Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN jari-jarinya yang tua, Mohammad Deseng alias Tan De Seng menggelitik suling tembang Surupan 62. Ditiupnya seruling bambu sepanjang 62 sentimeter itu, khusyuk dan merdu. Di belakang Deseng, jemari lentik Fitri Juliani Cintaniaanaknya nomor duamemetik dawai kecapi. Dalam sekejap, mengalunlah sepenggal lagu Raja Mantri. Syahdu dan seperti bukan berasal dari dunia hiruk-pikuk ini.
Deseng, 60 tahun, sepertinya memutuskan berkutat di kesenian Sunda. Pada akhir 2002, bersama teman-temannya, Liang Tze Hai dan Ny. Lim Chay Hin, ia mendirikan Padepokan Pasundan Asih. Mereka menggarap macam-macam: tari, musik, grup vokal, bahkan teater. Di rumah kontrakan Deseng di Jalan Malabar, Bandung, yang dijadikan markas padepokan itu, berhimpunlah rupa-rupa perkakas musik seperti seruling, kecapi, dan drum.
Apa gerangan yang mendorong anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Tan Tjin Hong dan Ny. Yok Mbok Jie ini memilih menekuni kesenian Sunda? "Saya lahir dan hidup di tatar Sunda," kata ayah tiga anak itu. Bahkan, jika ajalnya tiba, menurut aki satu cucu ini, ia ingin dimakamkan di tanah Priangan. Dengan alasan itu, "Menekuni kesenian Sunda merupakan kewajiban," ujar pria kelahiran Gang Tamim di kawasan Pasar Baru, Bandung, itu.
Deseng mulai belajar suling Sunda pada usia sekitar lima tahun. Orang pertama yang mengajarinya adalah Tan De Tjeng, kakaknya sendiri, yang kebetulan suka berseni-seni. Sempat pula ia belajar suling pada seorang tukang tembok yang merenovasi rumahnya. Sayang, Deseng tak ingat nama orang itu. Kemudian, alumni SMP Tsing Hoa di Jalan Cihampelas, Bandung, ini berguru pada sejumlah ahli suling, seperti Ki Oyok dan Mang Suarta.
Pada usia sembilan tahun, ia mulai belajar memetik kecapi. Mengenai hal ini, ada cerita khusus. Pada suatu ketika, temannya yang bernama Adjat Sudradjat minta diajari bermain gitar. Deseng memang sejak kecil jagoan gitar. Ternyata, bibi Adjat adalah Etty Handa, vokalis seni Cianjuran yang lumayan beken pada masa itu. Deseng akhirnya belajar kecapi pada keluarga Adjat.
Tak ingin kepalang tanggung, Deseng lalu menyambangi para pemain kecapi tingkat suhu seperti Ebar Sobari, Mang Ono, Sutarya, dan dalang Abah Sunarya. Dengan keterampilan memainkan gitar, kecapi, dan suling itulah, bersama sejumlah temannya, ia malang-melintang ke berbagai kota di seputar Jawa Barat. Dengan gitarnya, Deseng pernah aktif di grup Haming Youth, Young Brothers, Palamor, dan Marya Musika. Untuk kecapi-suling, ia pernah mendirikan grup Bhakti Siliwangi.
Pada 1985, setelah berhasil mendidik anaknya, Fitri Juliani Cintania, bermain kecapi, dan adiknya, Tantri Julianti Cintania, sebagai vokalis, Deseng mendirikan grup Patanjala. Jelajah pentas Deseng makin luas, bahkan sampai ke negeri Jepang. Adapun grup paling bontot yang didirikannya, ya, Padepokan Pasundan Asih itu. Diawali hanya oleh tiga-empat orang Tionghoa, anggotanya kini sudah ratusan orang.
Meski setelah reformasi kesenian macam barongsai boleh tampil lagi, Deseng dan kelompoknya tetap bersetia pada kecapi dan seruling Cianjuran. Seraya mensyukuri reformasi, "Kita harus memiliki seni dan budaya tempat kita hidup dan dilahirkan," kata seniman bertubuh tipis dan berambut panjang itu. Selain tetap manggung, Deseng juga membuat studio mini untuk rekaman.
Ratusan kaset yang pernah direkamnya tersimpan rapi. Ada jaipong, ketuk tilu, Sunda India, kliningan Sunda, rampak sekar, gendang pencak, dan sebagainya. Pokoknya, semua serba Sunda. Tak mengherankan jika di kalangan penggiat dan penggemar kesenian Sunda, Deseng sering disebut lebih Sunda ketimbang orang Sunda sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo