Wakil Gubernur Hasan Abas Nusi, putra Gorontalo, telah mendukung sejak awal. Sebagian kalangan saat itu memprediksi Abas Nusi akan menjadi gubernur di provinsi baru.

Total dana yang dihabiskan untuk proses ini, menurut Nasser, sekitar Rp 1,3 miliar. Namun, menurut Abas Nusi, biayanya Rp 3 miliar lebih. Sumber dananya dari donasi masyarakat umum dan kontribusi kakap sekitar Rp 100300 juta dari sejumlah putra daerah, juga dengan menggelar acara penggalangan dana di Jakarta.

Begitulah contoh pernakpernik usa­ha membentuk provinsi baru. Secara for­mal, pembentukan daerah otonomi baru diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Prosedur Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Usul pembentukan provinsi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri, dengan dilampiri hasil penelitian daerah dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

Menteri Dalam Negeri bisa menugasi tim untuk melakukan observasi ke daerah itu. Hasilnya menjadi bahan rekomendasi untuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Jika Dewan Pertimbangan setuju, Menteri Dalam Negeri meng­ajukan usul pembentukan daerah beserta Rancangan UndangUndang Pembentukan Daerah kepada Presiden. Rancangan ini lalu dimintakan perse­tujuan ke Dewan.

Pembentukan wilayah baru ini meledak sejak 1999, setelah otonomi da­erah diterapkan. Hingga kini, telah terbentuk tujuh provinsi baru, 163 kabupa­ten, dan 33 kota. Pembentukan terba­nyak dilakukan pada masa kepemimpin­an Presiden Megawati Soekarnoputri, yaitu tiga provinsi, 80 kabupaten, dan enam kota. Adapun di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbentuk 21 kabupaten dan empat kota.

Secara umum, di luar beberapa daerah baru yang sukses, pemecahan ­cen­derung menurunkan kesejahtera­an pen­duduk. Kesimpulan itu disampaikan Program Pembangunan Perserikat­an BangsaBangsa (UNDP) dan Badan­ Perencanaan Pembangunan Nasional,­ yang melakukan riset berdasarkan ukur­an indeks pembangunan manusia.

Tak semua pembentukan da­erah baru semulus Gorontalo. Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau pada 2002, contohnya, tersendatsendat. Meskipun gagasan­nya dibahas berbarengan dengan­ Gorontalo, Banten, dan Bang­kaBelitung, Kepulauan Riau ba­ru bisa memiliki gubernur definitif pa­da 2005. ”Prosesnya cukup panjang seperti rencana Provinsi Tapanuli yang rusuh itu,” kata Huzrin Hood, bekas Bupati Kepulauan Riau, yang saat itu menjadi Ketua Badan Pekerja Pembentukan Provinsi.

Upaya penggagas provinsi itu terganjal seretnya rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Guber­nur Saleh Djasit. Itu sebabnya Badan Pekerja juga membentuk tim khusus lobi di Jakarta. Suatu ketika, Huzrin harus datang ke rumah Ketua Dewan, Akbar Tandjung, menjelang tengah malam untuk melobi.

Menurut bekas Sekretaris Badan Pekerja, Nur Syafriadi, lobi di Jakarta membuat pembahasan di Senayan bisa segera digelar. Namun, karena provinsi induk tidak juga memberikan rekomendasi, pembahasan tersendat di tengah jalan. ”Prosesnya jadi penuh liku,” kata Nur. Badan Pekerja sampai harus mengerahkan 3.000 orang untuk berdemonstrasi di Senayan.

Di tengah proses pembentukan pro­vinsi, Huzrin dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara karena korupsi Anggaran Daerah Kepulauan Riau. Padahal ia digadanggadang sejumlah kalangan untuk jadi gubernur. Akhirnya,­ kursi nomor satu direngkuh Ismeth Ab­dullah, mantan Ketua Otorita Batam.

Budi Riza (Jakarta), Verrianto Madjowa (Manado), Rumbadi Dalle (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus