Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA, 1954. Sebuah opelet bergerak ke arah Kampung Bojong, Lenteng Agung, sebuah pedusunan di Pasar Minggu. Di dalamnya duduk para seniman anggota Masjarakat Seniman Djakarta Raja, yang membawa mandat dari Balai Kota untuk mengawasi kesenian rakyat. Ada sastrawan Rivai Apin, novelis Pramoedya Ananta Toer, budayawan Joebar Ajoeb, pelukis Basuki Resobowo, dan komposer Amir Pasaribu. Mereka naik opelet lantaran mobil pickup yang dijanjikan Kotapradja tidak muncul-muncul….
Perjalanan itu dilakukan sebagai bagian dari ”observasi” terhadap kekayaan hiburan rakyat, mulai gambus, keroncong, dagelan, topeng, reok, bobodoran, hingga lenong. ”Pertunjukan hiburan rakyat tidak boleh lepas dari gezonde smaak, selera yang sehat,” kata Amir, seperti yang ditulisnya di majalah Indonesia yang terbit pada Oktober 1954.
Dan pergilah mereka berlima ke Desa Bojong itu, satu jam berjalan kaki melalui jalan kereta api, demi menonton lenong. ”Teaternya podium tinggi di atas empat tonggak tinggi, lengkap dengan decor, orkes gambang kromong, hingga badut-badut pakai rok dan cat muka yang pittoresk (ini serapan dari picturesque),” Amir menulis.
Duduk di atas tikar besar di depan podium, Amir menyebutkan betapa makanan-minuman berseliweran: dari ongol-ongol, sate jeroan, es kopyor, serbat, Coca-Cola, hingga Jamu Jago. Penonton pun berseliweran datang dan pergi, seperti halnya para pemain lenong. Amir sangat kritis melihat pemain tonil, yang menurut dia terlampau silau oleh glamor bintang film Amerika, yang alis dan jambulnya turun-naik. Muncul pula hal yang keterlaluan idiotnya, kata Amir, ketika para badut lenong meniru aktor Hollywood, Danny Kaye, dengan baju tebal.
”Sampai di sini kelihatan lenong sudah corrupt dan outworn (kuno),” katanya.
SERANGKAIAN tulisan Amir soal musik dan kesenian mudah ditemukan di majalah budaya awal 1950-an hingga 1954, seperti majalah Pujangga Baru milik Sutan Takdir Alisjahbana, Zenith yang dipimpin H.B. Jassin, dan majalah Indonesia, tempat Amir sendiri pernah menjadi anggota dewan redaksi. Ia juga komposer yang kerap mempublikasikan partitur musik gubahannya di majalah-majalah itu. Komposisinya yang pernah dimuat antara lain Semar, Gareng dan Bagong, Tari Ikan Putri, Impresi Langgar, Clair de Lune, Variasi Sriwidjaja, Indihyang, dan Suite Villageoise.
Amir menulis apa saja, mulai resensi sebuah pertunjukan musik, apresiasi karya-karya komposer besar, sampai komentar detail tentang sayembara lagu. Amir menganggap orang Indonesia memiliki bakat alamiah dalam musik, tapi bakat alamiah saja tidak cukup, harus ada pemahaman musik berlandaskan ilmu. Gaya tulisannya kritis. Menggugah orang agar memberikan tempat yang layak pada musik serius. Bahkan resensi Amir menyiratkan gaya bahasa yang sinis dan pedas.
Tengok tulisannya di majalah Pujangga Baru Nomor 3, September 1952, berjudul ”Dua Malam Elise Cserfalvi”. Cserfalvi adalah pianis asal Budapest yang menampilkan resital di Gedung Kesenian Jakarta, memainkan karya-karya Paganini, Bartok, dan Ravel. Amir menganggap permainan Cserfalvi hanya pameran teknik, tanpa kedalaman interpretasi. Amir kesal saat karya Paganini La Streghe yang menjadi penutup program dimainkan Cserfalvi enteng, seperti musik salon. ”Apa-apaan cita rasa Cserfalvi ini? Seluruh programma jatuh runtuh olehnya, seperti nangka matang jatuh… becek!”
Menurut Nurman, putra Amir, masa-masa ketika Amir aktif menulis adalah masa yang sulit untuk hidup sebagai ”pemusik yang serius”. Nurman lahir pada 1946. Ia mengingat ayahnya saat itu bekerja sebagai pemain piano dan cello di Radio Republik Indonesia. Tapi, karena pendapatannya yang mepet, Amir pun banyak menulis di surat kabar, menerjemahkan subtitle (teks terjemahan) film Barat ke bahasa Indonesia, serta mengajar piano privat. ”Ayah sampai membuka bengkel untuk renovasi dan stem piano,” kata Nurman, yang bermukim di Belanda, dalam korespondensinya dengan Tempo.
Melalui artikelnya, kita bisa menyimpulkan Amir jengkel melihat selera musik masyarakat Indonesia yang dikuasai selera musik pop Amerika. Pada Maret 1953, Amir menulis ”Orkes Langgam Indonesia (Off-Beat = Cincang Babi!)”. Ia memulai artikelnya dengan pertanyaan: ”Mengapa band-band Amerika berkuasa menentukan selera bangsa kita?”
Cincang babi adalah istilah yang dipopulerkan Amir bagi pianis jazz yang memainkan sinkopasi dengan gaya tangan kiri melencak-lencak ke kanan dan ke kiri. Amir mengkritik grup-grup band jazz Jakarta yang melakukan improvisasi swing dengan akor-akor ad libitum alias sesuka-sukanya. Amir melihat perkembangan musik Indonesia tidak sehat. Masyarakat lebih suka musik populer dengan tempo banal. Sedangkan orkestra dan band-band-nya jatuh pada mentalitet orkestra jual jazz imitasi. Yang dikenal dari musik Amerika hanyalah hawaian, bukan musik serius karya komponis seperti Aaron Copland, Virgil Thompson, dan Leonard Bernstein. Amir melihat ini semua akibat membanjirnya piringan hitam lagu-lagu pop Amerika dan film Amerika. ”Hingga mana situasi film dan gramofon menentukan jurusan pertumbuhan orkestra ini?” demikian Amir bertanya.
Dengan berang ia mengkritik mudahnya suatu rombongan musik disebut orkes. Ia jengkel menyaksikan betapa musisi Indonesia seperti Hawaiian Syncopators, yang dipimpin tokoh Tjoh Shinsu dan Emil Shinsu, dengan gampang menampilkan musik hiburan dansa-dansi. ”Membaca not bukan sesuatu yang perlu, sebab segala sesuatu bisa dimainkan di luar kepala,” katanya mencibir.
Amir menulis, sesungguhnya, atmosfer musik di Indonesia memiliki sejarah pergaulan musik yang sehat. Amir menceritakan, pada awal abad ke-20, datang gelombang besar dan kecil pemain musik Barat yang berseliweran membentuk riwayat orkes di negeri ini. Menurut dia, pertama-tama datang rombongan Italia yang suka main biola, suling, dan draaiorgel (orgel mekanik) di jalan-jalan Betawi. Lalu gelombang musisi Rusia yang kabur akibat Bolsyewik sekitar 1915.
Salah satu kelompok musisi Rusia adalah Trio Moskwa dengan musisi termasyhur seperti Alexander Hmelnitzky, yang belakangan menetap sebagai guru piano di Solo, Yogya, dan Bandung. Kemudian rombongan Opera Rusia Fedorof pada 1920 dan orkes Balalaika yang diusung Doblowotsky dan Jablotskof. Datang juga para pemusik Hungaria yang bermain di Hotel Des Indes, antara lain Setet dan Vidor von Jechim. Lalu disusul musisi bangsa Cek, pada 1938, seperti Rosenberg (catatan Amir: yang mengajari Nick Mamahit bermain piano) dan Renner (catatan Amir: guru biola Lim Kek Tjiang).
Tapi kemudian muncullah gelombang pemusik Manila yang membawakan irama foxtrot dance-band Amerika. Perkembangan terakhir inilah yang disesali Amir karena justru banyak membawa pengaruh. ”Mereka menjadi tiruan bagi langgam modern Indonesia yang iramanya off beat, slow foxtrot, dan blues, yang ikut-ikutan meniru jazz band dan Hawaiian band.” Band-band tiruan ini dicirikan Amir dengan penggunaan gitar Hawaiian steel dan instrumen tiup saksofon. Amir sampai memprediksi akibat pengaruh budaya musik Amerika ini: masa depan musik Indonesia bakal dikuasai pedagang-pedagang musik yang persis dengan pedagang hopjes (hopjes adalah permen rasa kopi khas Belanda).
Dalam tulisan-tulisannya, sering ia terlibat polemik. Ia pernah terlibat adu argumentasi dengan Ki Hajar Dewantara. Bacalah bantahan Amir terhadap kritik Soeripman yang menanggapi tulisan Amir di majalah Gelanggang, Desember 1952. Saat itu Amir menulis soal musik Gounod yang mengiringi opera Faust yang baru dimainkan Opera Radio Djakarta pimpinan Henk te Srake.
Keduanya berdebat apakah babak keempat dalam opera itu lebih tepat disebut menggambarkan cinta atau justru adegan yang muram dengan tokoh utamanya Marguerite yang sudah edan akibat pemerkosaan Faust. Amir berkukuh adegan naiknya Marguerite ke langit sebagai penebusan dosa adalah adegan yang indah, bukan mengerikan. ”Kiranya tak satu kata pun hendak saya cabut dari uraian dalam Gelanggang itu.” Amir tetap keras kepala.
Tulisan Amir di berbagai majalah itu bisa kita temukan di arsip-arsip paruh abad di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, juga tulisan tentang karya-karya Amir. Amir misalnya menulis buku Suka Menjanji dan Bernjanji Kanon, keduanya diterbitkan Balai Pustaka. Juga Menudju Apresiasi Musik, diterbitkan Noordhoff-Kolff Jakarta. Binsar Sitompul dalam resensinya atas buku Menudju Apresiasi Musik di Zenith menganggap buku ini penting untuk pendidikan tapi cara menyajikannya terlalu teknis. ” Penyebutan rentetan nama komponis dan ciptaan musik sekian banyak sering terasa seakan-akan hendak mempertontonkan pengetahuan literatur musik….”
J.A. Dungga, musikolog yang lebih junior, memuji buku Bernjanji Kanon, yang bisa menjadi panduan bagi kelompok orkestra di Jakarta seperti Orkestra RRI. Buku ini merupakan kumpulan lagu kanon komponis besar Eropa yang dipilih dan dihimpun oleh Amir. ”Besar arti buku ini… kiranya jalan buntu yang dialami oleh seniman musik RRI umpamanya akan mendapat kesegaran lagi…,” demikian tulis J.A Dungga.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo