DI Kelurahan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, pertemuan dimulai
pukul 10.30 dengan acara penjelasan dan peraaan pendaftaran
sertifikat. Acara memang disesuaikan dengan tujuan utama Prona
(Proyek Operasi Nasional Agraria) pemberian sertifikat tanah
secara massal dan murah bagi, terutama, golongan penduduk
ekonomi lemah. Lalu disusul acara tanyajawab.
Banyak ditanyakan soal surat tanah dan biaya pembuatan
sertifikat. Penduduk di situ umumnya tidak memiliki surat
pembelian tanah yang merupakan salah satu syarat untuk dapat
mengisi formulir pendaftaran sertifikat. Jika surat beli tanah
tidak ada, menurut Pasaribu, seorang petugas agraria yang
bertugas waktu itu, bisa kompromi. Asalada bukti-bukti bahwa
penduduk yang bersangkutan sudah lama menetap di situ --
setidaknya selama 20 tahun ke atas.
Seorang ketua RW mengusulkan agar petugas agraria berkantor di
kelurahan saja. Jawab Pasaribu akan dipertimbangkan. Tapi
ditegaskannya bahwa peragaan soal sertifikat itu akan
dilanjutkan-bahkan dari pintu ke pintu demi kesuksesan Prona.
Dilancarkan bertepatan dengan Hari Agraria, 24 September, Prona
di Jakarta dalam tahap pertama mengadakan penyuluhan agar
terbuka minat warga kota untuk mengurus sertifikat tanah. Dari
lima wilayah di Jakarta terpilih 29 kelurahan sasaran Prona.
Sesudah penyuluhan, 29 kelurahan itu akan memperoleh sertifikat
massal.
Mengapa usaha yang bermutu ini baru dilakukan sekarang? Kepala
Direktorat. Agraria DKI Sumardiono, menyatakan bahwa proyek yang
diselenggarakan dua tahun lalu dalam rangka menggiatkan wajib
daftar tanah ternyata kurang mendapat tanggapan rakyat. "Untuk
menuju pada wajib daftar, pemerintah perlu menumbuhkan kesadaran
masyarakat tentang kegunaan sertifikat," kata Sumardiono. Ia
optimistis usaha ini akan berhasil karena sudah dipersiapkan
matang.
Proses penyuluhan berikut pemberian sertifikat menurut
Sumardiono akan berlangsung dari September sampai awal tahun
depan. Supaya lancar, Direktorat Agraria akan bekerjasama dengan
aparat Pemda DKI dari tingkat Walikota ke bawah. siayanya,
menurut Sumardiono tidak akan memberatkan karena yang dipungut
hanya biaya administrasi, formulir dan biaya pengukuran. "lni
'kan proyek pemerintah, jadi ada subsidi," ia menambahkan.
Biaya tertinggi yang harus dibayar warga kota cuma Rp 23.000 dan
terendah Rp 3000. Bagaimana kalau status tanah masih dalam
sengketa? Pasaribu menyatakan sengketa itu akan ditampung,
diselesaikan dulu, kemudian baru dapat diuruskan sertifikatnya.
Dalam pada itu Kadit Agraria-Jawa Tengah, Drs. Mulyono
menyatakan bahwa "Prona kami pilih dengan sasaran yang tepat."
Sebenarnyalah, sebelum Yrona dilancarkan, Pemda Jawa Tengah
sudah lebih dulu memberikan sertifikat massal kepada 45.000
penduduk. "Dengan biaya yang relatif sangat rendah," ujar
Mulyono pula. "Kami ajak masyarakat untuk sertifikat minded,
agar sadar bahwa sertifikat itu merupakan jaminan hidup dan
kepastian hak."
Jual Ayam
Kalau masyarakat sudah memiliki sertifikat, lanjut Mulyono, maka
Direktorat Agraria bisa menjadi pusat data. Dia hanya
menyayangkan bahwa pengalihan hak sering disalahgunakan.
Maksudnya, sebidang tanah yang sudah dipunyai pemilik baru, tapi
seolah-olah masih ada dalam kuasa pemilik lama. "Ini yang harus
ditertibkan. Semua ini harus diteliti dengan sistem intel,"
katanya.
Arthy Soedjono SH, Kepala Kantor Agraria Kodya Semarang yang
terkenal sebagai Mantri Botol, dengan mantap berkata bahwa di
daerahnya sertifikat massal bukan barang baru. Awal tahun ini
saja direktoratnya berhasil memberikan sertifikat massal untuk
3000 lebih penduduk. Khusus dalam rangka Prona, kantor
agrarianya akan menggarap lima desa di empat kecamatan (Genuk,
Gunung Pati, Mijen dan Tugu) yang kesemuanya terletak di wilayah
pengembangan Semarang.
Kalau lokasi tak bisa dijangkau karena dana Pusat rerbatas,
Walikota Semarang tak segan membantu. Peralatan ukur yang kurang
juga bisa dipinjam dari Kantor Agraria. Sehingga penduduk
seperti Djuhaeni, 55 tahun, dari Desa Genuksari yang punya tanah
seluas 2 ha boleh merasa terbantu. Surat tanah yang ada padanya
cuma surat leter D--yakni surat tanah yang digunakan untuk
membayar Ipeda. Dengan adanya Prona, ia ingin mengurus
sertifikat. "Saya setuju sekali, Pak Camat bilang cuma Rp
12.500, jual ayam lima ekor sudah cukup," ujar Djuhaeni.
Djuhaeni pun tahu bahwa dengan sertifikat di tangan, dia bisa
pinjam uang ke bank. Sekarang memang belum bermaksud begitu,
tapi kalau nanti peternakannya perlu dikembangkan maka dengan
sertifikat di tangan ia akan berani pinjam uang ke bank.
Sebaliknya di DI Yogyakarta, yang berdasar UU No. 3 tahun 1950
dinyatakan otonom dalam urusan agraria, pemberian sertifikat
massal tidak ada. Yang ada hanya peningkatan hak milik sementara
atas tanah model E menjadi model D. Secara simbolis, dalam
rangka peringatan hari agraria yang dipusatkan di Bantul, telah
diserahkan 2667 sertifikat model D kepada pemilik yang berhak.
Kadit Agraria DI Yogyakarta, Mujud Hadikusumo mengatakan bahwa
sertifikat model D bisa dijadikan jaminan memperoleh kredit
bank. Tapi H. Abdul Malik SH, anggota Komisi E DPRD DIY
menyatakan, sertifikat leter D itu sulit dipakai mendapatkan
kredit bank. "Bank tidak mau kalau tidak ada sertifikat penuh,"
ujar Malik. "Padahal rakyat Yogya tidak ada yang punya
sertifikat begitu." Mengapa? Menurut Malik, hukum tanah di Yogya
berbeda dengan hukum tanah yang umum berlaku di tempat lain.
Tatkala ada himbauan Pemerintah Pusat untuk mengadakan unifikasi
hukum tanah, Sultan Hamengkubuwono IX dikabarkan menolak dengan
halus, dan hanya setuju jika keahlian pegawai agraria DIY
ditingkatkan. Karena itu Abdul Malik sampai pada kesimpulan
bahwa "khusus mengenai pemilikan tanah di DIY tidak ada
kepastian hukum."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini