Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bukan lagi roman hamka

Sutradara: asrul sani produksi: pt tati & sons jaya film pemain: mutiara sani, soultan saladin, camelia malik, cok simbara. resensi oleh: isma sawitri.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA PERINTIS KEMEDEKAAN Sutradara dan skenario: Asrul Sani Pemain: Mutiara Sani, Soultan Saladin, Camelia Malik, Cok Simbara, Asrul Sani. DIAWALI dengan guntingan-guntingan film dokumenter hitam putih. (tentang kebangunan bangsa-bangsa, ia sesudah perang Jepang-Rusia awal abad ini), Para Perintis Kemerdekaan (PPK) disebut sebagai epos. Tapi ternyata bercerita lebih banyak tentang seorang Halimah, daripada tentang para perintis tersebut. Untuk sebuah tema besar yang bersegi banyak dan bertokoh banyak, Halimah (dengan sejumlah besar close up) terasa terlalu mendominasi cerita--sementara ada beberapa tokoh sentral lain yang layak diberi porsi yang sama. setapapun, judul film kemudian terasa tidak mendapat dukungan sepenuhnya. PPK adalah film Asrul kedua yang berkisah tentang perjuangan kemerdekaan, sesudah Pagar Kawat Berduri (1960-an). Kedua film jelas mewakili kurun masa, setting dan bobot masalah yang jauh berbeda. PPK kalau tidak salah mengambil masa sekitar pemberontakan komunis di Silungkang (Sumatera Barat), 1927. Ada kesan sutradara terdorong untuk menceritakan banyak hal sekaligus praktek pemerintah kolonial Belanda, konflik antar pemuka agama, bentrokan fisik tentara Belanda dan perintis kemerdekaan, juga konflik suamiistri dalam tata-hidup beradat dan beragama di Minangkabau. Tidak dapat dihindarkan tampilnya beberapa tokoh penting - seperti Haji Jalaluddin (mengingatkan pada Syekh Thaher Jalaluddin), Haji Wali (mengingatkan pada Syekh Rasul, ayahanda Hamka dan pendiri Sumatera Tawalib di Padang Panjang), Syekh Mukhtaruddin (mengingatkan pada Syekh Jamil Jambek), Zainuddin (mengingatkan pada Zainuddin pelopor pemberontakan komunis), dan seorang tokoh agama yang tidak jelas namanya yang mengingatkan pada Datuk Batuah, pembawa ideologi Marxis ke perguruan Sumatera Tawalib. Di samping itu masih ada tokoh Demang dan Sidi Marajo, protip pria Minang zaman itu yang senang berjudi dan sewenang-wenang kepada istri. Dan masih ada Halimah (Mutiara Sani) istri Sidi Marajo, yang dijatuhi hukum nusyuz (tindak menyeleweng) oleh Haji Makmur akibat laporan suami perempuan itu. Bentuk hukuman "Islam" menurut penafsiran setempat itu begini: si istri tidak diberi nafkah lahir-batin oleh suami, tapi juga tidak diceraikan. Dengan demikian wajah Islam di Minangkabau disorot dari beberapa segi dari Haji Jalaluddin, tokoh pergerakan di Padang yang terang-terangan menentang Belanda, dari Haji Wali yang menenung Demang dan secara tidak langsung melawan Belanda, dan dari kasus Halimah. Besar kemungkinan, tema nusyuz diambil untuk menimbulkan efek dramatik paling kuat. Risikonya tentu ada Islam di Minangkabau disorot dari sudut yang paling ekstrim, hingga gambaran yang diperoleh seakan menyempit. Sutradara juga tidak berusaha menyeimbangkan porsi nusyuz dan porsi perjuangan tokoh agama. Karena itu jangan heran bila kemudian digambarkan bagaimana penduduk kota Padang beramai-ramai melempari Halimah dengan batu--karena wanita ini bermaksud menyatakan keluar dari Islam semata-mata karena ingin bebas dari itu bab nusyuz. Memang ada juga dihidupkan tokoh Haji Wali, pemimpin agama yang berpikiran maju di Padangpanjang. Ia ini mengambil risiko ditangkap Belanda karena mengadakan musyawarah antar pemuka agama--dalam usaha membebaskan Halimah pula. Berkata Haji Wali (dimainkan dengan bagus oleh Asrul sendiri): "Satu persoalan tidak menjadi kecil hanya karena ia menyangkut diri satu orang saja." Sayangnya, bobot kehadiran tokoh ini tidak pula bisa mengimbangi gambaran seperti yang diwakili oleh nusyuz dan sebagainya itu. Tetapi efek dramatik memang benar muncul. Sebagai puncak, diperlihatkan dua arak-arakan Halimah berbaju dan berkain putih, dicemooh dan diludahi khalayak, menuju surau, tempat ia bermaksud mengingkari Islam--meskipun akhirnya tidak. Dan arakan ini bertemu dengan arak-arakan Haji Wali yang menuu penara. Klimaks memang tercapai. Sesudah itu clash bersenjata--antara kelompok Zainuddin dan tentara Belanda. Dan bagian ini seakan lepas. Pemberontakan digerakkan oleh Zainuddin (Soultan Saladin) yang meninggalkan gurunya Haji Wali, karena terpengaruh pikiran Marxis. Tapi mungkin juga karena ia berdarah panas, kurang perhitungan, seperti yang sebelumnya 2-3 kali ditampakkan. Akan hal ini kita hanya dapat menduga-duga. Informasi tidak cukup. Padahal gejala pembelotan -yang tidak diolah serapi pengolahan bab nusyuz --disamping menarik juga bisa mempertegas wajah Islam maupun wajah Marxis sendiri. Tapi kecenderungan sutradara menghijau merahkan tokoh Zainuddin secara begitu saja, juga terlihat pada semua tokoh penting lain. Termasuk Zainab dan Hamid (Camelia Malik dan Cok Simbara), dua tokoh utama dalam Di Bawah Lindungan Ka'bah karya HAMKA yang dikatakan "mengilhami" film ini, dan yang kehadirannya di layar film ternyata tidak menambah atau mengurangi hobot cerita. Berkembang menurut alur yang dikehendaki sendiri oleh sutradara, dalam film Hamid dikatakan digembleng sebagai pejuang kemerdekaan. Tapi perjuangannya tidak meyakinkan. Konon pula Hamid menulis syair tentang rakyat yang lapar. Hanya itu. Selebihnya ia nampak di layar pulang-balik antara Padang dan Padangpanjang, bertindak sebagai kurir bagi Halimah yang menderita karena nusyuz. Pada akhir film, Hamid nampak pergi berlayar, untuk sementara mengasingkan diri ke negeri orang, hingga tiba saatnya kembali memperjuangkan tanah air. Barangkali memang ada sedikit masalah hak cipta di sini (lihat box). Di atas segala-galanya, film ini lancar. Musik (Idris Sardi) kuat, dan seluruh warna lokal terhidang dengan indahnya. Warna lokal ini menjadi kaya karena hadir lewat pandangan Asrul, seorang pribumi setempat. Dan bukan lewat mata turis seperti yang sering terlihat. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus