Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setan-setan mahar india

Mahar di india merupakan masalah pelik yang sulit di selesaikan secara rasional. dan telah banyak menyebabkan penderitaan bagi kaum wanita. (sel)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI memang terbilang khas India. Pihak wanita, dalam perkawinan, merupakan pemberi mahar alias mas kawin. Tapi yang lebih khas lagi: mahar telah menjadi bahan obyekan. Dan itu telah menyebabkan banyak penderitaan, bahkan kematian. Menurut laporan Indi Tody, di New Delhi saja delapan wanita menemui ajalnya beberapa waktu yang lalu--sebagai korban para mertua. Beberapa di antaranya konon "terpaksa" bunuh diri. Chaitanya Kalbag dalam majalah tersebut menulis, para korban berusia sekitar 17 sampai 26 tahun. Dan "dua minggu terakhir itu bagai neraka musim panas yang mendadak sontak mencapai titik didihnya," katanya melukiskan kasus terbaru. Mahar memang masalah pelik di negeri itu, dan rupanya sulit diselesaikan secara rasional. Dua puluh tahun setelah diundangkan, Akta Pelarangan Mahar, ternyata masih tak punya daya gigit terhadap masyarakat. Lagi pula pengertian mahar sendiri sudah berkembang: tidak dalam bentuk emas lagi, tapi juga permata, barang kebutuhan sehari-hari, saluran gas, skuter, kulkas .... Tak adakah perlawanan dari organisasi wanita setempat, sehubungan dengan masalah ini? Ada. Delhi penuh dengan berbagai organisasi wanita. Semua mengaku hendak melawan seksisme, kekerasan seksual, perkosaan, pembunuhan, perlakuan kasar, dan ketidakadilan-terhadap hak wanita. "Toh mereka tak berhasil mengurangi perburuan mahar. Dan korban berjatuhan, satu disusul yang lain," tulis Kalbag. Pemerintah DKI Delhi ada menurunkan angka-angka resmi tentang kejahatan terhadap wanita, dari 1979 sampai Mei 1982. Angka pembunuhan dan bunuh diri itu dilukiskan sebagai menunjukkan grafik menurun. Tapi ormas wanita setempat menolak, tentu saja. Malah mereka mencanangkan, selama 1980 saja terjadi 394 kematian --meningkat dibandingkan di tahun 1975 yang 375. Polisi juga dituduh sangat lamban menangani kasus mahar itu, dan gampang terbujuk rayuan orang tua pihak laki-laki. Tak heran jika angka-angka yang dikemukakan polisi rendah. Tidak realistis. Angka kematian itu membengkak mulai 30 Mei 1982. Yaitu saat Prem Lata, ibu dua anak, dan Kusum, mati terbakar. Dua hari kemudian Bharati Narula, 20 tahun, mati dengan cara yang sama di rumah mertuanya, Prithvi Raj Narula, operator pada Press Trust of India. Kematian Bharati segera mengguncangkan dunia pers dan menghebohkan negeri itu. Narula, di samping diharuskan membayar uang jaminan oleh kejaksaan setempat, juga menjadi sasaran kemarahan penduduk sekitar. Namun korban masih berjatuhan. Tanggal 5 Juni 1982, dosen wanita Shakuntala Arora membakar diri. Dua hari kemudian guru putri Geeta Malik mati terbakar di Rumah Sakit Safdarjung, setelah sebelumnya sempat mengirim SOS kepada saudara-saudaranya, kendati sudah sangat terlambat. Tak lama kemudian Usha Rani, pengantin delapan bulan, mati hangus. "Suami dan mertuanya ditahan, dituduh menghasut tindak bunuh diri itu," lapor Kalbag. Kemudian diikuti Neelam Khanna, ibu rumah tangga Paharganj, yang juga mati bakar pada 11 Juni 1982. Chander Mohini Saluja, stenografer di Pengadilan Tinggi setempat, mati dengan mencurigakan di Simla, lima hari kemudian. Dan pada 21 Juni, Meena, 17 tahun, luka parah kena bakar di sebuah pondok di Dakshinkapuri. Pihak pengadilan membikin pernyataan begini: "Suaminya menyulut api karena si Meena tidak membawa mahar yang cukup." Namun, kendati fakta maupun keterangan begitu jelas terungkap, hukum ternyata menghadapi berbagai rintangan yang sukar ditembus. "Pembunuhan karena kasus mahar tidak dapat ditindak. Polisi tidak dapat ikut campur sampai pengaduan diajukan," tulis Kalbag. Ketentuan-ketentuan dalam Akta Pembuktian India menyatakan, berita acara kematian baru dianggap sah jika ada pengesahan dari seorang hakim. Bahkan sering jika itu dilakukan, keluarga korban akan tak mampu menghadirkan seorang saksi pun. Pembunuhan mahar biasanya berlangsung di dalam suasana privacy rumah tangga, tanpa mata seorang saksi mata. Karena itu sedikit sekali muncul si terhukum. Pada 1980, Lok Sabha (Parlemen) telah diberitahu bahwa dalam dua tahun (sampai 1968), 90 kasus kematian mahar telah terdaftar pada Kodak Metro Delhi. Dari jumlah ini, 81 dilepas karena tak berhasil dibuktikan. Enam dianggap meragukan, dan hanya tiga kasus memenuhi syarat untuk diadili. Sedikit sekali, bukan? Subhadra Butalia, pengajar bahasa Inggris pada Dyal Singh College yang mengelola Karmika--sebuah forum untuk hak-hak wanita--berkata bahwa satu-satunya hal yang menggembirakan ialah, "masyarakat semakin sadar juga akan kelaknatan mahar." Tentu saja mahar model India. Butalia adalah saksi mata matinya Hardeep Kaur di Ujungpura karena terbakar, 18 ktober 1978. Berita acara kematiannya membwktikan keterlibatan pihak suaminya dalam kejahatan itu. Pengadilan tingkat rendah lalu memvonis suami dan mertuanya dengan hukuman penjara. Tapi, nah, ini: pengadilan Delhi yang lebih tinggi membebaskannya--dengan uang tebusan, awal 1981. Alasan: "kurang bukti". Definisi mahar dirumuskan, bahkan oleh Akta Pelarangan Mahar, secara jelek. Mahar adalah "kekayaan atau benda apa saja yang bernilai yang diberikan atau disepakati diberikan . . . pada atau sebelum atau setelah pernikahan, sebagai hadiah perkawinan." Yang unik ialah, mahar tidak terikat waktu - tetap berlangsung, dalam bentuk berbagai pemberian pada "upacara-upacara" tertentu, jauh sesudah perkawinan berlangsung. "Jika istri mati karena sebab-sebab yang tidak alamiah," kata Hakim Pengadilan Tinggi Chandermani Chopra, "itu bisa dicurigai sebagai pembunuhan. Yang ideal, dalam kasus ini, tanggung jawab pembuktian sebaiknya diletakkan pada bahu si tertuduh-berbeda dengan kasus kriminal biasa yang pendakwanya harus membuktikan kesalahan terdakwa." Itu satu pikiran yang timbul akibat sukarnya pembuktian untuk menjerumuskan si pembunuh. Jangan disangka bahwa kebiasaan keji di sekitar mahar ini berkembang hanya di kalangan rendah. Mertua Geea Malik, umpamanya, adalah juru tulis di PNKA. Suaminya insinyur berpengalaman. Mertua Bharati Narula merupakan anggota generasi pertama yang berpendidikan (Barat). Ayah Bha rati sendiri seorang thekedar (pemborong) kaya di Kaithal. Suami Shakuntala Arora adalah satu-satunya dalam keluarganya yang meraih gelar doktorandus. Keluarga Shakuntala sendiri cukup berada: pemilik toko halwai (manisan) yang laris di Delhi. Kesimpulan: kekisruhan soal mahar bukan lantaran kemiskinan. Tapi lebih didorong oleh kerakusan dalam sebuah kultur lingkungan yang bejat. SARLA Mudgal, ketua organisasi wanita Nari Raksha Samiti, menyatakan: problema utama baginya adalah bagaimana menggerakkan sentimen-sentimen antimahar di daerah-daerah yang korban pembunuhannya semakin meningkat. "Saya menemukan banyak yang mati di keluarga Punjab dan Sikh," katanya. Parakothiwale ini sangat sovinis. Lebih-lebih lagi, di utara, orang tua si gadis jarang yang tinggal bersama anak dan menantunya. Keadaan diperburuk karena orang Punjab tidak menetapkan jumlah mahar yang berlaku lumrah." Ved Marwah, staf Menteri Perburuhan dan Kesejahteraan India, angkat bicara: "Kendati Hfndu Code Bill telah diubah, untuk memberi kesempatan kepada orang tua mewariskan sejumlah harta kepada anak perempuannya yang sudah bersuami, hanya sedikit kekayaan orang tua yang dibagikan kepada mereka." Komisi Konsultasi Bersama Lok Sabha (Parlemen), di bawah pimpinan anggota DPR Krisna Sahi, sudah sejak 1980 mengusulkan perubahan Akta Pelarangan Mahar. Komisi tersebut sudah turba ke seluruh negeri secara intensif dan pulang-pulang segera bikin laporan. "Dan laporannya, yang dibuat Desember tahun lalu, tidak lengkap," tulis Kalbag. MENURUT Marwah, pokokpokok penting usul perubahan itu adalah: ada kejelasan batas tertinggi biaya perkawinan. Pemberian dan penerimaan mahar hendaknya saling menguntungkan dan tidak berakibat adanya denda secara paksa. Kesertaan lembaga-lembaga sukarela dalam masalah mahar ditiadakan. Peningkatan sanksi untuk penyalahgunaan lembaga mahar, dari hukuman maksimal enam bulan menjadi maksimal dua tahun. Peningkatan denda uang, dari 5 ribu menjadi 10 ribu rupee. Dan perlunya ada pejabat di bidang pelarangan mahar, yang menatar mereka dan memberikan kekuasaan untuk menindak (semacam polisi), berikut kekuasaan mengadakan penyelidikan, dibantu lima anggota dari luar. Masih menurut Marwah, Lembaga Nasional Untuk Ketahanan Sosial sedang mengadakan kursus-kursus reorientasi--untuk pejabat kepolisian maupun kejaksaan. Maksudnya agar mereka mempunyai bekal dalam menangani kasus mahar di atas dasar yang lebih kukuh. Namun ia mengakui, kecenderungan menangani masalah mahar dengan "cara lain" masih tetap berlangsung. Bahkan yang disebut Delhi Administration's Dowry Cell, menurut sebuah organisasi wanita, menangani lebih lanjut kasus mal1ar ini secara lamban dan menyedihkan. Menteri Sosial India juga sedang menimbang-nimbang untuk mendirikan sebuah "pengadilan keluarga"-menurut model Jepang. Apa konon tugasnya? "Mengadili para pelanggar mahar, mendamaikan keluarga yang berantakan, dan memainkan peranan vital dalam memproses perkara keluarga." Para jaksa, dengan pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun, diusulkan ditatar mengenai bidang-bidang psikologi dan penyuluhan. Dengan demikian Pengadilan Keluarga itu, dan Lembaga Perundang-undangan dari Departemen Hukum Perburuhan, terus-menerus siap dan aktif menjalankan tugas. "Seseorang yang mati adalah tragedi, dan seribu yang meninggal adalah angka statistik," tulis Kalbag dalam bagian akhir karangan. Adakah angka statistik itu, dan kalau ada dapatkah dipercayai, semua pihak hanya mampu angkat bahu. Ada atau tidak, memadai atau belum, "sudah tcrlalu iambat untuk sejarah kematian kasus mahar yang sudah berjalan begitu panjangnya." Malah "belum ada suatu survei nasional dilakukan, di tengah-tengah gentayangannya setan-setan mahar pencabut nyawa." Tapi ada yang untung dari kasuskasus ini: sebuah perusahaan film Delhi. Kisah filmnya sudah dapat diduga: seorang pengantin muda (dan cantik) membakar dirinya. Wanita itu lalu menjadi syahid untuk kaumnya. Lalu Maneka Gandhi tampil di Baroda, berbicara tentang ketidakmampuan pemerintah mengatasi mlsalah itu. "Tanpa bisa dicegah oleh segala macam teriakan dan tangisan, dengan sekaleng minyak tanah, sekotak korek api, dan hati penuh luapan kebencian, para suami dan orang tua mereka menimpakan musibah erakhir atas bebek peliharaan mereka yang tak bisa bertelur emas." Dan seperti kebanyakan fiim India, adegan-adegannya berkuah air mata dari awal sampai akhir cerita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus