HAMKA memprotes Asrul Sani. Dalam suratnya bertanggal 14 April
1981 kepada produser Para Perintis Kemerdekaan (PPK), Andy Azhar
dari PT Tati & Sons Jaya Film, almarhum waktu itu menyatakan
keberatan namanya dicantumkan dalarn film tersebut. Padahal
sejak pagi-pagi dahulu sudah dipropagandakan, film itu akan
menjadi semacam visualisasi roman pendek Di Bawah Lindungan
Ka'bah (DBLK) karya Hamka. Dan hak memfilmkannya pun sudah
dibeli hampir Rp 2 juta. Apakah ulama yang pujangga itu berbalik
pikiran?
Tetapi PPK memang boleh dikatakan bukan lagi DBLK (lihat: Bukan
Lagi Roman Hamka). Karena itu, kata Hamka dalam suratnya, "untuk
sebuah karya yang terhormat Asrul Sani, saya merasa keberatan
nama saya dibawa-bawa." Bahkan, dengan agak pahit "Mungkin
memang belum saatnya karangan saya difilmkan."
Perubahan besar memang telah terjadi. Tetapi Asrul bilang kepada
TEMPO "Omong kosong kalau Buya Hamka tidak tahu pengembangan
cerita tersebut. " Sebab Hamka sudah memberi sambutan yang
simpatik atas skenario yang diberikan Asrul. Bahkan Buya menulis
DBLK, "dalam bentuk filmnya tidaklah akan persis sebagaimana
naskah aslinya." Sambutan ini bertanggal 4 Agustus 1977.
Yang tidak diceritakan Asrul: perubahan apa saja yang telah
dibuatnya sejak lebih empat tahun lalu itu. Belum lagi soal
pemotongan yang dilakukan kemudian untuk bagian-bagian Zainab &
Hamid--yang menjadikan PPK "makin bersih" dari DBLK. Camelia
Malik, yang memerankan Zainab, dalam pada itu pernah mengeluh
semula ia diberi janji akan menjadi tokoh utama -- nyatanya
hanya diberi peranan kecil. Semua itu layaknya memang tidak
diketahui Hamka--begitulah dalam suratnya.
Hamka jelas.kecewa. Apalagi karena agaknya dulu cukup antusias
ulama yang tetap berdarah seniman ini menyuruh mengundang Idris
Sardi dan grup musik asli Minang--dan sementara musik bermain,
Buya omong-omong dengan Idris yang akan jadiilustratornya. Malah
selamatan shooting filmnya sendiri diadakan di aula Masjid Al
Azhar. Karena itulah ketika melihat konsep kreditasi film, yang
menyatakan "cerita dan skenario Asrul Sani--diilhami oleh . .
.," dan seterusnya (yang dalam film nanti akan ditulis
besar-besar), suya minta agar namanya tak usah dicantumkan saja.
Padahal sebenarnya ada masalah lain lagi. Dalam surat itu Hamka
juga mengingatkan tulisan Asrul dalam kata pengantar skenarionya
-- bahwa pengembangan DBLK terutama mengambil bahan dari buku
Hamka yang lain, Ayahku --yang memaparkan seluk-beluk pergolakan
agama dan kebangsaan rakyat Minang. Tetapi bagi Asrul sendiri,
seperti pernah dikatakannya, buku Ayahku bukan satu-satunya. Ia
juga memakai sumber-sumber lain, misalnya buku Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer. Dan Deliar
memang banyak juga mengutip Ayahku - di samping banyak sumber
lain, termasuk buku Sejarah Islam di Sumatera karya Hamka.
Tapi mengapa Ayahku tak dicantumkannya? "Bilm bukan seperti buku
yang bisa ada catatan kaki," kata Asrul. Bagi Asrul, pencantuman
nama Hamka dan DBLK "justru untuk menghormati suya." Asrul
rupanya tak melihat kemungkinan lain nama Hamka tidak
dicantumkan. Sebaliknya dibuat slide pernyataan terimakasih
(kecil saja, tapi jelas dan jujur) kepada pengarang buku Ayahku,
buku DBLK, dan pihak lain kalau memang ada. Hanya, nama
Hamka--atau nama Ka'bah, atau roman Hamka--memang laris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini