Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA lembar uang US$ 100 masih tersimpan rapi di laci lemari di kamar Agus. Kondisinya oke: asli, tidak lecek, tak ada bolong bekas staples. Tapi, di tengah melambungnya harga dolar, pria 29 tahun itu belum menukarnya dengan rupiah. Bank dan tempat penukaran uang yang ia datangi tak bersedia membarter dolar itu sesuai dengan kurs. ”Malah ada yang kebangeten, menurunkan nilainya Rp 200 per dolar,” ujar karyawan swasta di Jakarta Pusat itu.
Gara-garanya, nomor seri duit warga Cibubur itu dianggap ”jadul”, yakni C. Dua belas lembar duit lainnya yang bergambar founding father Amerika, Benjamin Franklin, yang nomor serinya H, sudah ia tukar dengan rupiah sesuai dengan harga yang berlaku.
Itu rupanya masalah orang banyak. Hampir semua tempat penukaran uang, termasuk bank, menganaktirikan dolar cacat atau ”salah” seri itu. Nah, Bank Central Asia (BCA) mengubah masalah itu menjadi bisnis. Akhir Januari lalu, perseroan ini meluncurkan fitur baru: menerima bank notes dolar Amerika—termasuk pecahan kecil—sebutut serta sejadul apa pun, dan akan menghargainya dengan ”sepantasnya”.
Terhadap dolar itu cuma dikenakan provisi 0,75-1 persen, lebih kecil ketimbang jika ditukar dengan rupiah di tempat lain. Provisi itu, ujar Chief Manager Consumer Banking BCA Laksono, merupakan ongkos bank untuk ”mengekspor” uang butut itu ke luar negeri untuk ditukar dengan yang gres. Namun, valas ”cacat” itu tidak untuk ditukar dengan rupiah. ”Konsumen harus menyimpannya di BCA sebagai tabungan,” ujar Laksono.
Manajemen BCA berharap ”gula-gula” itu bisa memikat nasabah baru yang jumlahnya ditargetkan naik 5-6 persen. Agaknya, pemikat itu manjur. Baru sebulan dikenalkan, jumlah nasabah BCA naik 3 persen. ”Ini di luar kewajaran, karena biasanya Januari selalu turun,” kata Laksono.
Penolakan terhadap dolar lusuh atau bernomor seri lawas menjadi kisah khas pasar uang di Indonesia. Di Singapura dan Malaysia, misalnya, tempat penukaran uang atau bank tak mempersoalkan kondisi fisik dolar Amerika. Malah, kata seorang pemain valas, Aping, bukan hanya dolar Amerika yang dianaktirikan di sini, tapi juga dolar Singapura dan euro.
Ia mencatat, dolar pecahan kecil dan butut nilainya bisa menyusut hingga Rp 1.000. Manajer salah satu money changer, Valuta Inti Prima, Gunawan, mengakui pihaknya memang mengurangi nilai uang butut itu. ”Tapi rata-rata 20-30 poin, enggak sampai 200 poinlah.” Hal yang sama juga dilakukan pengelola tempat penukaran uang yang lain.
Juru bicara Bank Mandiri, Iskandar Tumbuan, mengatakan perlakuan terhadap dolar ”cacat” itu tak berasal dari regulator. Yang membentuknya, mekanisme pasar. Penyebabnya adalah pertukaran mata uang dolar Amerika di Indonesia yang berjalan lambat. ”Sedangkan di Singapura, misalnya, hampir setiap aktivitas usaha atau transaksi melibatkan dolar Amerika,” ujar Iskandar.
Alhasil, nasabah tak mau menerima dolar berfisik jelek. Lalu, bank melakukan hal yang sama. ”Kalau kami menerima barang yang tidak bagus, sebaliknya nasabah menolak barang jelek, kami menukarnya di mana?” kata dia. Ini berbeda dengan rupiah ”cacat” yang bisa ditukar ke Bank Indonesia.
Sebenarnya, Federal Reserves Amerika Serikat pernah berkirim surat kepada Bank Indonesia ihwal dolar ”cacat” ini. Regulator dolar Amerika itu menyatakan dolar tersebut tetap berlaku. ”Uangnya sobek, jelek, tidak masalah,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter Budi Mulya.
Budi mengatakan, perihal fenomena dolar ”cacat” itu bank sentral cuma bisa meminta agar perbankan dan lembaga penukar valas tidak membeda-bedakan bentuk fisik atau nomor seri komoditas ini. ”Perlu kesadaran semua pihak yang terlibat,” kata Budi. Yang pasti, BCA sudah menangkap peluang itu.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo