PARA PERINTIS KEMEDEKAAN
Sutradara dan skenario: Asrul Sani
Pemain: Mutiara Sani, Soultan Saladin, Camelia Malik,
Cok Simbara, Asrul Sani.
DIAWALI dengan guntingan-guntingan film dokumenter hitam putih.
(tentang kebangunan bangsa-bangsa, ia sesudah perang
Jepang-Rusia awal abad ini), Para Perintis Kemerdekaan (PPK)
disebut sebagai epos. Tapi ternyata bercerita lebih banyak
tentang seorang Halimah, daripada tentang para perintis
tersebut. Untuk sebuah tema besar yang bersegi banyak dan
bertokoh banyak, Halimah (dengan sejumlah besar close up) terasa
terlalu mendominasi cerita--sementara ada beberapa tokoh sentral
lain yang layak diberi porsi yang sama. setapapun, judul film
kemudian terasa tidak mendapat dukungan sepenuhnya.
PPK adalah film Asrul kedua yang berkisah tentang perjuangan
kemerdekaan, sesudah Pagar Kawat Berduri (1960-an). Kedua film
jelas mewakili kurun masa, setting dan bobot masalah yang jauh
berbeda. PPK kalau tidak salah mengambil masa sekitar
pemberontakan komunis di Silungkang (Sumatera Barat), 1927. Ada
kesan sutradara terdorong untuk menceritakan banyak hal
sekaligus praktek pemerintah kolonial Belanda, konflik antar
pemuka agama, bentrokan fisik tentara Belanda dan perintis
kemerdekaan, juga konflik suamiistri dalam tata-hidup beradat
dan beragama di Minangkabau.
Tidak dapat dihindarkan tampilnya beberapa tokoh penting -
seperti Haji Jalaluddin (mengingatkan pada Syekh Thaher
Jalaluddin), Haji Wali (mengingatkan pada Syekh Rasul, ayahanda
Hamka dan pendiri Sumatera Tawalib di Padang Panjang), Syekh
Mukhtaruddin (mengingatkan pada Syekh Jamil Jambek), Zainuddin
(mengingatkan pada Zainuddin pelopor pemberontakan komunis), dan
seorang tokoh agama yang tidak jelas namanya yang mengingatkan
pada Datuk Batuah, pembawa ideologi Marxis ke perguruan Sumatera
Tawalib. Di samping itu masih ada tokoh Demang dan Sidi Marajo,
protip pria Minang zaman itu yang senang berjudi dan
sewenang-wenang kepada istri.
Dan masih ada Halimah (Mutiara Sani) istri Sidi Marajo, yang
dijatuhi hukum nusyuz (tindak menyeleweng) oleh Haji Makmur
akibat laporan suami perempuan itu. Bentuk hukuman "Islam"
menurut penafsiran setempat itu begini: si istri tidak diberi
nafkah lahir-batin oleh suami, tapi juga tidak diceraikan.
Dengan demikian wajah Islam di Minangkabau disorot dari beberapa
segi dari Haji Jalaluddin, tokoh pergerakan di Padang yang
terang-terangan menentang Belanda, dari Haji Wali yang menenung
Demang dan secara tidak langsung melawan Belanda, dan dari kasus
Halimah.
Besar kemungkinan, tema nusyuz diambil untuk menimbulkan efek
dramatik paling kuat. Risikonya tentu ada Islam di Minangkabau
disorot dari sudut yang paling ekstrim, hingga gambaran yang
diperoleh seakan menyempit. Sutradara juga tidak berusaha
menyeimbangkan porsi nusyuz dan porsi perjuangan tokoh agama.
Karena itu jangan heran bila kemudian digambarkan bagaimana
penduduk kota Padang beramai-ramai melempari Halimah dengan
batu--karena wanita ini bermaksud menyatakan keluar dari Islam
semata-mata karena ingin bebas dari itu bab nusyuz.
Memang ada juga dihidupkan tokoh Haji Wali, pemimpin agama yang
berpikiran maju di Padangpanjang. Ia ini mengambil risiko
ditangkap Belanda karena mengadakan musyawarah antar pemuka
agama--dalam usaha membebaskan Halimah pula. Berkata Haji Wali
(dimainkan dengan bagus oleh Asrul sendiri): "Satu persoalan
tidak menjadi kecil hanya karena ia menyangkut diri satu orang
saja." Sayangnya, bobot kehadiran tokoh ini tidak pula bisa
mengimbangi gambaran seperti yang diwakili oleh nusyuz dan
sebagainya itu.
Tetapi efek dramatik memang benar muncul. Sebagai puncak,
diperlihatkan dua arak-arakan Halimah berbaju dan berkain putih,
dicemooh dan diludahi khalayak, menuju surau, tempat ia
bermaksud mengingkari Islam--meskipun akhirnya tidak. Dan arakan
ini bertemu dengan arak-arakan Haji Wali yang menuu penara.
Klimaks memang tercapai.
Sesudah itu clash bersenjata--antara kelompok Zainuddin dan
tentara Belanda. Dan bagian ini seakan lepas. Pemberontakan
digerakkan oleh Zainuddin (Soultan Saladin) yang meninggalkan
gurunya Haji Wali, karena terpengaruh pikiran Marxis. Tapi
mungkin juga karena ia berdarah panas, kurang perhitungan,
seperti yang sebelumnya 2-3 kali ditampakkan. Akan hal ini kita
hanya dapat menduga-duga. Informasi tidak cukup. Padahal gejala
pembelotan -yang tidak diolah serapi pengolahan bab nusyuz
--disamping menarik juga bisa mempertegas wajah Islam maupun
wajah Marxis sendiri.
Tapi kecenderungan sutradara menghijau merahkan tokoh Zainuddin
secara begitu saja, juga terlihat pada semua tokoh penting lain.
Termasuk Zainab dan Hamid (Camelia Malik dan Cok Simbara), dua
tokoh utama dalam Di Bawah Lindungan Ka'bah karya HAMKA yang
dikatakan "mengilhami" film ini, dan yang kehadirannya di layar
film ternyata tidak menambah atau mengurangi hobot cerita.
Berkembang menurut alur yang dikehendaki sendiri oleh sutradara,
dalam film Hamid dikatakan digembleng sebagai pejuang
kemerdekaan. Tapi perjuangannya tidak meyakinkan. Konon pula
Hamid menulis syair tentang rakyat yang lapar. Hanya itu.
Selebihnya ia nampak di layar pulang-balik antara Padang dan
Padangpanjang, bertindak sebagai kurir bagi Halimah yang
menderita karena nusyuz. Pada akhir film, Hamid nampak pergi
berlayar, untuk sementara mengasingkan diri ke negeri orang,
hingga tiba saatnya kembali memperjuangkan tanah air. Barangkali
memang ada sedikit masalah hak cipta di sini (lihat box).
Di atas segala-galanya, film ini lancar. Musik (Idris Sardi)
kuat, dan seluruh warna lokal terhidang dengan indahnya. Warna
lokal ini menjadi kaya karena hadir lewat pandangan Asrul,
seorang pribumi setempat. Dan bukan lewat mata turis seperti
yang sering terlihat.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini