INI memang terbilang khas India. Pihak wanita, dalam perkawinan,
merupakan pemberi mahar alias mas kawin. Tapi yang lebih khas
lagi: mahar telah menjadi bahan obyekan. Dan itu telah
menyebabkan banyak penderitaan, bahkan kematian. Menurut laporan
Indi Tody, di New Delhi saja delapan wanita menemui ajalnya
beberapa waktu yang lalu--sebagai korban para mertua. Beberapa
di antaranya konon "terpaksa" bunuh diri.
Chaitanya Kalbag dalam majalah tersebut menulis, para korban
berusia sekitar 17 sampai 26 tahun. Dan "dua minggu terakhir itu
bagai neraka musim panas yang mendadak sontak mencapai titik
didihnya," katanya melukiskan kasus terbaru.
Mahar memang masalah pelik di negeri itu, dan rupanya sulit
diselesaikan secara rasional. Dua puluh tahun setelah
diundangkan, Akta Pelarangan Mahar, ternyata masih tak punya
daya gigit terhadap masyarakat. Lagi pula pengertian mahar
sendiri sudah berkembang: tidak dalam bentuk emas lagi, tapi
juga permata, barang kebutuhan sehari-hari, saluran gas, skuter,
kulkas .... Tak adakah perlawanan dari organisasi wanita
setempat, sehubungan dengan masalah ini?
Ada. Delhi penuh dengan berbagai organisasi wanita. Semua
mengaku hendak melawan seksisme, kekerasan seksual, perkosaan,
pembunuhan, perlakuan kasar, dan ketidakadilan-terhadap hak
wanita. "Toh mereka tak berhasil mengurangi perburuan mahar. Dan
korban berjatuhan, satu disusul yang lain," tulis Kalbag.
Pemerintah DKI Delhi ada menurunkan angka-angka resmi tentang
kejahatan terhadap wanita, dari 1979 sampai Mei 1982. Angka
pembunuhan dan bunuh diri itu dilukiskan sebagai menunjukkan
grafik menurun. Tapi ormas wanita setempat menolak, tentu saja.
Malah mereka mencanangkan, selama 1980 saja terjadi 394 kematian
--meningkat dibandingkan di tahun 1975 yang 375. Polisi juga
dituduh sangat lamban menangani kasus mahar itu, dan gampang
terbujuk rayuan orang tua pihak laki-laki. Tak heran jika
angka-angka yang dikemukakan polisi rendah. Tidak realistis.
Angka kematian itu membengkak mulai 30 Mei 1982. Yaitu saat Prem
Lata, ibu dua anak, dan Kusum, mati terbakar. Dua hari kemudian
Bharati Narula, 20 tahun, mati dengan cara yang sama di rumah
mertuanya, Prithvi Raj Narula, operator pada Press Trust of
India. Kematian Bharati segera mengguncangkan dunia pers dan
menghebohkan negeri itu. Narula, di samping diharuskan membayar
uang jaminan oleh kejaksaan setempat, juga menjadi sasaran
kemarahan penduduk sekitar.
Namun korban masih berjatuhan. Tanggal 5 Juni 1982, dosen wanita
Shakuntala Arora membakar diri. Dua hari kemudian guru putri
Geeta Malik mati terbakar di Rumah Sakit Safdarjung, setelah
sebelumnya sempat mengirim SOS kepada saudara-saudaranya,
kendati sudah sangat terlambat. Tak lama kemudian Usha Rani,
pengantin delapan bulan, mati hangus. "Suami dan mertuanya
ditahan, dituduh menghasut tindak bunuh diri itu," lapor Kalbag.
Kemudian diikuti Neelam Khanna, ibu rumah tangga Paharganj, yang
juga mati bakar pada 11 Juni 1982. Chander Mohini Saluja,
stenografer di Pengadilan Tinggi setempat, mati dengan
mencurigakan di Simla, lima hari kemudian. Dan pada 21 Juni,
Meena, 17 tahun, luka parah kena bakar di sebuah pondok di
Dakshinkapuri. Pihak pengadilan membikin pernyataan begini:
"Suaminya menyulut api karena si Meena tidak membawa mahar yang
cukup."
Namun, kendati fakta maupun keterangan begitu jelas terungkap,
hukum ternyata menghadapi berbagai rintangan yang sukar
ditembus. "Pembunuhan karena kasus mahar tidak dapat ditindak.
Polisi tidak dapat ikut campur sampai pengaduan diajukan," tulis
Kalbag. Ketentuan-ketentuan dalam Akta Pembuktian India
menyatakan, berita acara kematian baru dianggap sah jika ada
pengesahan dari seorang hakim. Bahkan sering jika itu dilakukan,
keluarga korban akan tak mampu menghadirkan seorang saksi pun.
Pembunuhan mahar biasanya berlangsung di dalam suasana privacy
rumah tangga, tanpa mata seorang saksi mata.
Karena itu sedikit sekali muncul si terhukum. Pada 1980, Lok
Sabha (Parlemen) telah diberitahu bahwa dalam dua tahun (sampai
1968), 90 kasus kematian mahar telah terdaftar pada Kodak Metro
Delhi. Dari jumlah ini, 81 dilepas karena tak berhasil
dibuktikan. Enam dianggap meragukan, dan hanya tiga kasus
memenuhi syarat untuk diadili. Sedikit sekali, bukan?
Subhadra Butalia, pengajar bahasa Inggris pada Dyal Singh
College yang mengelola Karmika--sebuah forum untuk hak-hak
wanita--berkata bahwa satu-satunya hal yang menggembirakan
ialah, "masyarakat semakin sadar juga akan kelaknatan mahar."
Tentu saja mahar model India. Butalia adalah saksi mata matinya
Hardeep Kaur di Ujungpura karena terbakar, 18 ktober 1978.
Berita acara kematiannya membwktikan keterlibatan pihak suaminya
dalam kejahatan itu.
Pengadilan tingkat rendah lalu memvonis suami dan mertuanya
dengan hukuman penjara. Tapi, nah, ini: pengadilan Delhi yang
lebih tinggi membebaskannya--dengan uang tebusan, awal 1981.
Alasan: "kurang bukti".
Definisi mahar dirumuskan, bahkan oleh Akta Pelarangan Mahar,
secara jelek. Mahar adalah "kekayaan atau benda apa saja yang
bernilai yang diberikan atau disepakati diberikan . . . pada
atau sebelum atau setelah pernikahan, sebagai hadiah
perkawinan." Yang unik ialah, mahar tidak terikat waktu - tetap
berlangsung, dalam bentuk berbagai pemberian pada
"upacara-upacara" tertentu, jauh sesudah perkawinan berlangsung.
"Jika istri mati karena sebab-sebab yang tidak alamiah," kata
Hakim Pengadilan Tinggi Chandermani Chopra, "itu bisa dicurigai
sebagai pembunuhan. Yang ideal, dalam kasus ini, tanggung jawab
pembuktian sebaiknya diletakkan pada bahu si tertuduh-berbeda
dengan kasus kriminal biasa yang pendakwanya harus membuktikan
kesalahan terdakwa." Itu satu pikiran yang timbul akibat
sukarnya pembuktian untuk menjerumuskan si pembunuh.
Jangan disangka bahwa kebiasaan keji di sekitar mahar ini
berkembang hanya di kalangan rendah. Mertua Geea Malik,
umpamanya, adalah juru tulis di PNKA. Suaminya insinyur
berpengalaman. Mertua Bharati Narula merupakan anggota generasi
pertama yang berpendidikan (Barat). Ayah Bha rati sendiri
seorang thekedar (pemborong) kaya di Kaithal. Suami Shakuntala
Arora adalah satu-satunya dalam keluarganya yang meraih gelar
doktorandus. Keluarga Shakuntala sendiri cukup berada: pemilik
toko halwai (manisan) yang laris di Delhi. Kesimpulan:
kekisruhan soal mahar bukan lantaran kemiskinan. Tapi lebih
didorong oleh kerakusan dalam sebuah kultur lingkungan yang
bejat.
SARLA Mudgal, ketua organisasi wanita Nari Raksha Samiti,
menyatakan: problema utama baginya adalah bagaimana menggerakkan
sentimen-sentimen antimahar di daerah-daerah yang korban
pembunuhannya semakin meningkat. "Saya menemukan banyak yang
mati di keluarga Punjab dan Sikh," katanya. Parakothiwale ini
sangat sovinis. Lebih-lebih lagi, di utara, orang tua si gadis
jarang yang tinggal bersama anak dan menantunya. Keadaan
diperburuk karena orang Punjab tidak menetapkan jumlah mahar
yang berlaku lumrah."
Ved Marwah, staf Menteri Perburuhan dan Kesejahteraan India,
angkat bicara: "Kendati Hfndu Code Bill telah diubah, untuk
memberi kesempatan kepada orang tua mewariskan sejumlah harta
kepada anak perempuannya yang sudah bersuami, hanya sedikit
kekayaan orang tua yang dibagikan kepada mereka." Komisi
Konsultasi Bersama Lok Sabha (Parlemen), di bawah pimpinan
anggota DPR Krisna Sahi, sudah sejak 1980 mengusulkan perubahan
Akta Pelarangan Mahar. Komisi tersebut sudah turba ke seluruh
negeri secara intensif dan pulang-pulang segera bikin laporan.
"Dan laporannya, yang dibuat Desember tahun lalu, tidak
lengkap," tulis Kalbag.
MENURUT Marwah, pokokpokok penting usul perubahan itu adalah:
ada kejelasan batas tertinggi biaya perkawinan. Pemberian dan
penerimaan mahar hendaknya saling menguntungkan dan tidak
berakibat adanya denda secara paksa. Kesertaan lembaga-lembaga
sukarela dalam masalah mahar ditiadakan. Peningkatan sanksi
untuk penyalahgunaan lembaga mahar, dari hukuman maksimal enam
bulan menjadi maksimal dua tahun. Peningkatan denda uang, dari 5
ribu menjadi 10 ribu rupee. Dan perlunya ada pejabat di bidang
pelarangan mahar, yang menatar mereka dan memberikan kekuasaan
untuk menindak (semacam polisi), berikut kekuasaan mengadakan
penyelidikan, dibantu lima anggota dari luar.
Masih menurut Marwah, Lembaga Nasional Untuk Ketahanan Sosial
sedang mengadakan kursus-kursus reorientasi--untuk pejabat
kepolisian maupun kejaksaan. Maksudnya agar mereka mempunyai
bekal dalam menangani kasus mahar di atas dasar yang lebih
kukuh. Namun ia mengakui, kecenderungan menangani masalah mahar
dengan "cara lain" masih tetap berlangsung. Bahkan yang disebut
Delhi Administration's Dowry Cell, menurut sebuah organisasi
wanita, menangani lebih lanjut kasus mal1ar ini secara lamban
dan menyedihkan.
Menteri Sosial India juga sedang menimbang-nimbang untuk
mendirikan sebuah "pengadilan keluarga"-menurut model Jepang.
Apa konon tugasnya? "Mengadili para pelanggar mahar, mendamaikan
keluarga yang berantakan, dan memainkan peranan vital dalam
memproses perkara keluarga." Para jaksa, dengan pengalaman
sekurang-kurangnya 10 tahun, diusulkan ditatar mengenai
bidang-bidang psikologi dan penyuluhan. Dengan demikian
Pengadilan Keluarga itu, dan Lembaga Perundang-undangan dari
Departemen Hukum Perburuhan, terus-menerus siap dan aktif
menjalankan tugas.
"Seseorang yang mati adalah tragedi, dan seribu yang meninggal
adalah angka statistik," tulis Kalbag dalam bagian akhir
karangan. Adakah angka statistik itu, dan kalau ada dapatkah
dipercayai, semua pihak hanya mampu angkat bahu. Ada atau tidak,
memadai atau belum, "sudah tcrlalu iambat untuk sejarah kematian
kasus mahar yang sudah berjalan begitu panjangnya." Malah "belum
ada suatu survei nasional dilakukan, di tengah-tengah
gentayangannya setan-setan mahar pencabut nyawa."
Tapi ada yang untung dari kasuskasus ini: sebuah perusahaan film
Delhi. Kisah filmnya sudah dapat diduga: seorang pengantin muda
(dan cantik) membakar dirinya. Wanita itu lalu menjadi syahid
untuk kaumnya. Lalu Maneka Gandhi tampil di Baroda, berbicara
tentang ketidakmampuan pemerintah mengatasi mlsalah itu.
"Tanpa bisa dicegah oleh segala macam teriakan dan tangisan,
dengan sekaleng minyak tanah, sekotak korek api, dan hati penuh
luapan kebencian, para suami dan orang tua mereka menimpakan
musibah erakhir atas bebek peliharaan mereka yang tak bisa
bertelur emas."
Dan seperti kebanyakan fiim India, adegan-adegannya berkuah air
mata dari awal sampai akhir cerita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini