Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah 70 tahun, panakkukang

Banjir masih jadi musuh warga ujung pandang. dasar sungai jeneberang yang terus meninggi tak mampu lagi menampung air di musim hujan. kota ujung pandang berkembang secara alamiah. (kt)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1 APRIL baru lalu Kotamadya Ujung Pandang memperingati ulang tahunnya ke-70. Walikota Daeng Patompo kerap dipercakapkan telah berhasil membenahi kota ini. Tidak berarti semua pujian kepadanya adalah pujian ikhlas -- sebab mengritik sekarang 'kan susah, dan para pemuji bisa juga dibayar untuk tepuktangan palsu. Tapi ada henarnya, bahwa ada peningkatan kemampuan Ujung Pandang melayani berbagai hajat warga kota dalam 10 tahun belakangan ini. Lebih dari itu anugrah berupa Prasamya Purna Karya Nugraha yang pernah diterima kota ini agaknya memperkuat dugaan tadi. Sehingga sekaligus Ujung Pandang ditetapkan pemerintah pusat sebagai kota pusat pengembangan daerah D, yaitu Indonesia bagian timur. Tapi semua ini tak berarti bahwa kota yang dulu bernama Makassar ini sudah terlepas dari berbagai keruwetan. Sungai Jeneberang sendiri misalnya masih mengalir tenang. Airnya tak ganas. Namun bukan berarti sungai yang membingkai bagian utara dan selatan kota Ujung Pandang ini tak merisaukan. Awal tahun ini, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan yang terkenal bersih itu bagaikan mengapung selama beberapa jam dibuatnya. Bukan hanya tersebab hujan terlampau deras. Erosi di bagian hulu sudah sejak beberapa waktu berselang mengirimkan berjuta M3 pasir sekaligus meninggikan dasar sungai ini menjadi rata-rata 11 meter tiap tahun. Sehingga meskipun Tanggul Patompo -- demikian namanya -- membenteng hampir sepanjang kota yang dilaluinya, tak kuasa menahan limpahan air. Lalu merayapi kota yang tingginya memang sudah sejajar dengan dasar sang sungai. Namun rupanya tak hanya sekedar itu. Berdiri di Pantai Losari, bagian barat kota yang menghadap ke Selat Makassar, pemandangan akan terganggu oleh sekelumit tanah yang menjorok ke laut, beberapa ratus meter panjangnya. Tanjung baru ini tentu belum tertera dalam peta. Sebab ia muncul hampir secara tak disadari akibat endapan berbagai tanah dan kotoran yang dikirimkan sungai Jeneberang. Agaknya berhadapan dengan "air yang tenang tapi bisa meluap" ini termasuk salah satu masalah pelik yang dihadapi kota Ujung Pandang akhir-akhir ini -- meskipun punya makna lain bagi para penambang pasir buat bahan bangunan. Sebab genangan air -- yang biasa disebut banjir itu -- bukan saja menampilkan tampang sebaliknya sebagai kota bersih dan rapi, namun juga sempat membopengkan beberapa jalur jalan. Hanya untuk melicinkan jalan-jalan yang rusak akibat malapetaka bulan Januari itu, pemerintah kota dipaksa mengeluarkan biaya tak kurang dari Rp 400 juta. Anggaran demikian tentu cukup besar artinya bagi sebuah kota yang berpenduduk hampir 600 ribu jiwa ini. Karenanya berhadapan dengan bencana serupa itu, Walikota Daeng Patompo hampir mengangkat tangan. "Tak bisa dihindari selama sungai Jeneberang belum dikeruk" tuturnya kepada Sinansari Ecip dan Bastari Asnin dari TEMPO 1 pekan lalu di Ujung Pandang. Bukan saja lantaran urusan keruk-mengeruk itu sudah disepakati termasuk pekerjaan pemerintah pusat, tapi juga karena Patompo menyadari keterbatasan koceknya. Salah satu usaha untuk melawan kiriman air sungai Jeneberang, pemerintah tamadya Ujung Pandang akhir-akhir ini sibuk meninggikan berbagai jalur jalan. Di jalan-jalan protokol ketinggian itu bahkan mencapai 50 cm. Tetapi apabila suatu waktu kelak pengerukan sungai Jeneberang dan peninggian jalan-jalan sudah dilakukan, akan selesaikah masalah ini seluruhnya? Agaknya belum. "Satu hal yang kurang mendapat perhatian yaitu parit atau selokan" kata seorang insinyur yang biasa memborong jalan. Sebab menurutnya, hujan deras maupun luapan sungai Jeneberang akan cepat tersedot apahila parit-parit yang ada diperlebar dan diperdalam. Yang masih tampak sekarang ini adalah pembangunan berlangsung terus, volume bangunan bertambah terus, tapi daya tampung seJokan seperti dulu-dulu juga. Kalaupun ada pertambahan tak banyak jumlahnya. Bahkan ada di antaranya yang tenggelam ditelan pelebaran jalan. Wajah kota Ujung Pandang yang dulu bernama Makassar itu mungkin akan tampak jelas apabila pemulusan jalan-jalan dalam kota sudah rampung di akhir bulan April ini, seperti diancer-ancerkan pihak Kotamadya. Sekurang-kurangnya makin jelas, bahwa langkah-langkah untuk menjadikannya sebagai kota 5 dimensi -- yaitu kota akademi, kota budaya, kota dagang, kota industri dan kota pariwisata, seperti dalam rancangan pembangunannya -- telah disiapkan. Sekarang saja Ujung Pandang barangkali adalah kota yang paling rapi di kawasan Indonesia sebelah timur. Untuk sebagian besar Gerakan Masuk Kampung (semacam proyek Husni Thamrin di Jakarta) berhasil membuka perkampungan yang suram sebelumnya. Demikian pula, setelah hampir menyedot lebih dari separo anggaran per tahun selama 10 tahun terakhir, kebutuhan-kebutuhan pokok warga kota seperti listrik, air minum, sarana pendidikan dan kesehatan -- secara maksimal telah dinikmati penghuninya. Walikota Patompo selalu dengan bangga menyebut beberapa SD Teladan dan sebuah SD Pembangunan (12 tahun) yang dibuatnya. "Yang masih sering merisaukan saya adalah mutu" ucapnya. "yaitu mutu para guru dan tenaga kesehatan". Patompo memang mengakui masih kekurangan sekitar 10 buah gedung SD guru-guru serta sarana dan tenaga kesehatan. "Sebab yang saya cari selama ini mutu mereka, bukan jumlah" katanya. Mudah-mudahan ia juga setuju bahwa di bidang lain pun -- bahkan seluruh persoalan pembangunan -- demikian: mutu, bukan gedung-gedung. UJUNG Pandang termasuk salah satu dari kota-kota besar Indonesia yang tumbuh dengan sendirinya. Artinya bangunan-bangunan berdiri semata-mata menurut selera pemiliknya, tanpa perencanaan. Rumah-rumah tinggal saling berhimpit bahkan di sana-sini bergumul dengan toko dan kantor-kantor sementara di bagian lain terlena bagai hutan larangan. Dari jurusan lain arus pendatang dari pedalaman bagai hendak membuat kota semakin kusut. Beruntung bagi kota Makassar bahwa arus perpindahan penduduk dari desa ke kota ini tak begitu deras -- mungkin karena tingkat kemakmuran yang memadai di pedalaman atau barangkali juga karena orang-orang Bugis dan Makassar lebih senang memacu perahu mereka ke tanah seberang. Tapi toh menurut angka-angka sekitar tahun 1970 kota UjungPandang sudah cukup padat, malahan terlampau padat bagi sebuah kota untuk ukuran luar pulau Jawa -- ada bagian kota yang berpenduduk 412 jiwa per hektar. Hampir bersamaan dengan perubahan nama dari Makassar menjadi Ujung Pandang di tahun 1971 pemekaran kota dilakukan. Sebanyak 18 buah desa yang sebelumnya termasuk wilayah Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan disedot ke dalam kawasan Kotamadya Ujung Pandang. Luas kota pun membengkak dari 21 km2 menjadi 115 km2 lebih. Usaha pertama yang dilakukan adalah memindahkan penduduk dari sebuah kampung padat yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Patompo sebuah nama yang dilekatkan penghuninya walaupun si pemilik nama merasa kikuk disebut demikian. Tetapi dengan ini langkah ke arah penataan kembali kota Ujung Pandang telah dimulai. Dengan usaha ini hendak ditandai bahwa warga kota yang modern mestilah hidup dalam tata letak yang dirancangkan. Artinya yang lain tentulah penghuni kota yang menumpuk selama ini perlu disebarkan pada tempat-tempat yang masih lapang. DALAM rencana garis besar (lay out plan) pengembangan kota, maka Ujung Pandang mulai dibagi-bagi. Bagian timur laut ditentukan sebagai wilayah industri, terutama karena beberapa pabrik sudah berada di sini. Daerah kota sebelah selatan untuk pusat rekreasi. Sebelah timur untuk tempat perumahan (tempat tinggal) utama. Sedang kota (lama) Ujung Pandang secara garis besar diperuntukkan sebagai kota dagang. Karena penduduk masih berdesakan, maka menjuruskan mereka ke tempat pemukiman baru, tampaknya adalah kebutuhan yang cukup mendesak dalam menuju pengembangan kota Ujung Pandang sekarang. Adalah sebuah wilayah kota, Panakukang namanya. Terletak di belahan timur kota Ujung Pandang dengan luas 4.000 hektar, kawasan ini seluruhnya terdiri dari tanah sawah tadah hujan. Dalam sebuah keputusannya di tahun 1974 DPRD Kotamadya Ujung Pandang telah menetapkan wilayah ini sebagai pusat pemukiman (areal real estate) yang memenuhi persyaratan hidup sehat dan layak, lengkap dengan berbagai sarananya -- ibarat Kebayoran Baru di Jakarta. Di sini akan tinggal mereka yang terkena penertiban di kota lama (golongan berpenghasilan rendah) maupun untuk mereka yang ingin mencoba tempat tinggal mewah. Dalam perkiraan dalam waktu 20 tahun sebuah kota baru telah terbentuk di wilayah ini. meskipun untuk tahap 5 tahun pertama ini baru akan tergarap sekitar 300 hektar. Menurut Adjid Hutomo, direktur Tehnik PT Timurama, sebuah perusahaan yang ditugaskan Kotamadya Ujung Pandang untuk merancang dan melaksanakan pengembangan wilayah baru ini. Panakukang memang memungkinkan untuk dijadikan daerah pemukiman. Di sini menurutnya, akan dilalui jalur air minum dan listrik yang sekarang sedang dikerjakan Kotamadya. Begitu pula sebuah jalan baru sedang dibuat untuk menghubungkannya dengan Kabupaten Sungguminasa. PT Timurama sendiri telah mencoba membuat rumah-rumah contoh di kawasan ini, satu hal yang tampaknya mendorong keyakinan warga kota untuk mulai bersiap-siap menempati daerah baru ini. Di samping pihak Kotamadya -- yang akan memindahkan Balai Kota ke Panakukang ini berbagai instansi pemerintah juga mulai -- mengincer daerah ini baik sebagai perumahan karyawan maupun kantornya. NAMUN demikian, kota lama tetap harus ditata kembali. Ir. Hendarto dari Badan Pelaksana Pembangunan Proyek Otorita Panakukang, misalnya melihat jalur-jalur jalan dalam kota Ujung Pandang sekarang sebagai terlalu banyak memakai sistim kotak-kotak. Artinya setiap saat akan ditemui persimpangan- persimpangan. Untuk jumlah kendaraan yang ada dalam kota sekarang sistim jalan demikian mungkin belum mengganggu benar. Tapi akan jauh berbeda halnya apabila jumlah kendaraan sudah berlipat kali di masa datang. Lebih-lebih bila kendaraan roga (beca) yang mendominasi jumlah kendaraan dan kota sekarang tidak ditertibkan dari jauh hari. Karena itu agaknya pemerintah kotamadya perlu menyelaraskan pembenahan kota sekarang dengan kemungkinan Ujung Pandang sebagai pusat perdagangan di kemudian hari. Sehingga kota lama itu sendiri kelak hanya akan menjadi pusat kesibukan perdagangan setempat, tempat penampungan produk-produk (pertanian maupun industri) di lingkungan Sulawesi Selatan maupun untuk lalu-lintas niaga Indonesia bagian timur. Lebih-lebih bila dilihat bahwa kota ini memang mempunyai berbagai kemungkinan untuk memiliki dimensi-dimensi yang direncanakan baginya. Satu hal yang akan segera tampak misalnya bakal munculnya Ujung Pandang sebagai pusat industri (ringan) untuk menampung dan mengolah bermacam hasil pertanian yang belum sempat digarap selama ini. Beberapa orang pengusaha bahkan melihat masa depan Ujung Pandang sebagai pusat penumpukan dan penyebaran barang-barang dagangan untuk seluruh Indonesia sebelah timur. Mungkin karena letaknya, mungkin juga karena pelabuhan dan potensi alam Sulawesi Selatan. Dari pihak lain kelincahan pemerintah kota menggali sumber-sumber keuangan agaknya cukup melapangkan usaha membangun Ujung Pandang secepat yang dirancangkan. Tentang sumber keuangan ini misalnya untuk tahun anggaran 1976/1977 ini pihak Kotamadya sudah berani memasang angka Rp 7 milyar, sebuah jumlah yang banyak tak tersamai oleh beberapa propinsi. Sebagai perbandingan, ketika Kotamadya Medan mempunyai pemasukan (income) sebanyak Rp 1 milyar di tahun 1973/1974, untuk waktu yang sama Ujung Pandang mempunyai pendapatan Rp 3 milyar. Barangkali dengan alasan begitu, Haji luhammad Daeng Patompo banyak berjanji. "Dari 600 km jalan dalam kota sekarang, tahun 1978 akan bertambah menjadi ]000 km" ucap Patompo suatu ketika. Pada saat yang lain dia pun berjanji: "Di akhir masa jabatan saya pada tahun 1978, setidak-tidaknya saya meninggalkan kota ini setelah mempunyai ciri-ciri metropolitan". Artinya sebuah kota yang telah mampu meyuguhkan kebutuhan-kebutuhan pokok warga kota yang modern. Tapi bagi Patompo yang telah dua kali menduduki masa jabatan sebagai walikota dan akan berakhir tahun 1978 nanti -- membuat janji dan menghitung waktu hampir sama dengan menghitung kapan waktunya harus makan. Sebab kebersihan kota Ujung Pandang yang dikenal sekarang hanya dilakukannya dalam satu hari. Dan dia berhasil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus