Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta 1952
”Ini adalah kegemparan.”
ITU kalimat sastrawan Pramoedya Ananta Toer di Pujangga Baru, September 1952, tentang pemecatan seniman musik dan komponis terkemuka Amir Pasaribu dari kedudukannya sebagai Kepala Bagian Kesenian Studio RRI Jakarta. Persoalannya hanya karena perselisihan perseorangan—dengan Maladi, yang saat itu posisinya Kepala Jawatan RRI. Menurut putra Amir, Nurman Pasaribu, ayahnya memang terlibat dalam beberapa polemik, di antaranya soal lagu kebangsaan Indonesia Raya, soal perjuangan Amir dalam masalah hak cipta dan royalti melalui Liga Komponis, suatu perkumpulan pemusik yang dipimpinnya. ”Akibatnya, tak hanya ia dilempar dari posisinya, tapi seluruh ciptaan musiknya di-black-out,” katanya. ”Betapa reaksioner pemerintah saat itu, apalagi kalau mengingat pemerintah sendiri tak mampu menurunkan pajak honorarium pengarang 15 persen,” kata Nurman.
Pemecatan itu tentu saja tidak mematikan seorang Amir Pasaribu, komponis Indonesia yang tak hanya produktif, tapi juga paling dihormati dan disegani dunia musik negeri ini.
Dengan usianya yang mencapai 93 tahun, Amir Pasaribu adalah sedikit contoh pada bangsa ini yang mampu melampaui usia harapan hidup (life expectancy), sementara yang lain umumnya bertumbangan pada usia 60-an tahun. Dia juga contoh sosok yang menggunakan seluruh daya hidupnya untuk musik. Mungkin juga musiklah yang menjadi oksigen dalam tubuhnya, sehingga ia bisa tetap segar dan sehat di usia yang sudah hampir mencapai satu abad.
Nun di Kecamatan Medan Johor, Sumatera Utara, bersama cucu Amir bernama Ben Pasaribu—dosen etnomusikologi Universitas Negeri Medan—Tempo menemui sosok sepuh itu mengenakan kaus oblong putih dan sarung. Didampingi Lasmini, perawatnya, Amir tertatih pindah ke kursi roda yang diletakkan di samping kasur. Kamar berukuran 3 x 2,5 meter ini diisi televisi berlayar 27 inci yang persis menghadap tempat tidur. Di sisi kirinya tersedia piano elektrik yang ditutupi ulos. Perlahan kursi roda itu didorong Lasmini dan berhenti di ruang tamu. Bingkai foto keluarga dan bingkai-bingkai penghargaan menghiasi dinding ruang tamu. Ben lantas memperkenalkan Tempo kepadanya. Sorot mata Amir langsung tertuju pada Tempo. Pelan-pelan senyuman tersembul di wajahnya. Suasana pun cair.
Yang duduk di depan kami adalah Amir Pasaribu: komposer, musisi piano dan cello, penulis kritik, guru, serta musisi intelektual pertama Indonesia. ”Secara fisik, saya sehat. Saya masih sehat walafiat,” kata pria kelahiran Kota Siborongborong, Tapanuli Utara, 21 Mei 1915, ini dengan suara lantang. Semangat hidupnya bergelora. Garis wajahnya terlihat tegas. Tapi sejak 2002 ia mulai kesulitan berjalan. Penyakit asam urat membuat sang maestro sulit berjalan. Kini Amir hanya mampu bergerak dengan bantuan Lasmini, yang merawatnya sejak 1995.
Tiga putra Amir Pasaribu hasil pernikahannya dengan Siti Noerana Oemar Ali (almarhum)—Nurman Pasaribu, Irman Pasaribu, dan Erwin Pasaribu—dan dua lainnya (Nusyirwan dan Mahmud Fauzi, wafat di Suriname) semuanya berdomisili di Belanda. Sesekali, menurut Lasmini, anak dan cucunya menjenguk Amir Pasaribu. ”Kemarin cucunya Lili yang tinggal di Chicago datang. Saat ini Mbak Lili lagi liburan di Bali,” kata Lasmini. Rumah dua kamar itu hanya dihuni Amir dan Lasmini. ”Baru ramai kalau Bapak ulang tahun, 21 Mei nanti,” dia menambahkan.
Andai mengikuti kultur keturunannya, Amir mestinya tak jadi komposer. Ia putra ketiga Radja Salomo Pasaribu, bagian dari keluarga elite di Tapanuli Utara. ”Waktu itu ayah saya sipir, di kurungan (penjara) di Siborongborong,” kata Amir dalam percakapan dengan Tempo. Belakangan, ayahnya menjadi asisten demang di Pahae. ”Di sana, yang saya ingat, saya baru berusia empat tahun sudah mengail di boddar-boddar (sungai) yang ada di jalan dekat kantor asisten demang,” kata Amir tertawa. Entah bagaimana, ia masih ingat seorang personel tukang kuda yang suka mengantar ayahnya saat itu.
Perkenalannya dengan musik Barat dimulai dari para pastor Belanda di Europeesche Lagere Fraterschool dan The Hollandsch-Inlandsche School (keduanya setingkat sekolah dasar) di Sibolga. Amir sempat pula menempuh pendidikan sekolah menengah pertama di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Padang sebelum dipindahkan ayahnya ke Tarutung, tempat ia bertemu dengan Meneer Bosch yang mengajarkan kepadanya biola. Menurut Gonny Pasaribu, cucu Amir yang kini tinggal di Belanda, pada usia mudanya Amir banyak menghabiskan waktu di sekolah, berlatih hingga malam hari.
Etnomusikolog Franky Raden, yang mewawancarainya pada 1995, mengatakan Amir beruntung lahir dalam kultur keluarga Tapanuli yang lekat dengan musik diatonis melalui musik-musik gereja. ”Saat di sekolah Raja Balige, ia sudah belajar memainkan harmonium, orgel kecil, di Gereja Huria Kristen Batak Protestan,” kata Franky.
Pengaruh didikan dua gurunya waktu kecil, Frater Paulus dan Gustianus, rupanya meninggalkan kesan demikian kuat sehingga ia memutuskan tak menempuh sekolah hukum di Yogyakarta seperti yang diharapkan keluarganya. Dia pergi ke Hollandsch-Inlandsche Kweekschool alias Sekolah Guru Bantu di Gunung Sari, Lembang, Bandung, dan menjadi guru piano.
Untuk yang ini, Franky punya catatan menarik. Sesungguhnya Amir hendak masuk Algemeene Middlebare School—setingkat sekolah menengah atas—di Yogyakarta demi mengambil jurusan klasik Barat. Tapi, dalam pelayaran ke Jawa, Amir bertemu dengan para siswa sekolah guru di Lembang. Amir lantas tergoda berbelok ke Lembang karena di sana ada ”tiga piano, lapangan tenis, dan asrama wanita Indo,” kata Franky.
Di sinilah Amir bertemu dengan calon istrinya, Siti Noerana, seorang guru bahasa Prancis asal Minang yang di kemudian hari memberinya lima putra. Menurut Gonny, keduanya berbagi gairah akan musik dan bahasa asing. Tak aneh bila semasa hidupnya Amir mampu berbicara dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, Portugis, Rusia, Cek, Mandarin, Jepang, dan Sranantongo (Suriname), selain bahasa Minang, bahasa ibu sang istri tentunya.
Amir mengatakan ia sempat pulang ke Medan untuk mengajar. Dengan dukungan bekas gurunya, Ronggur Harahap, ia membuka sekolah musik yang juga mengajarkan bahasa asing: Jerman, Prancis, Inggris, dan Belanda. ”Agar tidak diganggu Belanda,” katanya tertawa. Meski gajinya tak banyak, hanya 25 perak, ada piano di sekolah itu yang membuatnya bisa mengajarkan musik kepada para murid.
Pasangan Amir dan Noerana lantas menikah pada 1939 dan menetap di Jakarta. Hingga anak-anaknya lahir, mereka tinggal di Jalan Lombok 55 Paviliun, Menteng. Zaman pendudukan Jepang dilalui dengan pedih ketika Amir mesti mengajar di sekolah guru Jepang dan bekerja di Keimin Bunka Shidosho—pusat kebudayaan Jepang—menggubah lagu-lagu propaganda. Tugas Amir memainkan lagu kebangsaan Kimigayo di radio.
Saat Jepang menyerah, tersebutlah negara Republik Indonesia. Kalangan intelektual di masa itu pergaulannya sungguh gayeng: Amir bercengkerama dengan Ismail Marzuki; dengan Kusbini dan para komponis asal Kweekschool di Muntilan; juga dengan R.A.J. Soedjasmin, Binsar Sitompul, Liberty Manik, dan Cornel Simanjuntak. Yang belakangan, yang pernah satu kamar dengan Amir, mati muda pada 1947 akibat peluru di pahanya. ”Di masa saya, Binsar Sitompul, Cornel Simanjuntak itulah yang tampil ke depan. Dan Saudara Soedjasmin di pihak pemerintah, yang punya rute sendiri di kalangan polisi dan Istana,” kata Amir.
Amir rajin menulis saat itu. Menurut Franky Raden, bukan cuma menulis resensi atau peristiwa musik, ia banyak menerbitkan komposisi untuk ”piano solo, biola solo, piano dan biola, piano dan cello, dan untuk orkes gesek,” katanya. Musik Amir dianggap khas karena diambil dari tradisi musik lokal, terutama joget Melayu yang berbentuk kanon, atau musik polifonik dengan teknik bersusulan dan banyak suara. Adalah Amir yang setia menggunakan tangga nada pentatonik dalam wujud irama gamelan. ”Bagi Amir, musik adalah absolute music. Bahkan vokal pun tak dianggap,” kata Franky.
Amir sungguh ingin Indonesia punya pendidikan musik yang memadai. Gonny mencatat, pascakemerdekaan itu Amir rajin melobi pemerintah republik muda ini agar Indonesia memiliki konservatorium atau akademi musik formal yang serius. Setelah selesai dengan RRI pada 1952, Amir ditunjuk Muhammad Yamin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—dikenalnya sejak masih mahasiswa di Asrama Menteng 31—untuk bepergian ke Eropa, Rusia, Cina, dan Jepang demi menjajaki kemungkinan pembentukan konservatorium. Amir pula yang membawa sederet guru musik Eropa untuk membina para juniornya dan mengimpor piano-piano Petroff atas dukungan Kedutaan Cek tempat ia punya banyak teman. Pada 1954 ia ditunjuk sebagai Direktur Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta—kini Jurusan Musik Institut Seni Indonesia—dan berhasil membentuk kurikulum formal bagi guru musik.
Musisi pemain klarinet Suka Hardjana pertama kali mengenal Amir saat ia menjadi siswa di sekolah musik yang didirikan pada 1952 itu. Suka Hardjana bergabung masuk pada 1957. Saat itu Amir Pasaribu adalah direktur sekolah. Suka Hardjana menganggap Amir sebagai sosok berdisiplin dan keras, berpendirian kukuh tentang musik seriosa berorientasi Barat. ”Penampilannya pun seperti pemusik Barat. Setiap hari memakai dasi kupu-kupu. Penampilannya selalu necis,” kata Suka.
Apa yang terjadi dengan hidupnya dari era 1950-an hingga kepergiannya ke Suriname pada 1968 agak kabur. Menurut penyair Sitor Situmorang, yang sembilan tahun lebih muda daripada Amir, ia sering berjalan kaki dari rumahnya di Jalan Besuki ke rumah pasangan Pasaribu. Sebagai sesama anak Batak di tanah rantau, keluarga mereka sudah saling mengenal. Tapi bukan berarti mereka bicara tanah leluhur. Di Jakarta, urusan mereka adalah kesenian. Itu pun tidak bicara serius, karena Sitor tak seberapa mengerti musik. ”Sekadar bincang-bincang kawan saja,” kata Sitor. Lalu nongkrong di mana? ”Ya, di rumahnya. Dia tak punya uang. Saya pun tidak,” kata Sitor.
Apakah Amir ikut berpolitik? ”Tidak! Saya aktif di partai, dia tidak sama sekali,” kata Sitor. Amir orang yang berpikiran terbuka, liberal, dan tidak menggurui terhadap para juniornya seperti Sitor. Ia tak menutup pintunya terhadap mereka yang berbeda pandangan. Tapi Sitor paling kagum kepada tindakannya membuat komposisi atas Patrice Lumumba, pahlawan Kongo yang tewas di tangan penjajah Belgia, dari puisi karya Njoto berjudul Merah Kesumba. Sitor sendiri pun pernah membuat puisi atas tokoh yang sama. ”Lihat, betapa anti imperialnya dia!” kata Sitor.
Ketika ditanyai apa yang terjadi seandainya ia tidak pergi ke Suriname, Amir menjawab ketus, dan keras, ”Peut!” yang artinya ”hancur” dalam bahasa Batak. ”Biarpun saya bertahan, tak ada saluran-saluran dalam masyarakat yang membantu musik,” katanya. Piano sulit. Kalaupun ada, setelannya tentu sudah kurang beres. ”Jadi musik di Indonesia saat itu dalam prakteknya sudah megap-megap,” ujarnya melanjutkan.
Gonny mencatat, sejak karya Amir dilarang untuk dimainkan pada 1952, aturan yang melarang publikasi musik Amir tak pernah dicabut. Amir demikian kecewa atas situasi musik di Indonesia, dan ia mencari cara untuk bekerja di luar negeri. Amir lantas menerima tawaran Sticusa, atau Stichting Culturele Samenwerking (lembaga kebudayaan Belanda), menjadi pemimpin orkes di Paramaribo, ibu kota Suriname. Sebelum Amir, beberapa seniman Indonesia, termasuk Sitor Situmorang, pernah menerima beasiswa Sticusa. ”Kalau tidak, tentu dia akan kena juga,” kata Sitor. Maksudnya, ikut dicokok Orde Baru sebagai tahanan politik. Amir pergi memboyong seluruh keluarganya—istri dan kelima anaknya—ke sebuah negeri jajahan Belanda, nun di ujung benua Amerika Selatan itu. Namun Nurman membantah bila peristiwa 30 September dihubungkan dengan kepergian mereka saat itu.
Amir mengatakan kepada Tempo, ia sepakat menerima tawaran mendidik pemain cello yang masih berusia sekolah menengah. Ia juga diminta memimpin Philharmony Orchestra, nama yang kedengarannya jempolan, ”Tapi sudah hampir mati karena pemimpinnya tua dan sakit-sakitan. Pemain cello-nya pun cuma satu, itu pun sudah bungkuk-bungkuk.”
Nurman ingat, di Suriname ayahnya juga menjadi guru piano dan cello di Cultureel Centrum Suriname. Sebagai tenaga ekspatriat, Amir menjadi pegawai Negeri Belanda. Dan karena gajinya dipotong pensiun, hingga mendekati 94 tahun ini ia masih menerima pensiun dari Algemeen Burgerlijk Pensioenfonds di Belanda.
Selama di Suriname, kata Nurman, mereka sekeluarga selalu bersama dengan keluarga perwakilan Indonesia di Suriname yang sangat akrab dengan warga keturunan Jawa di sana. Atas permintaan Konsul Jenderal Bambang Saptodewo, Amir menciptakan sebuah lagu mars untuk membina persatuan bangsa Jawa di Suriname berjudul Mars Satria.
Penguasaan bahasa asing Amir yang demikian mahir juga membuatnya selalu dimintai bantuan. ”Kalau ada anak buah kapal dari Jepang atau Korea yang kebetulan perlu dirawat di rumah sakit di Paramaribo, ayah saya selalu diminta mendampingi pasien-pasien ini sebagai juru bahasa,” katanya. Amir juga bekerja di kantor notaris Oostvriesland di Paramaribo sebagai translator. Kalau anak dan cucunya berkunjung ke Indonesia, hadiah yang paling dinikmati adalah majalah-majalah Eropa dan buku-buku novel poket dalam macam-macam bahasa.
Setelah Suriname merdeka pada 1975, pusat kebudayaan Belanda itu bubar. Amir, yang masih bertahan di Suriname, lantas bekerja sambilan dengan memberi les privat piano, di samping bermain piano duet dengan pemain biola Harry de la Fuente di klub sosialita Paramaribo, pemain piano di Paduan Suara Maranatha, dan pengiring piano di sekolah balet. Di Suriname, Amir dan keluarganya menemui banyak duka. Sang istri wafat pada usia 65 tahun; kedua putra Amir juga wafat di sana. Ketiganya bersemayam di pemakaman Elizabethshof di Paramaribo.
Masih menurut Nurman, ayahnya sempat menjalin kasih dan hidup bersama dengan seorang wanita Suriname, namun itu tak bertahan lama karena sang ayah tampaknya lebih senang hidup sendiri. Bisa jadi tak banyak yang menyangka, Amir sempat menjalani kehidupan lajang yang demikian bohemian, ”Hidup seperti bapaknya Julio Iglesias dan dikerubungi perempuan-perempuan cantik. Dia berkeliling Kota Paramaribo pakai jip Renegade, sampai pernah jungkir-balik, untung tidak cedera,” kata Nurman.
Namun, pada 1990, kerabat di Paramaribo mengirim kabar ke Belanda, tempat Nurman, Irman, dan Erwin tinggal, agar sang ayah yang mulai memasuki usia senja diperhatikan. ”Terutama teman-teman dari perkumpulan pengajian ibu saya dulu,” katanya. Dari situlah timbul ide agar sang ayah kembali ke Indonesia, tempat sanak keluarga Pasaribu siap merawatnya.
Amir pulang ke Tanah Air pada 1995 setelah 27 tahun jauh mengembara.
Sayang seribu sayang, musik Amir kini lebih banyak hidup di sekolah-sekolah musik daripada menjadi selera populer masyarakat. Menurut Franky, musik Amir hanya bisa dibaca mereka yang menguasai not balok. Tak aneh bila ia dipercayakan kepada para pianis dari berbagai generasi. Komposisi Amir banyak dipegang oleh mendiang pianis Charlotte Sutisno, pianis Belanda lulusan Amsterdam Conservatory yang dulu dipercaya Amir membawakannya di Orkes Gesek RRI. Dari tangan Charlotte, partitur-partitur itu dipegang oleh para muridnya: Latifah Kodijat, pianis Iravati Soediarso, dan mendiang Ida Luhukay-Pasaribu.
”Rekaman musik ayah pernah dibuat oleh Emile de Vries di Jakarta (dari toko Juwelier Olyslager di Jalan Nusantara—sekarang ABN), dan rekaman digitalnya itulah yang dipakai Ananda Sukarlan sebagai referensinya,” kata Nurman.
Menurut pianis Jaya Suprana, musik Amir adalah musik yang sangat impresionistik. Ia mengaku tak terpengaruh langsung secara musik (lebih berguru kepada dalang Ki Narto Sabdo). Tapi Jaya secara spiritual menganggap Amir Pasaribu guru yang menguatkan kepercayaan dirinya dalam berkarya. ”Bangsa Indonesia, jika mau, mampu berkarya seni musik yang tidak kalah oleh bangsa mana pun. Kalau Rudi Hartono punya Tan Joe Hok (pemenang All England pertama pada 1959), saya punya Amir Pasaribu,” katanya.
Dan seperti gelagat Tan Joe Hok di lapangan bulu tangkis, Amir pun tak menyerah kepada hidup. Ia masih punya banyak angan-angan, meski sulit mempraktekkannya. ”Nasib saya masih terkungkung oleh kesempatan yang bisa saya tempuh, yaitu dalam musik praktis. Sebab, kalaupun dikarang musiknya, tidak ada konkretnya. Misalnya kor ataupun orkes. Mesti tabe dulu ke kanan-kiri untuk bisa,” katanya. Ia terdiam sejenak. ”Saya tidak punya cello,” ujarnya. Lasmini lantas membisikkan, Pak Amir sungguh ingin punya cello.
Tempo kesulitan memintanya bermain piano, tapi Lasmini bisa membujuknya. ”Bapak, Bapak diminta main piano untuk difoto,” kata Lasmini. Amir tak membantah lagi. Ia pun mengarahkan kedua tangannya memutar roda kursinya. Lasmini menuntunnya hingga ke depan piano. ”Hanya jari ini yang bisa,” katanya. Ia menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya yang masih bisa digunakan menekan tuts piano. Kami pun diam menyimak nada-nada pelan dan lembut yang ia perdengarkan. Hanya sekitar lima menit Amir melakukannya.
”Cukup,” katanya.
Kurie Suditomo, Sita Planasari (Jakarta), Soetana Monang Hasibuan (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo