SEMINAR satelit, alat komunikasi canggih dan supermodern, itu dibuka Menteri Penerangan Harmoko dengan kentongan, sarana komunikasi jarak jauh baheula. Sebuah pilihan yang, agaknya, bagus untuk melambangkan kesenjangan antara negara-negara maju yang memacu teknologi tinggi, dan pembangunan Dunia Ketiga yang tidak lagi terlayani oleh sekadar peranti komumkas kelas "kentongan". Maka, tidak berlebihan bila Dr. Alwi Dahlan, ketua pengarah seminar dan ketua ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) mengatakan, "Tema seminar ini bukan hanya menarik, tetapi juga relevan." Seminar lima hari di Hotel Kusuma Sahid, Solo, akhir bulan lalu, itu diberi judul Seminar Satelit Meratakan Komunikasi dan Teknologi (SSMKT). Dihadiri 69 peserta dari sebelas negara, dan membahas 14 makalah, seminar ini terwujud oleh kerja sama Departemen Penerangan RI, pusat informasi dan riset komunikasi massa Asia (AMIC), dan ISKI. "Deppen mengeluarkan sekitar Rp 64 juta, dan AMIC menanggung biaya kedatangan peserta luar negeri," kata Willy Laluyan, ketua pelaksana seminar. Di seminar ini, kata K.P. Galligan yang mewakili lembaga ruang angkasa Eropa (ESA) di Prancis, "Kami datang tidak untuk berdebat, melainkan bertukar pengalaman." Karena itu, agaknya, makalah Prof. Dr. Priatna, staf ahli menko polkam, tidak terlalu dipersoalkan peserta yang mewakili negara maju. Priatna mengemukakan kecenderungan perang antarsateht di antara negara superpower. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang angkasa, kata Priatna, "Semua negara pada prinsipnya sama." Perbedaan hanya terletak pada keterbatasan riset dan dana, yang menyebabkan Dunia Ketiga tidak mampu berbuat banyak. Untuk mencegah monopoli dan eksploatasi ruang angkasa, Priatna menuntut diterapkannya semacam prior concern. Maksudnya, "Setiap pemancangan satelit di atas sebuah negara hendaklah lebih dulu memberitahukan negara bersangkutan." Indonesia, paling tidak, berhak mengatur sekitar 13% dari 36.000 km orbit geostasioner yang ada dl atas cakrawala kita. Ketidakseimbangan fasilitas teknologi satelit diakui juga oleh Vijay Menon, sekretaris AMIC. Dari data 1982, katanya, "Di dunia terdapat 550 juta sambungan telepon." Sekitar 90% sambungan itu dinikmati 15% bagian dunia - ya negara-negara maju. Sedangkan 85% bagian duma, termasuk Asia, hanya menikmati 10% sambungan. Karena itu, Menon tidak setuju kalau kita terus termangu-mangu di tengah laju teknologi ini. "Dan Dunia Ketiga kerap kali mengambil contoh dari Indonesia," kata nya kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO, pekan lalu Dia menganggap Indonesia berada di barisan terdepan dalam pemanfaatan satelit, terutama bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menteri Penerangan Harmoko, dalam pembukaan seminar di Gedung Monumen Pers, Solo, memang mengatakan, "Keuntungan memiliki satelit lebih besar bila dibandingkan dengan kerugiannya." Ia tidak setuju bila satelit disebut barang mewah. Sebagai pemilik 69 ribu desa, katanya "Bertahun-tahun kita ditantang untuk mengurangi kesenjangan laju arus komunikasi antara daerah perkotaan dan pedesaan." Tantangan itu, antara lain, kini dijawab dengan membentuk "klompencapir" - alias kelompok pendengar, pembaca, dan pirsawan. Klompencapir memadukan komunikasi modern televisi - yang kini ditunjang satelit - radio, dan surat kabar dengan komunikasi tatap muka. Setelah melihat dan mendengar siaran media komunikasi teknologi tinggi, para anggota klompencapir berdiskusi. "Dengan cara itu, kejutan budaya dan dampak buruk bisa dihindari," kata Willy Laluyan kepada TEMPO. Para peserta seminar, yang datang dari Malaysia, Singapura, Muangthai, Filipina, Jepang, India, Australia, Prancis, Jerman Barat, dan Amerika Serikat, itu sempat dibawa meninjau klompencapir di Wonogiri, Surakarta. Bagi dunia pers, "Satelit komunikasi telah menjadi sarana yang tidak bisa diabaikan," kata Mitsutada Nakayama, dari kantor berita Kyodo, Jepang, dalam makalahnya di depan seminar. Negerinya mulai bereksperimen dengan satelit komunikasi dan penyiaran (broadcasting) sejak 1977. Januari lalu, mereka mengorbitkan BS-2a (Yuri), satelit penyiaran praktis berdaya tinggi pertama di dunia. Di Indonesia, kita masih bergelut dengan problem memanfaatkan Palapa semaksimal mungkin. Misalnya untuk program sistem siaran langsung (DBS), yang masih menjadi masalah hangat. "Juga untuk menggali kemungkinan-kemungkinan pendidikan," kata Soemaryatmo Kayatmo, direktur Lembaga Elektroteknika Nasional (LEN) LIPI. Pada akhirnya, seminar yang juga dihadiri wakil-wakil ISKI, LIPI, PWI, UGM, ITB, dan Undip itu memang merekomendasikan potensi satelit untuk pembangunan dan pendidikan. Ditandatangani oleh Vijay Menon (AMIC), Ir. T. Simanjuntak (Deppen), dan Dr. Riga Adiwoso (ISKI), rekomendasi ini akan diteruskan dengan loka karya di negara-negara peserta. Diakui, SSMKT amat berguna karena banyaknya masukan yang diperoleh. Juga dipahami, bagi sebagian besar negara berkembang, teknologi satelit lebih menyangkut masalah prasarana yang perlu ditingkatkan. Seperti dikatakan Soemaryatmo Kayatmo, "Umumnya, Dunia Ketiga belum siap dengan industri dasar, seperti logam, kimia, dan elektronika." Rekomendasi SSMKT, karenanya, mengimbau kerja sama antara negara teknologi maju dan negara teknologi berkembang. Misalnya, mengimbau Intelsat untuk mendukung percobaan di bidang satelit. Seminar, pada bagian lain, menganjurkan negeri-negeri berkembang, terutama di kawasan ASEAN, untuk lebih banyak memanfaatkan potensi satelit Palapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini